Macan NU


Suatu hari, Kiai kholil memanggil santri-santrinya.” Anak-anakku, sejak saat ini kalian harus memperketat penjagaan pondok. Gerbang depan harus senantiasa dijaga. Sebentar lagi akan ada macan masuk di pondok kita,” kata Kiai Kholil di depan santri-santrinya. Tentu saja, mendengar titah Kiai yang sangat dihormati itu, para santri segera mempersiapkan diri. Dalam benak mereka terbayang seekor macan yang mengendap-endap memasuki pesantren dan menerkam salah seorang dari mereka. Saat itu di sebelah timur Bangkalan masih terdapat hutan yang angker.

Satu hari, dua hari, tiga hari, dan seterusnya, para santri selalu berjaga dengan waspada. Tanpa terasa, hitungan hari sudah sampai tiga minggu, macan yang ditunggu-tunggu tak muncul-muncul. Yang terjadi sebagaimana biasanya di bulan Syawal yang merupakan awal pelajaran baru, adalah santri yang berdatangan dari berbagai penjuru tanah air. Pada minggu ketiga sejak Kiai Kholil memerintahkan santrinya untuk berjaga-jaga, seorang pemuda kurus dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi dan berkulit kuning menenteng koper seng, datang ke kompleks pesantren.

“Assalamualaikum,” ucapnya ketika berada di depan pintu rumah Kiai Kholil. Mendengar salam itu bukan jawaban salam yang diucapkan, Kiai Kholil malah berteriak memanggil santri-santrinya. ” hai santri ada macan…macan…ayo kita kepung jangan sampai ia masuk ke pondok!” teriak Kiai Kholil.
Mendengar teriakan Kiai Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir “macan” itu. Para santri membawa pedang, celurit, tongkat, batang kayu, sendok dan apa saja yang bisa dibawa. Mereka kemudian menggerubuti “macan” yang tak lain adalah seorang pemuda tadi. Sang pemuda menjadi pucat pasi ketakutan. Tak ada jalan lain karena dikerubuti sedemikian rupa, pemuda tersebut terpaksa lari pergi menjauh dari pesantren. Namun karena keinginan nyantri pada Kiai Kholil sangat besar, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Lagi-lagi ia memperoleh perlakuan yang sama. Ia diusir ramai-ramai.

Pada malam ketiga, diam-diam pemuda itu memasuki kompleks pesantren. Karena kelelahan, juga rasa takut, pemuda itu meringkuk, tidur di bawah kentongan di langgar (musala). Tak disangka, pada tengah malam itu Kiai Kholil membangunkannya. Lalu ia dimarahi habis-habisan. Namun demikian, malam itu ia juga diajak ke rumah Kiai Kholil. Pemuda itu sangat lega ketika dinyatakan diterima sebagai santrinya. Pemuda itu tiada lain ialah Abdul Wahab Hasbullah, yang kemudian mendirikan jami’iyah NU, yang disegani, baik oleh kawan maupun lawannya, terutama kalangan politisi. (Moh Rifai, 2010, 26).

Kisah di atas adalah sekelumit perjalanan Kiai Wahab Hasbullah yang cukup unik, entah hanya sebuah lelucon atau realitas. Di masa Era Soekarno dan awal Orde Baru, tak ada yang tak kenal dengan Kiai Wahab Hasbullah. Ia begitu tersohor di seluruh penjuru negeri sebagai seorang ulama, tokoh masyarakat maupun politisi. Akan tetapi, ia pun tak lepas dari ejekan-ejekan terutama dilontarkan oleh lawan politiknya, misalnya ia dituduh sebagai Kiai Nasakom, Kiai Orla, Kiainya Soekarno, Kiai oportunis dan Kiai tukang kawin. Tentu saja tuduhan-tuduhan itu tak lepas dari sepak terjangnya sebagai seorang tokoh kontroversial.

Kiai Wahab tak hanya seorang ulama yang setiap harinya mendidik santri-santrinya. Namun ia pun pada masa kolonialisasi juga ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Setelah para kolonial pergi dari tanah pertiwi, gema kemerdekaan RI disuarakan dari Sabang sampai Merauke, ia pun ikut berperan sebagai seorang politisi nasional yang ikut membangkitkan negeri ini setelah selama 350 tahun dicabik-cabik oleh kebengisan para kolonial. Ketokohannya bisa disejajarkan dengan tokoh sekaliber Moh Hatta, Syahrir, Natsir, Soekiman dan tokoh-tokoh nasional lainnya.

Kegesitan Kiai Wahab dapat dilihat dari kiprahnya dalam pembentukan beberapa organisasi sosial keagamaan di tanah air. Ia tercatat sebagai pendiri SI cabang Makkah, Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatul Tujjar, kesemua itu menjadi embrio kelahiran NU.

Setelah mendirikan beberapa organisasi sosial-keagamaan, kemudian bersama Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai-kiai lainnya mendirikan NU, salah satu media sebagai reaksi perlawanan terhadap klaim-klaim yang dilontarkan oleh kaum modernis dan memperjuangkan mazhab empat memperoleh pengakuannya, di tengah mewabahnya wahabisme.

Pada mulanya, Kiai Hasyim Asy’ari kurang menyetujui agenda pembentukan sebuah organisasi sosial-keagamaan, menurutnya organisasi itu nanti akan memecah belah umat. Bahkan Kiai Hasyim tak menghadirinya pertemuan yang dihadiri para kiai di Surabaya pada waktu itu. Namun setelah Kiai Wahab meminta Kiai Bisri Syansuri menjenguknya, akhirnya Kiai Hasyim menyetujuinya dan dijadikan Rais Am karena keluasan ilmunya, ketokohannya dan keseniorannya sebagai seorang kiai tradisional yang memegang teguh nilai-nilai Islam.

Ijtihad Politik Kiai Wahab

Pada awal kemerdekaan, Kiai Wahab mencurahkan gerakan politiknya bersama tokoh-tokoh Islam modernis. Saat itu mereka membentuk sebuah partai politik yaitu Masyumi, sebagai media politik Islam. Kiai Wahab sendiri menjabat sebagai ketua Dewan Syura sedangkan Dr Soekiman, seorang tokoh Islam modernis, sebagai ketua umum partai. Setelah masa jabatan Dr Soekiman digantikan dengan M. Natsir, kebijakan-kebijakan partai pun banyak perubahan. M. Natsir dalam memimpin partai terlalu keras dan mengesampingkan tokoh-tokoh Islam tradisional. Maka kiai Wahab mengajak tokoh-tokoh NU yang tergabung dengan Masyumi untuk keluar dan mendirikan partai sendiri, karena memang di Masyumi sudah tidak kondusif sebagai media perjuangan politisi Islam tradisional.

Namun bukan berarti tanpa halangan gagasan dari Kiai Wahab, setelah melakukan perundingan hebat, beberapa tokoh menentangnya terutama bagi mereka yang sudah menduduki jabatan baik secara struktural partai maupun di pemerintahan. Menghadapi kondisi tersebut, Kiai Wahab tampil di podium dan menyatakan, “jika betul-betul ragu hasil pembicaraan kita, silahkan terus bergabung dengan Masyumi, biarkan saya memimpin sendiri NU sebagai partai politik yang terpisah dari Masyumi, saya hanya butuh seorang pemuda untuk menemani, cukup satu, sebagai sekretaris saya, anda akan lihat apa yang terjadi.”

Insting politik Kiai Wahab memang tajam, tak kurang dari tiga tahun merintis partai NU bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional lainnya, pada pemilu pertama kali (1955), NU menduduki peringkat ketiga dari seluruh peserta partai politik. Dan berlanjut pada pemilu (1971) awal Orde Baru, menduduki peringkat kedua setelah Golkar, sementara PNI dan Masyumi hilang ditelan zaman.

Kegesitan politik Kiai Wahab sungguh perlu diacungi jempol, di tengah bangunan “Demokrasi Terpimpin” ala Soekarno pada awal 1959, dan di tengah pergolakan ideologi politik nasional yang kian memanas, NU masih bisa menunjukan eksistensinya sebagai sebuah partai politik yang disegani baik kawan maupun lawan, sementara beberapa partai politik termasuk Masyumi pun dibubarkan Soekarno dengan alasan tokoh-tokoh senior partai terlibat kudeta.

Di dalam internal partai NU sendiri, Kiai Wahab begitu disegani, bahkan keputusan partai pun meski memperoleh restu dari Kiai Wahab. Maka di sinilah letak ketokohan Kiai Wahab tak bisa diragukan lagi. Dan tak heran, Kiai Kholil Bangkalan menjulukinya sebagai “macan NU”, sebuah nama sesuai dengan keberaniannya menerjang keterbatasan, menembus batas zamannya, untuk kontek masa itu, sungguh luar biasa.

Perselisihan Pasca Wafatnya Nabi


Sepeninggal Rasulullah SAW, kaum muslimin mengalami goncangan yang luar biasa. Nabi Muhammad yang selama hidupnya dijadikan sandaran baik saat suka maupun duka oleh para sahabat ternyata telah dipanggil oleh kekasihnya, Allah SWT. Peran Nabi untuk umatnya tak akan pernah tergantikan sampai akhir kehidupan.

Saat berita wafatnya Nabi menyebar di tengah-tengah kaum muslimin, Umar Bin Khattab salah seorang sahabat dekat Nabi merasa tergunjang jiwanya dan bahkan tak mengakui kebenaran berita itu. Namun setelah melihat realitas, akhirnya Ia pun mempercayai bahwa Nabi telah wafat untuk menghadap kekasihnya Allah SWT.

Wafatnya Nabi menjadikan kaum Muhajirin dan Anshor dengan segera untuk menentukan khalifah sebagai pemimpin kaum muslimin pasca Nabi. Sebelum jenazah Nabi disemayamkan. kaum muhajirin dan Anshor sudah mulai berselisih untuk menunjuk jabatan khalifah dari kaumnya masing-masing. Bahkan mereka hampir terjerumus kedalam pertumpahan darah sesama kaum muslimin. Melihat kondisi yang sudah mulai carut-marut, maka Umar Bin Khattab membicarakan masalah ini di tengah-tengah kaum muslimin dan meminta Abu Ubaidah membentangkan tangannya untuk dibaiat sebagai khalifah. Namun Abu Ubaidah tak menyetujuinya.

Setelah mendengar berita bahwa kaum Anshor dan Muhajirin sudah tak terkontrol lagi, Umar mengutus orang untuk memanggil Abu Bakar yang saat itu sedang sibuk mengurus jenasah Nabi untuk segera datang di tengah-tengah kaum muslimin yang sedang berselisih. Sementara itu, kaum Anshor sudah sepakat menentukan khalifah dari kaumnya, dan seandainya tidak disetujui dari kaum Muhajirin maka mereka harus keluar dari kota Madinah. Tentu saja hal itu tak disetujui oleh kaum Muhajirin, mereka mengatakan bahwa Nabi berasal dari kaum Muhajirin maka selayaknya yang jadi khalifah penggantinya juga harus dari kaumnya.

Melihat perselisihan yang semakin memanas, Abu Bakar segera mengambil kebijakan dengan menunjuk Umar Bin Khatab dan Abu Ubaidah untuk membentangkan tangannya dan kaum muslimin diminta untuk memilih dari kedua orang ini menjadi khalifah. Namun Umar Bin Khatab justru meminta balik kepada Abu Bakar segera membentangkan tangannya untuk dibaiat sebagai khalifah dan akhirnya seluruh kaum Muhajirin dan Anshor yang terlibat perselisihan itu sepakat untuk membaiat Abu Bakar Asssidiq menjadi khalifah pengganti Rosulullah.

Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah disebabkan karena ia salah satu sahabat terdekat Nabi, selain jujur, amanah dan cerdas, Abu Bakar lah yang memimpin sembahyang saat Nabi berhalangan.

Dari peristiwa di atas memperlihatkan bahwa perselisihan bisa terjadi kapanpun dan di manapun termasuk dialami oleh para sahabat. Selain sifat egoisme kelompok dan kepentingan, mereka secara tak sadar sudah terjebak kedalam dunia politik dan tentu cenderung akan mementingkan kelompok atau golongannya masing-masing. Sedangkan Nabi merupakan sosok pemimpin kharismatik yang tak tertandingi. Oleh karena itu, pasca wafatnya Nabi kita tidak menemukan pemimpin yang bisa menyatukan seluruh kaum muslimin. Bahkan sampai kini umat sudah terpecah menjadi berbagai macam golongan.

Di Era para sahabat saja sudah berselisih dalam urusan politik dan nyaris terjadi pertumpahan darah, padahal Nabi pernah mengatakan bahwa di masa sahabatmerupakan umat terbaik setelah massanya, bagaimana dengan masa umat yang sudah jauh meninggalkan masa Nabi. Wallahu a’lam bissowab

Emak, Seorang Perempuan Perkasa


Emak, begitulah Daoed Joesoef dan kakak-kakaknya memanggil ibunya setiap harinya. Mereka begitu bangga dengan emak yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi, filosofi kehidupan dan suri tauladan kepada anak-anaknya. Di tengah-tengah suasana kolonialisasi pemerintahan Hindia Belanda mayoritas penduduk pada umumnya pada terbakar kebencian tehadap imperialis, mengakibatkan penduduk pribumi tadak mau bersekolah milik orang-orang Belanda bahkan meniru-niru kebiasaan kaum imperialis pun diharamkan oleh mayoritas penduduk pribumi pada umumnya.

Meskipun demikian, emak tidak terjebak ke dalam gerbong fanatisme buta yang dialami oleh yang lainnya. Emak, sosok ibu yang sangat dinamis, dan mengerti apa yang harus diperbuat di tengah-tengah kesulitan imperialisasi terutama dalam memberikan petunjuk pada anak-anaknya. Hal itu terbukti misalnya emak dengan percaya diri mau belajar menaiki “kereta angin” di mana pada saat itu kendaraan yang beroda dua itu diharamkan oleh penduduk pribumi pada umumnya. Mengingat kereta angin merupakan kendaraan untuk nona-nona Belanda. Meskipun emak mendapat gunjingan dan gosip di sekitar warga kampung, namun usaha agar bisa menaiki kereta angin tetap dijalankan dengan tekun tanpa peduli sedikitpun segala gunjingan warga sekitar rumah,  alhasil emak adalah orang pertama kali yang bisa menaiki kereta angin di kampung itu.

Di lain kasus, emak juga sosok perempuan yang sangat peduli terhadap pendidikan khususnya buat anak-anaknya. Emak berpendapat bahwa kalau ingin keluar dari imperialisasi maka penddikan harus dicapai setinggi tingginya tanpa membedakan warna kulit bahkan kita harus belajar dari mereka. Bahkan emak dengan tegas membantah persepsi masyarakat pada umumnya yang mengharamkan melanjutkan pendidikannya ke sekolah Belanda. Kata emak, “ bukankah saat Rosullullah mau membebaskan para tawanan perang badar dengan syarat mereka harus mengajari baca tulis kepada kaum muslimin pada saat itu. Padahal pembebasan tawanan yang berlaku ketika itu di antara kelompok-kelompok yang berperang adalah tebusan berupa 100 ekor Unta atau uang sebanyak 400 Dirham, yaitu sepadan untuk biaya makan seorang selama 30 tahun.” Begitulah argumen emak.

Tak hanya seorang ibu yang keras usaha dan menjunjung pendidikan. Daeod Joesoef juga memaparkan bahwa emak ternyata memahami ide-ede kemerdekaan dan kenegaraan di tengah-tengah kebodohan masyarakat. Hal itu dibuktikan dalam sebuah diskusi dengan sosok pemuda yang indekos di rumahnya yang akrab dipanggil dengan mas Singgih. Mas Singgih merupakan seorang pemuda dari keturunan bangsawan Jawa yang berpetualang di pulau Sumatera untuk berjuang menyebarkan ide-ide kemerdekaan di tengah-tengah ketidaksadaran dan ketidakberdayaan masyarakat pribumi. Di setiap diskusi bersama dengan mas singgih, emak selalu memperhatikan baik-baik dan tak mau ketinggalan dengan yang lainnya dari setiap gagasan perjuangan yang dipaparkan oleh mas singgih. Emak begitu larut dalam suasana diskusi dan ia sesekali bertanya kritis gagasan-gagasan kebangsaan dan kemerdekaan baik dari mas singgih sendiri maupun dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lainnya melalui penjelasannya. Misalnya dalam sebuah diskusi tentang peran agama dalam perjuangan. Emak berpendapat bahwa semua agama, tanpa kecuali, mengajarkan yang serba baik bagi kehiduan ini. Bahkan tidak hanya terbatas pada hubungan antara sesama manusia, tetapi meliputi perlakuan khalifah Tuhan ini terhadap makhluk binatang  dan sikapnya terhadap alam sebagai keseluruhan. Maka alih-alih saling berebut menonjol-nonjolkan simbol agama masing-masing, saling menyombongkan kelebihan agama masing-masing, saling memamerkan bentuk-bentuk keimanan  masing-masing, para penganut agama lebh baik membuat agamanya seperti garam saja, lebur dalam makanan, dapat dirasakan kebaikan manfaatnya  serta ketepatan pemerataannya tanpa kelihatan sedikitpun kehadirannya. Bukankah setiap agama seharusnya menjadi rahmat bagi kita semua. Jadi kalau Islam mau dibuat maslahat bagi manusia, janganlah ia disendirikan bagai garam dalam botol Arab yang pantang disentuh, namun dibiarkan lebur menyatu dengan semua bahan yang membuat makanan sempurna lezat. Begitulah gagasan emak tentang peran agama memaknai sebuah perjuangan.

Perempuan mewarnai rumah tangga

Sekali lagi, Daoed Joesoef mengangkat keperkasaan seorang perempuan (emaknya) yang digambarkannya. Begitu ikut andil khususnya dalam mewarnai kehidupan keluarga. Apalagi untuk kontek kekinian, dalam kehidupan rumah tangga sosok ibu memberikan warna tersendiri dalam kehidupan rumah tangga. Realitas mengatakan, bahwa seorang ibu jauh lebih dekat dengan anak-anaknya, dari lahir anak diasuh, dididik dan dibesarkan di atas pangkuan ibu. Oleh karena itu, ibulah yang membentuk kepribadian seorang anak.  Ibu juga mempunyai peran yang besar untuk mengarahkan anaknya sesuai dengan kehendaknya. Maka untuk sepanjang zaman, dibutuhkan seorang ibu yang cerdas, dinamis, dan komunikatif dalam mewarnai kehidupan sebuah keluarga khususnya membentuk anaknya menjadi generasi yang unggul. Salah besar kalau menjadi ibu rumah tangga mudah dan tak harus berpendidikan.

Untuk kontek kekinian, nyatanya mayoritas seorang perempuan mengabaikan nilai-nilai yang harus dipenuhi sebagai seorang ibu rumah tangga. Bahkan ibu rumah tangga itu identik kurang cerdas, tak bisa bersaing di luar rumah dan malas bekerja.  Sedangkan mereka lebih dominan untuk berkarir di luar rumah tanpa peduli kehidupan rumah tangganya.

Meskipun tampak terdengar sederhana menjadi seorang ibu rumah tangga yang siaga,  namun untuk mencapai tingkat kepuasan menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik diperlukan pengalaman, kecerdasan, dan bertanggung jawab. Saya begitu kagum saat membaca tulisan-tulisan Ade (seorang mahasiswi) yang penuh imajinasi dan hikmah dari setiap coretan di blog pribadinya (www.rinduku.wordpress.com) bahkan setiap tulisan yang dimuat di blog pribadinya berbagai kalangan merespon dan berkomentar tak kurang dari ratusan komentar. Lantas apa keterkaitannya dengan Ade, seorang perempuan yang lihai menulis itu? Ternyata impiannya bukan menjadi wanita karir atau artis ngetop namun ia menginginkan menjadi seorang ibu rumah tangga yang akan melahirkan anak-anak yang cerdas, tangkas dan unggul.

Begitu juga dengan emak, ia telah sukses mendidik anak-anaknya “Daoed Joesoef telah berhasil meraih gelar doktor di Sorbonne dan menjadi seorang menteri pendidikan di era pembangunan VIII di pemerintahan Orde Baru. Ia pun selalu mengingat nasehat-nasehat maupun petuah petuah bijak emak dalam setiap langkahnya.  Karena didikan emaklah ia menjadi orang yang sukses.

Para Pencari Makam Tan Malaka


Di sebuah kamar sederhana, terdapat sebuah lukisan seorang laki-laki yang tak asing lagi, lukisan itu terletak di atas almari yang berisi baju dan buku. Lukisan itu dibingkai dengan apik seperti sebuah foto. Laki-laki dalam lukisan itu bukan penghuni kamar, bapaknya atau temannya melainkan ia adalah seorang pahlawan kemerdekaan yang akrab dipanggil Tan Malaka. Dilihat dari kejauhan lukisan itu mirip penghuni kamar, namun setelah didekati ada lekukan wajah yang berbeda. Lantas apa hubungan lukisan Tan Malaka dengan isi dan penghuni kamar itu?

Di sebuah kamar itu dihuni oleh seorang mahasiswa yang bernama Abi Setya Nugroho. Ternyata ia tercatat sebagai salah seorang pencari makam pahlawan Tan Malaka yang sampai saat ini belum pasti makamnya di mana. Bersama Zulfikar (ketua Panitia) yang masih ada hubungan keluarga dengan Tan Malaka, Ia beserta timnya melacak keberadaan makam Tan Malaka yang sebenarnya.

Pagi-pagi buta mereka sudah siap meluncur ke Desa Selopanggung Kediri. Tak peduli jauh, puasa, capek dan panasnya sengatan matahari. Semua dilakukan demi Tan Malaka benar-benar mendapat hak yang layak sesuai pahlawan kemerdekaan yang lainnya.

Pencarian makam sudah dipersiapkan lebih dari satu tahun lamanya. Sebenarnya mereka sudah meninjau lokasi satu bulan yang lalu dan baru sekarang mereka bisa melanjutkan pencarian makam Tan Malaka kembali. Ia sangat antusias untuk segera menemukan makam pahlawan yang selama 20 tahun dikejar-kejar Belanda itu (wong Londo). Sebagai seorang akademisi dan warga yang baik, ia akan terus berusaha untuk menemukan makam itu.

Menurut penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Harry A. Poeze (penulis buku Tan Malaka) bahwa Tan Malaka disinyalir dimakamkan di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa timur. Dengan berbagai informasi misalnya dari orang yang bernama Tolu warga Selopanggung, Tan Malaka menjadi tawanan TRI setelah itu ia hilang (tewas) di sekitar pohon petai di depan rumah bekas kakeknya Yasir yang sekarang sudah rata dengan tanah. Namun di sana ada dua makam tua yang disinyalir adalah makam mbah Selopanggung (penghuni desa pertama kali) dan satunya disinyalir makam Tan Malaka.

Para pencari makam Tan Malaka merencanakan untuk menggali makam tokoh itu yang diperkirakan, setelah itu melakukan test DNA. Mereka mempunyai beban moral untuk menemukan makam Tan Malaka sebenarnya. Serta mereka berharap Pahlawan Tan Malaka dikuburkan sesuai dengan selayaknya sebagai seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Tak hanya itu, kita harus mewarisi pemikiran dan perjuangan Tan Malaka. Ia rela hidup menderita, berpindah-pindah demi menegakkan kedaulatan negeri tercinta ini. serta meluruskan sejarah Tan Malaka yang selama ini kematiannya masih simpang siur. “ begitulah ungkapan Abi Setya Nugroho”. Karena sejarah bukanlah catatan final dari perjalanan hidup di masa silam. Serta bukanlah terjadi begitu saja. Namun sejarah adalah pergumulan antara struktur dan realitas yang menetap dengan daya perubahan yang senantiasa menerpa. Meminjam gagasan Taufik Abdullah sejarah adalah konstruksi manusia atas realitas, dialektika yang membentuk wahana dan berita pemikiran. Maka sebagai dari hasil konstruksi, sejarah pada dasarnya bersifat subyektif dan acak, karena ia diambil begitu saja dari sekumpulan peristiwa dan fakta di masa silam.

Upaya pengumpulan ini kemudian diteruskan lewat proses seleksi dengan menepis dan menyiangi pada hal-hal yang tak relevan. Pemilihan data adalah hal yang paling penting, karena pada tahap inilah sejarah dipisahkan dari mitos dan kepalsuan. Dan untuk menjadi bermakna, sejarah haruslah bersifat kronologis dan kausal, yakni memiliki kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.

Keberangkatan Tim pencari makam Tan Malaka yang dipimpin oleh Zulfikar (keponakan Tan Malaka) Abi setya Nugroho, Dul Sutara dan lainnya. Merupakan sebuah agenda mulia, selain itu mereka juga berperan sebagai orang yang ikut membenahi sejarah kemerdekaan Indonesia yang masih banyak yang simpang siur. Selamat berpetualang sejati para pencari makam Tan Malaka!! Tuhan bersama anda sekalian.

Perjalanan Politik NU Dan Tantangan Pemilu 2009


Sejak pemilu 1955 diselenggarakan pertama kali di negeri ini, kiprah NU dari golongan Islam tradisionalis tentunya tidak bisa dilupakan begitu saja dalam mewarnai tegaknya demokratisasi di negeri tercinta ini. Pemilu 1955 bisa dikatakan cukup demokratis, diwujudkan dengan hadirnya multi partai, baik dari nasionalis, Islam maupun komunis. Ada 4 partai besar seperti PNI (22,3%), Masyumi (20,9), NU (18,4%), dan PKI (16,4%). Dilihat dari hasil perolehan suara pemilu 1955, NU sebagai partai Islam memperoleh suara yang memuaskan serta mendapat peringkat ke-3 dari seluruh partai peserta pemilu. Mengingat NU saat itu baru saja keluar dari Masyumi dan tidak punya banyak waktu untuk mensosialisasikan partainya seperti partai-partai lainnya. Perolehan suara NU yang signifikan tidak terprediksikan baik dari politiisi NU sendiri maupun di luar NU. Bahkan perolehan hasil suara NU dan Masyumi selisih tipis. Pemilu-pemilu selanjutnya NU juga masih membuktikan eksistensinya.

nu1

Setelah orde lama tumbang digantikan dengan orde baru, seluruh partai islam dijadikan satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). NU sebelumnya memisahkan dari Masyumi, ternyata orde baru menyatukan kedua partai dari kaum modernis (masyumi) dan NU (tradisionalis) lagi dengan satu partai (PPP), penyatuan partai-partai Islam menjadi satu partai (PPP) tak bisa dilepaskan dari intervensi Soeharto. Keharmonisan dari kedua kalangan Islam ini tercipta lagi. Meskipun begitu, tidak lama kemudian NU dalam PPP merasa selalu tidak diuntungkan. Maka dalam muktamar NU ke 27 tahun 1984 di situbondo, NU kembali ke khitah 1926 serta keluar dari PPP. Setelah NU berkecimpung dalam dunia politik ternyata agenda utama organisasi terbengkalai. Sudah saatnya NU mengkonsentrasikan diri dalam wilayah sosial-keagamaan sesuai tujuan utama organisasi.

Keputusan NU kembali ke khittah 1926 dan melepaskan politik praktis, dilatarbelakangi dengan terpilihnya Abdurahman Wahid sebagai ketua umum PBNU. Dengan begitu, NU bisa memberikan kontribusi lebih kepada masyarakat yang membutuhkan. Bahkan NU tegas terhadap anggotanya yang masih aktif dalam PPP atau partai lain, tidak boleh merangkap menjabat di NU atau sebaliknya.

NU Di Era Reformasi

Jatuhnya pemerintahan otoriter soeharto menandai munculnya Reformasi. Di era ini, suasana keterkekangan selama 32 tahun berakhir, beralih dengan suasana demokratis di segala bidang. Maka setiap warga Indonesia mempunyai hak untuk memeriahkan lagi pesta demokratisasi yang sempat berhenti. Perwujudan dari era Reformasi menyebabkan munculnya partai-partai politik baik dari nasionalis maupun Islam. Partai-parta baru bermunculan bak jamur di musim hujan. Peristiwa seperti ini sebelumnya pernah dialami di era soekarno.

Gus Dur sebagai tokoh NU melihat era Reformasi sangat kondusif untuk mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang terbuka untuk berbagai kalangan tanpa dibatasi. Namun suara PKB mayoritas dari kalangan NU, bahkan bisa disebut partai yang merepresentasikan kaum yang sering disebut tradisionalis ini, meskipun ada beberapa ulama dari NU yang mendirikan partai atas nama mewakili kalangan ini juga.

PKB basis suara pemilihnya mayoritas dari NU, telah membuktikan eksistesi partainya memperoleh peringkat 5 besar dari pemilu 1999 dan 2004. besarnya PKB mengingatkan kita terhadap kejayaan NU dalam pemilu 1955. Partai yang basis suaranya dari kaum tradisionalis ini tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata dari partai-partai lainnya. Bahkan PKB mempunyai peran besar mengantarkan Gus Dur menduduki orang nomor satu di negeri ini setelah pemerintahan Habibie.

PKB Tanpa Gus Dur

Tak diragukan lagi, Gus Dus segai tokoh NU yang dianggap membesarkan nama PKB. Sejak berdirinya awal Reformasi sampai saat ini Gus Dur sepertinya sulit dipisahkan dari PKB. Tidak menutup kemungkinan masyarakat khususnya kalangan NU menganggap bahwa PKB itu Gus Dur atau Gus Dur itu PKB. Namun pasca konflik dua kubu antara PKB Gus Dur dengan PKB Muhaimin Iskandar menyebabkan munculnya realitas tak terprediksikan sebelumnya. Hasil dari konflik dua kubu itu, Gus Dur secara konstitusi tidak mempunyai otoritas lagi terhadap PKB. Kekalahan Gus Dur bisa mengurangi harga tawar PKB di mata masyarakat dan partai-partai lainnya. Bahkan PKB dianalogikan sebagai seekor Rajawali yang mempunyai sebelah sayap.

Pemilu tahun ini akan menentukan eksistensi PKB sebagai partai politik representasi dari kaum tradisionalis ini. Apakah PKB masih mendapatkan simpati masyarakat, setelah partai ini menguras tenaganya untuk menyelesaikan konfliknya baik konflik belakangan ini (Gus Dur dengan Muhaimin) maupun konflik-konflik internal sebelumnya. Hidup matinya PKB akan ditentukan hasil pemilu tahun ini. seandainya hasil suara PKB pemilu tahun ini merosot tajam, tidak menutup kemungkinan Gus Dur akan kembali ke Partai ini.

ROSIT

Inggit Garnasih


img-issue-0Neraka katut surga ora nunut, begitulah kira-kira perjuangan Inggit mengantarkan Soekarno dalam meraih kemerdekaan sesuai yang dicita-citakannya. Inggit tak mempunyai silsilah keluarga bangsawan dari raja siliwangi, Ia juga bukan wanita yang berpendidikan tinggi. Ia adalah wanita berakhlak mulia, setia, tegar menghadapi rintangan dalam hidupnya.

Inggit bukan sosok perempuan yang selalu menggantungkan hidupnya pada sang suami, tetapi ia seorang wanita yang gesit, bahkan Inggitlah yang memberikan uang saku terhadap suaminya saat masih belajar. Dengan jerih payahnya sendiri Ia membuat bedak dan jamu untuk menopang kebutuhan keluarganya sehari-hari.

Perjumpaan keduanya diawali dengan kedatangan pemuda Soekarno ke Bandung untuk melanjutkan studinya, kebetulan rumah Inggit dijadikan tempat tinggal Soekarno selama belajar di kota itu. Selesai belajar tak jarang Soekarno berkeluh kesah dengan Inggit, tak lama kemudian keduanya saling mencintai. Atas persetujuan dari keluarga kedua belah pihak, maka pernikahan dilangsungkan dengan sederhana. Meskipun saat itu Inggit bukan wanita perawan lagi, karena sebelum hidup dengan Kusnonya (Soekarno), Inggit pernah menikah dua kali. Perbedaan usia keduanya selisih 15 tahun, persis dengan Nabi Muhammad dengan Khadijah.

Soekarno sangat beruntung mendapatkan Inggit. Hanya Inggitlah di antara istri-istrinya yang berfungsi sebagai istri, kawan bahkan Ibu. Inggitlah yang membesarkan hatinya, memberikan dorongan memberikan semangat dan harapan kepada kusnonya sayang untuk tetap berjuang sampai titik darah penghabisan.

Saat kusnonya diasingkan ke Endah, Flores dan setelah itu ke Bengkulu. Inggit dengan setia menemaninya, memupuk perjuangan bahkan sampai bertahun tahun lamanya. Saat itu mertuanya menasehati kepadanya “tak perlu kau ikuti suamimu, kamu bisa memilih dan bebas pergi kemana saja” tetapi apa jawaban inggit? “Saya masih punya iman dan iman inilah yang melandasi saya akan setia menemani perjuangannya.”

Bagaimanapun juga, Inggit tentu juga manusia biasa saat mengetahui anak angkatnya “Fatmah” menjalin cinta dengan kusnonya sayang, hatinya hancur lebur, ia menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibnya, kemudian menyalahkan dirinya sendiri” kenapa wanita Fatmah dulu diizinkan tinggal di rumahnya, seandainya waktu itu ditolak kemungkinan tidak akan terjadi peristiwa seperti ini. Meskipun begitu Inggit tetap besar hati dan berjiwa besar.

Kebesaran jiwa Inggit teruji saat Fatmah meminta maaf kepadanya. Ia bukan seorang pendendam, pembenci, dengan hati lapang dada dan jiwa besar ia memaafkan mantan anak angkatnya yang telah merebut hati belahan jiwanya itu. Ia menyadari Soekarno bukan miliknya lagi, bahkan juga bukan hanya milik keluarganya, tetapi sekarang Soekarno milik bangsa dan rakyatnya. Ternyata jiwa besar tidak hanya milik orang yang berpendidikan tinggi atau seorang pejuang nasional, tetapi Inggit seorang wanita sederhana dan berpendidikan rendah telah membuktikan bahwa Ia juga berjiwa besar.

Soekarno adalah singa podium di tengah tepuk tangan masa. Dengan pidato-pidatonya ia bisa meruntuhkan gunung, menimbun lembah serta membangkitkan semangat berkobar-kobar untuk bangsa tanah air tercinta. Soekarno adalah musuh kolonial, pejuang sejati demi terciptanya kehidupan merdeka untuk selama-lamanya. Ia adalah proklamator Indonesia dan namanya abadi sepanjang masa.

Lepas dari kelebihan dan kekurangan mereka berdua. Soekarno adalah seorang pejuang kemerdekaan yang telah berjasa untuk negeri tercinta. Meskipun begitu perjuangan soekarno tanpa Inggit bagaikan Rajawali yang hanya punya sebelah sayap. Inggitlah yang mengantarkan ke gerbang istana, dibalik kesuksesan Soekarno ternyata ada Inggit Garnasih.

ROSIT

MULTATULI


pam-rueter170Siapakah sebenarnya Multatuli? bagi rakyat Indonesia orang yang menamakan dirinya Multatuli tentunya tidak asing lagi. Multatuli yang nama aslinya Dowes Dekker dilahirkan 1820 di Amsterdam. Ia seorang pejuang sejati tanpa pandang bulu. Tokoh seperti Sukarno pun sering menyebut-nyebut nama Multatuli. Arti Multatuli ialah orang yang banyak menderita

Multatuli datang ke Hindia Belanda (sekarang indonesia) bersama kaum kolonial yang lainnya. Mereka datang untuk mengambil hasil bumi yang melimpah ruah di Negeri yang kaya sumber daya alam ini. Ia mulanya bekerja menjadi clerk (juru tulis) dipemerintahan Hindia belanda. Sosok yang membela kebenaran ini bekerja dari satu tempat ketempat yang lain. Puncaknya ia menjabat asisten residen Lebak. Di saat menjabat pegawai di Lebak, Multatuli menyaksikan pandangan yang sangat menyedihkan, dimana kaum bumiputra diwajibkan kerja tanam paksa oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Penghisapan, penyiksaan, dan pembunuhan disaksikan Multatuli didepan matanya. Bahkan kaumbumi putra yang menjabat pemerintahan sebagian menjadi antek kaum kolonial. Mereka ikut menyiksa terhadap sesamanya. Melihat peristiwa yang menyedihkan itu Multatuli berontak dan berjuang untuk membebaskan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda terhadap kaum bumiputra.

Pada awalya Multatuli melaporkan kelakuan ketidakadilan itu baik dari kolonial maupun pejabat bumiputra pada pemerintahan pusat. Tetapi yang terjadi justru tidak digubris oleh pemerintahan pusat, bahkan Multatuli dituduh memfitnah kaum kolonial. Kaum bumiputra yang tidak mempunyai otoritas dan kekuatan hanya pasrah dan menuruti kebijakan-kebijakan terhadap bumiputra. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, selain mengikuti kaum kolonial. Sedangkan petinggi dari kaum bumiputra yang seharusnya membela mereka, ternyata bertindak lebih kejam dari pada kaum kolonial itu sendiri. Disaat kondisi tidak menentu, Multatuli memilih mengundurkan diri dari jabatannya. Pejuang sejati itu tidak betah dengan kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh kaumnya sendiri. Ia rela hidup miskin demi perjuangannya melawan ketidakadilan, segala macam tindakan dan aduan ternyata tidak juga menghasilkan. Tetapi tokoh ini tidak pesimis untuk meneriakkan kata keadilan terhadap kaum kolonial. Ia lalu menghunus pena, mengerahkan kata, mencoba menggugah kesadaran orang banyak. Maka ditulisnya sebuah Roman yang berjudul Max Havelaar yang pertamakali terbit pada tahun 1860. Melalui karya sastra ini, ia membongkar praktek eksploitasi penguasa kolonial atas rakyat bumi puta, menguliti mentalitas kelas menengah belanda serta menyerukan keadilan.

Kesaksian multatuli terhadap penindasan tidak bisa kita lupakan begitu saja.527852163zfaxfh_ph1 Multatuli adalah pahlawan kesepian dimana tidak ada seorang pun berani meneriakkan kebenaran saat itu meskipun demikian Ia lantang dan rela mati demi rakyat bumiputra. Tak heran para pahlawan kita menyebut-nyebut nama Dowes Dekker yang tak lain ialah Multatuli.
Saat ini kita perlu sosok seperti Multatuli untuk berjuang melawan ketidak adilan di Negeri ini. Mengingat Indonesia masih mempunyai krisis moral dari para pejabat kita. Korupsi dan penyuapan masih menjadi rutinitas di Negeri ini. Rakyat membutuhkan tokoh yang meneriakkan keadilan didalam segala bidang kehidupan. Sebetulnya sudah ada beberapa tokoh yang telah berjuang melawan ketidakadilan di Negeri ini. Tetapi apa yang terjadi, justru mereka dibungkam, disingkirkan bahkan dibunuh supaya tidak membongkar borok yang sudah lama terpendam. Peristiwa seperti ini tentu menjadikan hati rakyat terluka bahkan bisa putus asa. Terbunuhnya aktivis HAM Munir tidak lepas dari sosok Munir yang lantang meneriakkan kata keadilan di Negeri ini. Bahkan proses hukum terhadap terbunuhnya Munir sampai saat ini masih belum pasti. Kita berharap walaupun Multatuli maupun Munir sudah meninggal tetapi sepirit perjuangan akan diwarisi oleh pahlawan saat ini.

ROSIT