INTRODUCTION TO MASS COMMUNICATION THEORY


PENDAHULUAN

Bentuk dari komunikasi massa mengalami transformasi yang cukup radikal dalam beberapa tahun terakhir. Tidak dapat dipungkiri bahwa di era saat ini, media memainkan peranan penting di dalam keseharian dan kehidupan manusia, baik itu di sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun dalam kehidupan pribadi.

Di era 1980-an hingga 1990-an, media komunikasi massa lebih didominasi pada main stream media seperti Koran, Televisi, dan Radio. Pada tahun-tahun teakhir telah muncul beberapa media baru yang memanfaatkan kemajuan tekhnologi informasi dan jejaring sosial yang melekat berkembang sejalan dengan perkembangan tekhnologi informasi.

PERTANYAAN PENTING MENGENAI MEDIA

Terdapat tiga pertanyaan penting di dalam perkembangan media yang digunakan untuk komunikasi massa, yaitu:

  1. Potensi apa saja yang ditawarkan maupun ancaman apa yang sekira dapat terjadi dengan munculnya bentuk baru dari media yang memanfaatkan perkembangan tekhnologi?
  2. Bentuk birokrasi atau industri apa yang harus dikembangkan untuk mengendalikan ataupun melakukan pengaturan pemanfaatan tekhnologi yang berkembang tersebut sehingga potensi yang ada dapat diwujudkan dan ancaman-ancaman yang kemungkinan terjadi dapat diminimalisir?
  3. Bagaimana cara yang dapat diberikan oleh media untuk membantu terwujudnya demokrasi dan budaya masyarakat yang beraneka ragam di saat ini?

Ketiga pertanyaan di atas menunjukkan adanya dua sisi mata uang dari perkembangan media massa. Pertanyaan di atas menunjukkan bahwa media dalam komunikasi massa dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan atau mengumpulkan opini atau pendapat masyarakat ke arah yang diinginkan oleh satu pihak, karena jika tidak dilakukan pengendalian terhadap media yang digunakan untuk komunikasi massa maka akan terjadi upaya pembentukan opini untuk mewujudkan tekanan publik (public preasure) atau menjadi alat pengadilan public (public court).

DEFINISI DAN RE-DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain yang diangggap makna asli dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain.

Membicarakan mengenai komunikasi massa tentunya tidak akan terlepas dari peran media massa yang merupakan institusi penting ditengah masyarakat. Saat sebuah organisasi menggunakan teknologi sebagai media untuk berkomunikasi dengan khalayak luas, disitulah komunikasi massa itu bekerja. Para profesional di New York Times menggunakan media cetak dan surat kabar (teknologi dan media) untuk menjangkau para pembaca (khalayak luas). Penulis, produser, pembuat film, dan berbagai profesi di Comedy Central menggunakan bermacam-macam teknologi audio dan video, satelit, televisi kabel, dan perangkat penerima untuk berkomunikasi dengan khalayak mereka. Warner Brothers beriklan di majalah untuk menginformasikan film-film yang tengah dirilis.

Dengan berkembangnya tekhnologi media, lingkungan komunikasi massa telah berubah. Saat anda duduk didepan komputer dan mengirimkan e-mail kepada 20.000 orang yang membahas mengenai topik-topik tertentu, anda sebenarnya sedang berkomunikasi dengan khalayak luas, tapi anda bukanlah sebuah organisasi seperti surat kabar, jaringan televisi kabel, atau studio film.

Kebanyakan teori yang akan kita pelajari disini telah dikembangkan sebelum revolusi komunikasi moderen. Ini tidak berarti teori-teori tersebut menjadi tidak berguna dan kuno, tapi sangat dibutuhkan untuk mengingatkan kita tentang besarnya perubahan mengenai bagaimana manusia menggunakan teknologi untuk berkomunikasi. Salah satu cara yang berguna untuk melakukannya adalah dengan cara berfikir bahwa komunikasi yang dimediasi sebagai sesuatu yang hadir pada sebuah rangkaian kesatuan yang membentang, diawali dari bentuk komunikasi interpersonal menjadi bentuk komunikasi massa tradisional. Media yang berbeda yang terdapat dalam rangkaian ini bergantung pada jumlah dari kendali dan keterlibatan dari orang yang terlibat dalam sebuah proses komunikasi.

Seperti yang akan terlihat saat kita menyelidiki teori-teori komunikasi terbaru, teknologi komunikasi yang baru telah memberikan pengaruh yang krusial dalam memahami mengenai bagaimana individu-individu dan masyarakat menggunakan media dan bagaimana pula teknologi tersebut berdampak pada mereka. Kemajuan tekhnologi telah membawa pemirsa DVD tidak hanya me “re-edit” scene tertentu dalam sebuah film menjadi sesuai dengan yang mereka inginkan, namun juga untuk memasukkan alternatif akhir, pemirsa memiliki  keterlibatan dan kontrol yang lebih tinggi pada hasil akhir proses komunikasi daripada saat mereka menonton film yang sama di bioskop. Tentunya perubahan peran pemirsa dari “pasif” menjadi “aktif” ini merubah hubungan diantara anggota pemirsa dan isi komunikasi yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada proses pemaknaan yang terjadi.

PERIODISITAS DALAM TEORI MEDIA

Di dalam pengembangan teori mengenai media, terbagi dalam beberapa latar belakang atau periodisitas yang memunculkan suatu teori-teori media baru. Perkembangan tekhnologi dan kondisi sosial masyarakat baik itu di bidang politik, ekonomi, maupun perubahan budaya telah mendorong terjadinya suatu perubahan penggunaan media dalam komunikasi massa.

Terdapat beberapa hal penting yang mendasari terjadinya perubahan-perubahan dalam teori penggunaan media dalam komunikasi massa, antara lain:

  1. Masing-masing perspektif yang menjadi dasar pembentukan teori di dalam setiap era adalah suatu pencapaian dari komunitas penelitian, yang dipengaruhi oleh: nilai-nilai, ide-ide yang sudah ada sebelumnya, maupun standar penelitian yang berlaku saat itu;
  2. Setiap komunitas penelitian dipengaruhi oleh: perbandingan antar-teori, sumber dana yang terbatas, serta faktor eksternal berupa aturan politik dan nilai yang ada di masyarakat
  3. Kedua hal tersebut di atas memberikan suatu pemahaman bahwa:
    1. Beberapa bentuk teori sudah ‘usang’ meskipun masih menarik dan berpotensi untuk digunakan; atau
    2. Beberapa teori tertentu ‘langgeng’ dan masih digunakan oleh para peneliti saat ini.

ERA “MASS SOCIETY” DAN “ MASS CULTURE”

Deskripsi tentang teori komunikasi massa bermula dari review tentang gagasan awal mengenai media, ide ini dikembangkan pada akhir abad ke sembilan belas sejalan dengan penemuan teknologi baru mengenai media yang kemudian menjadi populer. Sebagian pakar “beroposisi” terhadap perkembangan teknologi baru tersebut yang dikatakan dapat mengganggu kedamaian, masyarakat pedesaan, dan memaksa orang untuk tinggal dalam area urban yang hanya melayani kenyamanan tenaga kerja dalam sebuah perusahaan besar, pertambangan dan birokrasi. Pola didasarkan pada suatu ketakutan akan peningkatan kriminalitas, perbedaan budaya, dan ketidakstabilan sistem politik.

Pandangan yang paling dominan dalam periode tersebut mengacu pada teori sosial kemasyarakatan (Mass Society). Hal itu berawal dari sekumpulan teori yang bertentangan satu dengan yang lain, beberapa cukup radikal, dan yang lain cukup reaktif. Menafsirkan gagasan tentang sosial masyarakat cukup sulit dikarenakan mereka berasal dari perbedaan spektrum politik. Gagasan ini dikembangkan oleh penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaan politiknya dan oleh para revolusionis yang menginginkan perubahan secara radikal.

Alasan yang esensial dari teori sosial kemasyarakatn ini adalah bahwa media dimaksudkan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan ini, langkah-langkah harus dilakukan untuk merubah hal yang lama menjadi hal yang baru. Permasalahan yang kemudian muncul adalah hal yang sama sebagaimana diungkapkan sebelumnya mengenai pertanyaan-pertanyaan seputar berkembangnya media. Siapa yang harus melakukan ini semua? Mampukan otoritas yang sudah mapan bisa dipercaya untuk melakukan kontrol terhadap media? Atau haruskah media bisnis diijinkan untuk beroperasi secara bebas? Haruskan kelompok revolusionis diberikan akses ke media?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menimbulkan konfik yang sering kali menyebabkan gerah para aristokrat yang memiliki kekuasaan yang berdasarkan tradisi melawan para elite yang memiliki kekuasaan berdasarkan revolusi industri. Perubagan sosial yang terjadi telah membentuk elite baru dari industri yang terus berkembang. Elite baru ini memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan teknologi, termasuk didalammnya adala tekhnologi terkait dengan media massa.

Dalam sudut pandang elite baru ini, teknologi  memmpunyai dampak positif yang bagus karena mampu secara fasilitatif mengontrol lingkungan secara fisik, mengembangkan produktifitas manusia, dan generated bentuk-bentuk baru dari bahan obat-obatan dalam dunia kesehatan. Teknologi baru mampu mengatasi problem-problem sosial dan memimpin dalam perkembangan tatanan sosial dunia yang ideal. Tapi dalam jangka pendek industrialisasi menimbulkan masalah-masalah baru – seperti eksploitasi pekerja, polusi dan social unrest.

Perkembangan pada saat ini, ide-ide akan media yang memiliki kekuatan komunikasi yang dapat mempengaruhi massa pada akhirnya berada dalam situasi yang sangat tergantung akan pilihan media komunikasi yang digunakan oleh masyarakat. Sebagian pakar “mass society” beranggapan bahwa “korupsi” di dalam penyampaian informasi kepada masyarakat pasti akan membawa kehancuran sosial dan budaya.

MUNCULNYA PERSPECTIF ILMIAH DALAM KOMUNIKASI MASSA

Penggunaan komunikasi secara massal menjadi dominan di era 1930-an sejalan dengan mulai dikenalnya penggunan tekhnologi radio dan televisi. Pada era ini, banyak politisi memanfaatkan kemajuan tekhmnlogi media untuk menyampaikan ide-ide politik dan upaya untuk menggiring opini publik untuk dapat memperoleh dukungan. Teknik-teknik propaganda mulai dipergunakan dengan mengoptimalkan tekhnology yang pada saat itu baru berkembang seperti film bergerak dan radio.

Pemanfaatan tekhnologi dalam komunikasi massa ini mendorong diperkenalkanya suatu teori baru mengenai “mass society”, yaitu Limited Effect Perspective, yaitu suatu teori yang memandang media sebagai pendorong tren sosial yang terjadi saat ini dan menguatkan tren sosial tersebut bukan hanya sebagai suatu ancaman terhadap status quo yang ada saat ini. Teori ini banyak digunakan untuk menjelaskan pengaruh jangka pendek dari media komunikasi yang rutin dipergunakan oleh masyarakat. Pengembangan lebih lanjut atas teori ini disebut dengan Administrative Theory, yaitu suatu teori yang memandang media sebagai pengarah dalam pengambilan keputusan yang bersifat praktis dalam berbagai organisasi.

MUNCULNYA PARADIGMA LIMITED EFFECTS

Perkembangan teori komunikasi di era 1960-an mendorong terjadinya bentrokan dan debat antara gagasan Limited Effects dan gagasan Mass Society tentang efek-efek media. Gagasan Limited Effects digabungkan dengan teori sosial dan politik, dan membuat sebuah perspektif yang sekarang dikenal dengan nama elite pluralism. Pendukung gagasan Mass Society menyerang dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak saintifik dan irasional. Yang kemudian mereka bergabung dengan Anti-Komunis Red Scare untuk focus membersihkan media dari Komunis, dan mengajukan argument bahwa publik butuh di lindungi dari manipulasi media.

Pada pertengahan tahun 1960an, debat antara gagasan Limited Effects dan gagasan Mass Society sepertinya akan berakhir dan penelitian empiris terus tumbuh. Banyak ilmuwan komunikasi berhenti mencari efek-efek media (yang kuat) dan malah berkonsentrasi dalam mendokumentasikan Limited Effects secara sederhana. Beberapa peneliti media menjadi bosan dengan ‘penelitian media’ dan kembali bekerja dalam ilmu politik atau sosiologi. Sehingga Bernard Barelson, salah satu dari orang yang bekerja dekat dengan Paul Lazarsfeld, membuat essay yang controversial, menyatakan bahwa: “bidang penelitian komunikasi akan mati”. Tidak ada yang tersisa untuk dipelajari.  Barelson berpendapat, ini adalah waktu untuk pindah ke pekerjaan yang lebih penting. Ironisnya, ia menulis essay tersebut sebelum bidang penelitian media mengalami ledakan pertumbuhan. Pada akhir 1960 dan tahun 1970an, siswa membanjiri sekolah-sekolah jurnalisme dan jurusan-jurusan komunikasi, begitupula pada Fakultasnya. Jumlah fakultas bertambah,  begitu pula dengan jumlah penelitiannya.

KRITIK BUDAYA: TANTANGAN TERHADAP LIMITED EFFECTS PERSPECTIVE (LEP)

Pasca perang dunia II, kelompok teorikus Eropa (neo-marxist) melakukan perlawanan terhadap kaum kapitalis bahwa media didominasi oleh kelas elit sosial untuk menjaga kekuatannya. Media menyediakan dengan sebuah kenyamanan yang tak kentara, efektif yang bermakna serta menampilkan pandangan dunia sesuai dengan kepentingannya. Media massa dapat dipandang, sebagaimana sebuah ruang publik di mana persaingan budaya dilawan dan sebuah dominasi atau budaya dominan dibentuk. Kelompok elit mendominasi perebutan ini karena mereka mulai dengan sebuah keuntungan/kepentingan. Oposisi dimarjinalkan dan status quo dipertahankan. Dengan teori neomarxist berusaha untuk menguji institusi media massa dan menafsirkan konten media massa secara kritis.

Selama tahun 1960, Neo-Marxist di Inggris mengembangkan sebuah sekolah teori sosial yang merujuk pada kajian budaya di Inggris. Ia begitu fokus terhadap media dan peran mereka di dalam mempromosikan sebuah pandangan dunia hegemonik dan sebuah budaya dominan antara berbagai sub kelompok di dalam masyarakat. Peneliti mengkaji bagaimana anggota kelompok-kelompok menggunakan media dan menggambarkannya dipimpin oleh orang dalam mengembangkan gagasan-gagasan yang didukung kelas elit dominan. Peneliti sering menemukan bahwa orang sering menentang gagasan hegemonik dan penafsiran alternatif yang dipropagandakan di dunia sosial (Mosco & Herman, 1981) meskipun kajian budaya Britis mulai dengan asumsi deterministik  tentang pengaruh media (media memiliki kekuatan dan efek langsung)  mereka konsentrasi terhadap kajian penerimaan khalayak, membangun pertanyaan penting dalam kekuatan media yang potensial dalam kondisi dan situasi dan kemampuan anggota khalayak yang aktif, untuk melawan pengaruh media.—pertanyaan para pakar media Amerika pada tahun 1960 diabaikan karena mereka skeptis terhadap kekuatan media dan menganggap khalayak adalah pasif.

Apa yang digemakan oleh Neo-Marxist pada puluhan tahun lalu, rupanya masih relevan pada masa kini. Beberapa media massa baik cetak maupun elektronik dimiliki oleh kaum pemilik modal. Kepemilikan media massa bagi mereka bukan hanya sekedar bisnis, namun juga mereka mengarahkan media sebuah ideologi yang cenderung berpihak terhadap kaum pemilik modal. Media yang seyogianya menjadi kontrol sosial namun terlihat begitu kentara motif bisnisnya, hal itu nampak program-program yang diselenggarakan lebih mengarah sesuatu yang sensual ataupun kalau acara diskusi dan debat pun temanya mengundang kontroversial.

PENELITI MENYERANG KEMBALI: PERKEMBANGAN PADA EFEK MODERAT

Dasar pemikiran dari teori ini adalah efek dari pembelajaran budaya dan juga perkembangan dari teknologi komunikasi. Para peneliti mulai mengembangkan suatu ilmu pengetahuan mengenai komunikasi yang merupakan suatu perspektif dari pelaksanaan riset yang mengintegrasikan semua pendekatan-pendekatan di dalam riset, baik pendekatan kuantitatif, data empiris, maupun metode riset yang didasarkan pada perilaku. Selain itu juga muncul teori sosial “semiotics” yang memadukan antara ilmu pengetahuan mengenai komunikasi dan kajian-kajian mengenai kebudayaan yang berfokus pada kegiatan yang dapat memberikan pemahaman bagaimana publik dapat menerima pesan yang disampaikan.

Perspektif ini, membutuhkan “Audience” yang aktif menggunakan media untuk mendapatkan pengalaman yang berarti. Dan pengalaman yang berarti butuh keinginan menjalani hal yang baru secara terus menerus (intens). Dari pengalaman yang berarti itu akan membentuk perspektif, dan masalah baru akan muncul ketika factor-faktor yang membentuk perspektif tidak sesuai dengan apa yang ingin disampaikan melalui media. Jadi penelitian saat ini lebih ditekankan pada apakah pesan dari sumber bisa sampai ke audience atau tidak, bukan lagi pada bagaimana efek media ke masyarakat.

Level of Prespektif (LEP) yang diperoleh dari penelitian tidak bisa membuat prediksi/ pengertian tentang perubahan cultural.  Dengan  kata lain menganggap bahasa media tidak dapat memerankan hal penting dalam perubahan serta tidak berhasil dalam menghitung efek yang luas dari media.

Perkembangan dari riset komunikasi ini mengarah pada beberapa tingkatan perspektif, mulai dari efek media yang dibagi atas microscopic (yang berdampak pada tingkatan individual) hingga macroscopic (yang berdampak pada tingkatan budaya atau pada masyarakat luas).

PENUTUP

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan media selalu memainkan peranan penting di dalam pembentukan dan perkembangan masyarakat. Perkembangan-perkembagnan tersebut mendorong para pakar untuk membentuk teori-teori komunikasi baru yang sejalan dengan perkembangan zaman. Masing-masing perspektif yang menjadi dasar pembentukan teori di dalam setiap era adalah suatu pencapaian dari komunitas penelitian, yang dipengaruhi oleh: nilai-nilai, ide-ide yang sudah ada sebelumnya, maupun standar penelitian yang berlaku saat itu.

Setiap penelitian yang dikembangkan sangatlah dipengaruhi oleh suatu perbandingan antar-teori yang dikembangkan dan teori-teori yang telah ada serta serta faktor eksternal berupa aturan politik dan nilai yang ada di masyarakat. Terdapat beberapa bentuk teori sudah ‘usang’ meskipun masih menarik dan berpotensi untuk digunakan, namun ada pula beberapa teori tertentu ‘langgeng’ dan masih digunakan oleh para peneliti saat ini.

Penelitian dan perkembangan teori mengenai komunikasi dan mengenai media komunikasi yang digunakan serta efeknya, secara umum tidak akan mati dan masih banyak yang dapat terus digali dan dipelajari, karena komunikasi akan terus ada sejalan dengan perkembangan zaman dan budaya masyarakat. Perubahan hanya akan terjadi dalam media yang digunakan, namun substansi mengenai penyampaian atau komunikasi yang dilakukan akan terus merupakan hal yang menarik untuk dikembangkan teori-teorinya.

Tulisan di atas diambil dari buku MQuail, Mass Communication Theory,2000.

disusun dan dipresentasikan oleh Hendra, Hasan, Galih, Yayan, Nindi, Dita, Lury dan Rosit (Universitas Indonesia)