Bebaskan NU Dari Politik (Praktis)


Pelaksanaan Muktamar NU ke-32 yang diadakan pada 22-28 di Makasar menjadi momentum penting bagi kaum Nahdliyin untuk membenahi diri dari berbagai kesalahan serta kembali kepada  khittah 1926. Secara tidak disadari, NU sudah terjerat begitu jauh dalam politik praktis, hal ini dilihat dari beberapa tokoh yang menjadi kandidat baik dalam tingkatan nasional, Propinsi maupun kabupaten. Padahal sejarah politik NU telah memperlihatkan bahwa organisasi ini beberapa kali mengalami kekecewaan  politik.

NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya sebagai organisasi sosial keagamaan. Namun kiprah NU selama ini masih terjebak ke dalam politik praktis khususnya dilakukan oleh beberapa pemimpin NU sendiri. Sejak tahun 1952 para tokoh NU keluar dari masyumi dan membentuk dirinya menjadi sebuah partai politik bersaing dengan partai –partai lainnya. Keberanian NU menjeburkan diri kedalam dunia politik sungguh mengejutkan berbagai kalangan. Bahkan Isa Anshari, salah satu tokoh kenamaan dari Partai Masyumi menanyakan para pemimpin NU agar berpikir matang untuk masuk ke dunia politik. Mengingat keterbatasan sumber daya manusia di tubuh NU sendiri.

Meskipun demikian, perolehan suara NU pada pemilu tahun 1955 sungguh mengejutkan. NU yang baru membentuk partai politik tiga tahun sebelum pemilu dilaksanakan ternyata memperoleh peringkat ke-3 dari seluruh partai politik peserta pemilu. Secara otomatis NU ikut andil dalam hal yang menyangkut dengan kekuasaan khususnya duduk mewakili rakyat Indonesia.

Dalam pergulatan politik di era Soekarno, NU terlihat kurang begitu vokal, hanya mencari aman,  terkesan mengekor kepada presiden Soekarno serta kurang mempunyai daya kritis terhadap pemerintahan pada masa itu. Bahkan ada sebuah golongan yang mengatakan bahwa NU oportunis. Label semacam itupun dilontarkan terhadap NU di tengah pergulatan ideologi yang semakin memanas.

Seiring dengan perkembangan zaman ketika kekuasaan Soekarno jatuh dan digantikan oleh Soeharto. NU pun sangat dekat dengan orde baru, namun tidak lama romantisme dengan rezim ini, NU merasa dikecewakan dari panggung politik. Dari situ mencoba dirumuskan agar organisasi ini kembali ke khittah 1926 yaitu menjadi organisasi sosial-keagamaan sebagaimana tujuan pendirian awal. Gerakan ini dimotori oleh Gus Dur dan tokoh muda lainnya. Dan sejak saat itu berakhirlah NU berpolitik  yakni sejak diputuskan di muktamar NU ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo.

Gus Dur merupakan salah satu pelopor khittah NU dan juga terpilih sebagai ketua umum PBNU menegaskan kepada tokoh-tokoh NU yang masih berpolitik untuk segera melepaskannya kalau masih menjabat secara struktural di PBNU atau sebaliknya. Sejak kebijakan itu, NU kembali berfungsi sebagai organisasi sosial keagamaan dengan segala keterbatasannya, dari keputusan besar itu NU memiliki nilai penting karena telah melahirkan optimisme baru dan terlepas dari candu politik yang justru memisahkan NU dengan warganya.

Setelah Soeharto tumbang dengan digantikan era Reformasi maka Gus Dur mendirikan PKB bersama tokoh-tokoh NU lainnya sebagai media politik NU. Mulai saat itu NU dibawa ke dunia politik lagi dan tentu melupakan khittah 1926 di Muktamar Situbondo yang telah disepakati bersama. Meskipun PKB masuk jajaran partai yang diperhitungkan, namun perjalanan PKB beberapa kali mengalami konflik internal panjang yang mengakibatkan tidak kosentrasinya para pemimpin NU memikirkan Umatnya dan membuka peluang tokoh-tokoh NU lainnya terjebak ke dalam lubang politik praktis.

Memikirkan Nasib Umat

Pelaksanaan Muktamar yang baru diselenggarakan NU di Makasar tentu menyita perhatian publik, mengingat bahwa NU merupakan organisasi social-keagamaan secara kuantitas terbesar se-Indonesia dan berbagai pihak merasa menunggu kontribusi NU pasca Muktamar. Sementara itu  Persaingan antara para calon pun nampak sama kuatnya serta terlalu dini kalau kita menyimpulkan tentang kemenangan dari salah satu calon pada muktamar ke 32 ini.

Di antara para calon seperti KH Masdar F. Mas’udi, KH Said Agil Siraj. KH Ahmad Bagdja, Ulil Abshar Abdalla dan lainnya sejauh ini sepak terjang mereka di NU telah membuktikan tidak terlibat dalam politik praktis, kecuali KH Solahuddin Wahid yang pernah menjadi calon wakil presiden mendampingi Wiranto pada pemilu 2004 lalu. Hal itu disebabbkan faktor posisi ketua umum PBNU sangat strategis untuk menggalang massa digiring ke dalam ruang politik melalui pemilu. Dan hal itulah kesalahan terbesar KH Hasim Muzadi selama dua periode memimpin NU, meskipun ia tidak terang-terangan menginstruksi warga NU agar memilih dirinya pada pemilu 2004 lalu.

Agar para pemimpin NU tidak terjebak ke dalam politik praktis, setiap calon mesti disumpah agar menjauhi dunia terlarang itu dan lebih megarahkan gerakan pemberdayaan umat khususnya warga NU. Hal itu perlu dilakukan mengingat organisasi kaum sarungan itu sudah beberapakali terjebak kedalam politik praktis dan bahkan sudah kecanduan. Besarnya massa NU memang sangat menggiurkan setiap kandidat dari manapun berasal baik untuk pemilu maupun pilkada. Tak heran pada pemilu dan pilkada sebelumnya, para tokoh NU dilamar dari berbagai kalangan sebagai pendamping, tak lain untuk memenangkan pemilu belaka.

Siapapun calon yang akan terpilih pada muktamar, perlu menegaskan bahwa ia tidak akan tergiur oleh keindahan politik serta NU tidak dijadikan komoditas politik praktis oleh para tokohnya sendiri. NU mestinya belajar dari sejarah yang sudah berlalu, agar organisasi ini harus memfokuskan diri terhadap kesejahteraan umat khususnya warga NU sendiri. Mengingat mayoritas warga NU berdomisili di desa-desa yang mayoritas berprofesi sebagai petani, nelayan dan pedagang kecil. Tentu mereka sangat membutuhkan perhatian agar keluar dari kemiskinan laten yang disuburkan oleh minimnya akses tanah dan kebijakan kependudukan yang lebih berorientasi ke teknologi tinggi padat modal. Sedangkan dalam proses pembangunan mereka mengalami marjinalisasi serta kurang diperhatikan oleh negara.

Kepada calon terpilihpun mesti memperhatikan umat dan mengambil langkah-langkah strategis dalam menyejahterakan umat khususnya warga NU. Mengingat Secara kuantitas NU peringkat pertama dari berbagai organisasi social-keagamaan di negeri ini, namun secara kualitas ternyata NU masih memprihatinkan. Oleh karena itu, kepada calon terpilih akan dibebani tugas yang tidak ringan yaitu menyejahterakan warga NU khususnya di pedalaman agar keluar dari lubang kemiskinan. Serta para pemimpinnya menjauhi politik praktis. Agar kuantitas warga NU juga dibarengi dengan kualitas