Etika Mundurnya Wakil Kepala Daerah


Oleh: M. Rosit

Ketidakharmonisan pasangan Kepala Daerah/Gubernur dan wakilnya mengulang kembali, peristiwa ketidakharmonisan yang berakibat mundurnya salah satu pasangan yang pernah bersaksi atas nama rakyat untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin yang memiliki mandat langsung dari rakyat ternyata begitu mudahnya mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Kali ini terjadi pada Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto.

Surat pengunduran diri Prijanto sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, telah resmi diajukan tertanggal 23 Desember 2011. Di dalam surat tersebut tidak disebutkan alasan jelas pengunduran diri, seperti rencananya maju sebagai Cagub DKI Jakarta pada pemilu kada 2012 nanti. Sebelumnya pengunduran diri Prijanto, Kasus  serupa terjadi pada Diky Chandra yang juga mengundurkan diri sebagai Wakil Bupati Garut. Prosesnya berjalan dan akhirnya ditetapkan dengan surat keputusan Mendagri. Oleh karena itu proses pengunduran diri Prijanto juga akan memakan waktu hingga adanya keputusan Mendagri.

Pengunduran Diky Chandra juga disebabkan adanya ketidakharmonisan yang terjadi antara wakil dan Bupatinya. Padahal baik Prijanto dan Diky Chandra sudah bersumpah akan menjalankan masa jabatannya sebagaimana yang diamanatkan konstitusi, nyatanya menyelesaikan masalah pada level internal saja tidak bisa. Dan hal itu perlu dipertanyakan keseriusan mereka baik dalam etika berpolitik maupun sebagai seorang pemimpin yang memiliki mandat dan mengayomi rakyatnya.

Selain adanya disharmonisasi, baik Prijanto maupun Diky Chandra mengalami alasan yang mirip, yakni Prijanto tidak mau menjelaskan alasan mengapa ia harus mengundurkan diri secara jelas dan gamblang kepada publik, dan begitu juga sebelumnya Diky Chandra juga tidak menjelaskan secara jelas dan rasional tentang alasan kemunduran dirinya dari Wakil Bupati Garut. Hal ini mengindikasikan bahwa keduanya bukan seorang politikus atau pemimpin yang memiliki karakter kuat, yang semestinya hal itu tidak akan terjadi pada seorang politikus atau negarawan yang memiliki pandangan jauh ke depan. Selanjutnya kemiripan keduanya adalah mereka menempatkan diri sebagai sebagai  orang yang terzolimi agar mendapat belas kasihan dari publik. Diky Chandra menyalahkan dirinya sendiri bermaksud memperoleh dukungan dari publik, sementara Prijanto mengatakan bahwa dirinya cukup sabar mendampingi Fauzi Bowo selama ini, dan bahkan mengatakan semestinya sudah 2 tahun lalu mengundurkan diri.

Peristiwa seperti ini terjadi membuktikan bahwa egopolitik lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan publik. Seharusnya sebelum menjadi seorang politikus yang berniat menduduki jabatan-jabatan strategis harus memiliki niat dan tujuan yang benar. Menjadi seorang politikus adalah menafkahkan waktu dan energinya untuk kepentingan rakyat, bukan malah mencari nafkah untuk memperkaya diri. Dalam etika komunikasi politik jelas bahwa ketika seorang politikus atau pejabat negara sudah melenceng dari tujuan dari politik itu sendiri atau bahkan tidak memahami identitas diri sebagai seorang politikus maka kegaduhan politik dan ketidakharomonisan lebih sering menonjol ke permukaan. Tentu hal ini bertentangan dengan etika demokrasi yang mengatakan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Selain itu, menjadi pimpinan di dalam sistem demokrasi tidak semudah apa yang dibayangkan, berbeda dengan menjadi seorang raja di dalam sistem monarki yang segala keputusan dan kebijakannya berdasarkan kemauan atau kehendaknya. Namun tidak begitu di dalam sistem demokrasi, baik kepala daerah maupun wakilnya dalam memimpin daerahnya harus sesuai apa yang diinginkan oleh rakyatnya bukan apa yang diinginkan oleh pemimpinnya. Jadi semua kebijakan bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. bukan dari pemimpin, oleh pemimpin dan untuk pemimpin, apalagi bermuara dari parpol, jelas tidak sesuai dengan konstitusi yang sudah diamanatkan bersama.

Oleh karena itu, fenomena mundurnya wakil kepala daerah perlu mendapatkan respon yang serius. Hal ini penting karena bagaimanapun pihak yang menjadi korban mengenai kemunduran salah satu pasangan/wakil kepala daerah adalah rakyat yang telah memberikan mandat kepada pemimpinnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait fenomena mundurnya wakil kepala daerah yaitu: pertama, tidak berjalannya komunikasi antar sesama baik kepala daerah maupun wakilnya, hal ini nampak jelas baik Prijanto maupun Diky Chandra yang kecewa terhadap pasangannya, mereka merasa inferior atau bahkan mereka sendiri yang menempatkan inferior sehingga ketidakpercayaan diri sebagai seorang wakil kepala daerah lebih besar.

Kedua, alasan politis, yakni bisa saja Prijanto mengundurkan diri dari wakil Gubernur karena menyiapkan strategi pemilu kada DKI Jakarta yang semakin mendekat waktunya, bagaimanapun ia harus mengundurkan diri dari jabatan wakil Gubernur agar tidak nampak inferior di mata publik dan menyiapkan strateginya untuk pemenangan pemilu kada, strategi ini juga pernah dilakukan SBY saat berniat maju Pemilu Presiden pada tahun 2004. Ketiga, wewenang wakil kepala daerah kurang jelas, hal ini juga mengindikasikan bahwa seorang wakil kepala daerah hanya sebagai pendamping saja, atau ia tidak memiliki hak dalam mengambil kebijakan sehingga merasa dibayang-bayangi oleh pasangannya sendiri. Keempat, ia melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang sudah dimandati oleh rakyat banyak. Kepala daerah dan wakilnya dipilih melalui pemilu langsung, berapa banyak biaya politik yang sudah dihabiskan baik dari negara maupun biaya kandidat, selain itu juga rakyat sudah terlanjur memilih dan memimpikan pemimpinnya bisa menyelesaikan segala permasalahan kehidupan kaum bawah.

Solusi dan Proses Pembelajaran

Supaya tidak terjadi disharmonisasi antara pasangan kepala daerah dan wakilnya perlu dibuat regulasi yang ketat. Hal ini perlu dilakukan agar kejadian ini tidak terulangi atau tidak dilakukan oleh wakil kepala daerah lainnya. Regulasi ini mengatur dengan tegas tentang pengunduran salah satu pasangan harus jelas dan rasional dan tidak beralasan karena tidak adanya kecocokan dengan pasangannya.

Kejadian ini juga mengindikasikan implementasi yang meliberalkan demokrasi dengan cara memilih pasangan kandidat ternyata tidak menghasilkan kesepakatan politik. Keduanya bahkan malah menjadi rival yang saling bersaing dan menjatuhkan secara asimetris. Kalau hal ini sudah terjadi maka kemesraan saat-saat menjelang pemilu kada dan menjabat pada masa-masa awal pemerintahannya akan cepat berlalu sehingga berubah menjadi pasangan yang mudah dan siap melakukan perceraian.

Berdasarkan data Kemendagri bahwa hanya 6,15 persen pasangan kepala daerah hasil pemilihan pada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada Pemilu Kada untuk periode selanjutnya. Sedemikian besar presentase pasangan kepala daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika pemilu kada. Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenoek menyatakan, “Dari 244 Pemilu Kada pada 2010 dan 67 pada 2011, hampir 94 persen diantaranya pecah kongsi.

Oleh karena itu, semestinya pasangan kepala daerah mengerti tugas-tugasnya yang telah diamanatkan oleh rakyat, bisa berkomunikasi dengan baik dan bekerja optimal, apalagi untuk konteks DKI Jakarta membutuhkan penyelesaian yang tidak mudah. Segala carut marut di ibukota ini juga tergantung kecerdasan dan kreatifitas seorang pemimpin untuk menanggulangi banjir, macet, kriminal dan permasalahan kota pada umumnya. Jadi pengunduran diri sebagai Wakil Kepala Daerah tidak menjadikan solusi apalagi ketika dibandingkan dengan pemilihan yang membutuhkan biaya yang sangat besar, tentu juga harus menghasilkan sesuatu yang berarti untuk rakyat.

Penulis adalah Peneliti The Political Literacy Institute, Jakarta

Macan NU


Suatu hari, Kiai kholil memanggil santri-santrinya.” Anak-anakku, sejak saat ini kalian harus memperketat penjagaan pondok. Gerbang depan harus senantiasa dijaga. Sebentar lagi akan ada macan masuk di pondok kita,” kata Kiai Kholil di depan santri-santrinya. Tentu saja, mendengar titah Kiai yang sangat dihormati itu, para santri segera mempersiapkan diri. Dalam benak mereka terbayang seekor macan yang mengendap-endap memasuki pesantren dan menerkam salah seorang dari mereka. Saat itu di sebelah timur Bangkalan masih terdapat hutan yang angker.

Satu hari, dua hari, tiga hari, dan seterusnya, para santri selalu berjaga dengan waspada. Tanpa terasa, hitungan hari sudah sampai tiga minggu, macan yang ditunggu-tunggu tak muncul-muncul. Yang terjadi sebagaimana biasanya di bulan Syawal yang merupakan awal pelajaran baru, adalah santri yang berdatangan dari berbagai penjuru tanah air. Pada minggu ketiga sejak Kiai Kholil memerintahkan santrinya untuk berjaga-jaga, seorang pemuda kurus dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi dan berkulit kuning menenteng koper seng, datang ke kompleks pesantren.

“Assalamualaikum,” ucapnya ketika berada di depan pintu rumah Kiai Kholil. Mendengar salam itu bukan jawaban salam yang diucapkan, Kiai Kholil malah berteriak memanggil santri-santrinya. ” hai santri ada macan…macan…ayo kita kepung jangan sampai ia masuk ke pondok!” teriak Kiai Kholil.
Mendengar teriakan Kiai Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir “macan” itu. Para santri membawa pedang, celurit, tongkat, batang kayu, sendok dan apa saja yang bisa dibawa. Mereka kemudian menggerubuti “macan” yang tak lain adalah seorang pemuda tadi. Sang pemuda menjadi pucat pasi ketakutan. Tak ada jalan lain karena dikerubuti sedemikian rupa, pemuda tersebut terpaksa lari pergi menjauh dari pesantren. Namun karena keinginan nyantri pada Kiai Kholil sangat besar, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Lagi-lagi ia memperoleh perlakuan yang sama. Ia diusir ramai-ramai.

Pada malam ketiga, diam-diam pemuda itu memasuki kompleks pesantren. Karena kelelahan, juga rasa takut, pemuda itu meringkuk, tidur di bawah kentongan di langgar (musala). Tak disangka, pada tengah malam itu Kiai Kholil membangunkannya. Lalu ia dimarahi habis-habisan. Namun demikian, malam itu ia juga diajak ke rumah Kiai Kholil. Pemuda itu sangat lega ketika dinyatakan diterima sebagai santrinya. Pemuda itu tiada lain ialah Abdul Wahab Hasbullah, yang kemudian mendirikan jami’iyah NU, yang disegani, baik oleh kawan maupun lawannya, terutama kalangan politisi. (Moh Rifai, 2010, 26).

Kisah di atas adalah sekelumit perjalanan Kiai Wahab Hasbullah yang cukup unik, entah hanya sebuah lelucon atau realitas. Di masa Era Soekarno dan awal Orde Baru, tak ada yang tak kenal dengan Kiai Wahab Hasbullah. Ia begitu tersohor di seluruh penjuru negeri sebagai seorang ulama, tokoh masyarakat maupun politisi. Akan tetapi, ia pun tak lepas dari ejekan-ejekan terutama dilontarkan oleh lawan politiknya, misalnya ia dituduh sebagai Kiai Nasakom, Kiai Orla, Kiainya Soekarno, Kiai oportunis dan Kiai tukang kawin. Tentu saja tuduhan-tuduhan itu tak lepas dari sepak terjangnya sebagai seorang tokoh kontroversial.

Kiai Wahab tak hanya seorang ulama yang setiap harinya mendidik santri-santrinya. Namun ia pun pada masa kolonialisasi juga ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Setelah para kolonial pergi dari tanah pertiwi, gema kemerdekaan RI disuarakan dari Sabang sampai Merauke, ia pun ikut berperan sebagai seorang politisi nasional yang ikut membangkitkan negeri ini setelah selama 350 tahun dicabik-cabik oleh kebengisan para kolonial. Ketokohannya bisa disejajarkan dengan tokoh sekaliber Moh Hatta, Syahrir, Natsir, Soekiman dan tokoh-tokoh nasional lainnya.

Kegesitan Kiai Wahab dapat dilihat dari kiprahnya dalam pembentukan beberapa organisasi sosial keagamaan di tanah air. Ia tercatat sebagai pendiri SI cabang Makkah, Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatul Tujjar, kesemua itu menjadi embrio kelahiran NU.

Setelah mendirikan beberapa organisasi sosial-keagamaan, kemudian bersama Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai-kiai lainnya mendirikan NU, salah satu media sebagai reaksi perlawanan terhadap klaim-klaim yang dilontarkan oleh kaum modernis dan memperjuangkan mazhab empat memperoleh pengakuannya, di tengah mewabahnya wahabisme.

Pada mulanya, Kiai Hasyim Asy’ari kurang menyetujui agenda pembentukan sebuah organisasi sosial-keagamaan, menurutnya organisasi itu nanti akan memecah belah umat. Bahkan Kiai Hasyim tak menghadirinya pertemuan yang dihadiri para kiai di Surabaya pada waktu itu. Namun setelah Kiai Wahab meminta Kiai Bisri Syansuri menjenguknya, akhirnya Kiai Hasyim menyetujuinya dan dijadikan Rais Am karena keluasan ilmunya, ketokohannya dan keseniorannya sebagai seorang kiai tradisional yang memegang teguh nilai-nilai Islam.

Ijtihad Politik Kiai Wahab

Pada awal kemerdekaan, Kiai Wahab mencurahkan gerakan politiknya bersama tokoh-tokoh Islam modernis. Saat itu mereka membentuk sebuah partai politik yaitu Masyumi, sebagai media politik Islam. Kiai Wahab sendiri menjabat sebagai ketua Dewan Syura sedangkan Dr Soekiman, seorang tokoh Islam modernis, sebagai ketua umum partai. Setelah masa jabatan Dr Soekiman digantikan dengan M. Natsir, kebijakan-kebijakan partai pun banyak perubahan. M. Natsir dalam memimpin partai terlalu keras dan mengesampingkan tokoh-tokoh Islam tradisional. Maka kiai Wahab mengajak tokoh-tokoh NU yang tergabung dengan Masyumi untuk keluar dan mendirikan partai sendiri, karena memang di Masyumi sudah tidak kondusif sebagai media perjuangan politisi Islam tradisional.

Namun bukan berarti tanpa halangan gagasan dari Kiai Wahab, setelah melakukan perundingan hebat, beberapa tokoh menentangnya terutama bagi mereka yang sudah menduduki jabatan baik secara struktural partai maupun di pemerintahan. Menghadapi kondisi tersebut, Kiai Wahab tampil di podium dan menyatakan, “jika betul-betul ragu hasil pembicaraan kita, silahkan terus bergabung dengan Masyumi, biarkan saya memimpin sendiri NU sebagai partai politik yang terpisah dari Masyumi, saya hanya butuh seorang pemuda untuk menemani, cukup satu, sebagai sekretaris saya, anda akan lihat apa yang terjadi.”

Insting politik Kiai Wahab memang tajam, tak kurang dari tiga tahun merintis partai NU bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional lainnya, pada pemilu pertama kali (1955), NU menduduki peringkat ketiga dari seluruh peserta partai politik. Dan berlanjut pada pemilu (1971) awal Orde Baru, menduduki peringkat kedua setelah Golkar, sementara PNI dan Masyumi hilang ditelan zaman.

Kegesitan politik Kiai Wahab sungguh perlu diacungi jempol, di tengah bangunan “Demokrasi Terpimpin” ala Soekarno pada awal 1959, dan di tengah pergolakan ideologi politik nasional yang kian memanas, NU masih bisa menunjukan eksistensinya sebagai sebuah partai politik yang disegani baik kawan maupun lawan, sementara beberapa partai politik termasuk Masyumi pun dibubarkan Soekarno dengan alasan tokoh-tokoh senior partai terlibat kudeta.

Di dalam internal partai NU sendiri, Kiai Wahab begitu disegani, bahkan keputusan partai pun meski memperoleh restu dari Kiai Wahab. Maka di sinilah letak ketokohan Kiai Wahab tak bisa diragukan lagi. Dan tak heran, Kiai Kholil Bangkalan menjulukinya sebagai “macan NU”, sebuah nama sesuai dengan keberaniannya menerjang keterbatasan, menembus batas zamannya, untuk kontek masa itu, sungguh luar biasa.

Anas Urbaningrum


Tak disangka seorang yang masih sangat muda, Anas Urbaningrum, karir politiknya meluncur dengan cepat. Dalam kongres Partai Demokrat kedua, Ia mampu mengalahkan kedua rivalnya, Marzuki Ali dan Andi Malarangeng, dengan persaingan yang tak terlalu mengkawatirkan terhadap suaranya baik dalam pencoblosan putaran pertama maupun putaran kedua. Langkah politiknya kalem tapi pasti, kalau dalam dunia wayang ia seperti Arjuna. Kekalemannya ibarat air diam, tapi menenggelamkan.

Berbeda dengan rival satunya, Andi Malarangeng, ia begitu menampakkan ambisinya dalam memenangkan kongres Partai Demokrat kedua itu, dibuktikannya jauh-jauh hari sebelum pemilihan berlangsung, iklan-iklan di media mengenai pencalonannya menyerang bagai peluru yang ditembakkan ke semua rakyat, padahal kita tahu, bahwa kongres Partai Demokrat bukan untuk seluruh rakyat Indonesia, tapi hanya sekitar 500an kader Partai Demokrat, bukan yang lain lagi. Ia pun mengeksploitasi kebesaran SBY, seorang presiden yang kharismanya semakin meredup seiring dengan gejolak pelik permasalahan di Republik ini. Ibas, putra bungsu SBY mendukungnya, dengan kata lain SBY berada di pihaknya. Ternyata politik citra tak selamanya membawa keberuntungan. Walhasil, Dr Ilmu politik itu tersingkir pada putaran pertama. Rival berikutnya adalah Marzuki Ali, mantan Sekjen Partai Demokrat yang kini menjabat sebagai ketua DPR RI, gerakan politiknya sopan, kalem tapi jauh-jauh hari ia justru bukan seorang kandidat yang diunggulkan pada kongres meskipun saat itu memiliki potensi besar seperti kandidat lainnya. Dan saya kira bukan momentumnya lagi untuknya. Apalagi setelah mengamati gaya kepemimpinannya pada sidang DPR/MPR yang tengah membahas penyelesaian kasus skandal Bank Century berakhir dengan ricuh.

Terpilihnya Kaum Muda
Terpilihnya Anas berarti memberikan makna penting terhadap politisi muda. Apalagi selama beberapa periode dominasi politisi tua begitu kuatnya seakan-akan tak memberi kesempatan terhadap kaum muda. Tapi kongres partai demokrat memecahkan kebekuan itu semua. Terpilihnya Anas bisa memberikan angin kehidupan terhadap kaum muda lainnya, bahwa politisi muda sangat berpotensi menduduki posisi strategis tanpa harus menunggu berusia tua. Apalagi Partai Demokrat sebagai sebuah partai yang cukup baru terjun dalam panggung politik di Republik ini, tentu menjadi ikon buat partai-partai yang lainnya.

Anas meski membuktikan kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin muda yang diperhitungkan oleh kalangan manapun, tanpa harus bersembunyi di balik kebesaran ketokohan seorang SBY. Dan SBY pun selama masa pemerintahan Indonesia bersatu jilid 2 masih mendominasi Partai Demokrat, bagaimanapun ia adalah founding father tak mudah dipisahkan dengan partai ini. Sederhananya SBY adalah Partai Demokrat atau Partai Demokrat adalah SBY.

Anggapan selama ini politisi muda cenderung gegabah dalam bersikap tak akan selamanya benar. Anas pun saya kira sangat berpotensi memberikan tauladan politik lain dari kebiasaan persepsi para politisi tua. Justru politisi muda seperti Anas, memiliki energi dan waktu yang lebih dan panjang dalam membangun karir pilitik baik untuk individual maupun bangsa ke depan. Faktor usia muda pun meski akan menunjang gagasan-gagasan yang lebih segar demi terciptanya perubahan secara radikal terhadap kesemrawutan yang dialami Republik ini.

Pemilu 2014
Meskipun terdengar begitu pagi membahas mengenai pemilu 2014, tapi terpilihnya Anas sangat berpotensi menuju ke sana. Apalagi dalam pemilu 2014 SBY tidak bisa mencalonkan kembali, maka kongres Partai Demokrat yang kedua ini selain menentukan seorang ketua umum partai juga seorang calon presiden dari Partai Demokrat yang harus diusung bersama-sama. Dan Anas sangat berpotensi menuju ke sana.

Selama periode kepemimpinannya, Anas meski mensejajarkan diri bersama kandidat-kandidat berpotensi dari partai besar lainnya seperti Aburizal Bakrie, Megawati, Hata Rajasa dan tokoh-tokoh potensial lainnya. Memang Anas sebagai yunior tapi ia meski menampilkan diri seorang politisi yang setidaknya setingkat khususnya dipandang dari kapabilitas dan intregritas seorang pemimpin.

Dalam situasi demikian, Anas meski menyumbangkan gagasan-gagasan berbeda, kalau tidak maka tak ada perubahan dengan kongres sebelumnya. Ia pun juga perlu membuktikan representasi politisi muda selain energinya masih kuat dan juga gagasan-gagasannya segar dan memecahkan kebekuan di Republik ini. Gerbang pemilu 2014 telah dibuka lebar-lebar untuk Anas Urbaningrum, tergantung sikap politisi muda itu, apakah ia akan memasukinya atau malah menutupnya kembali.

Politisasi Artis


Belakangan ini panggung politik nasional semakin menghangat. Hal itu disebabkan beberapa artis ibukota satu demi satu berbondong-bondong mulai memasuki gerbong politik yang disetir oleh para politisi nasional. Tidak menutup kemungkinan besar dipicu oleh beberapa artis yang telah sukses melenggang kangkung di dunia politik. Artis-artis yang sudah tidak asing lagi seperti Dede Yusuf, Qomar, Tere, Marisa Haque, Adji Masaid, Angelina Sondakh, Reny Jayusman, Eko Patrio dan lainnya di mata publik menampakkan kesuksesannya sebagai profesi seorang politisi dan wakil rakyat yang acapkali diekpos oleh media. Publik pun memberikan kesan kepada mereka merupakan seorang artis cerdas yang membidangi berbagai macam profesi termasuk politisi.

Di sudut lain, publik menyadari bahwa kapabilitas seorang artis tentu tidak sama dan tak bisa dipukul rata. Tak cukup dengan menyandang popularitas belaka untuk mengantarkan mereka menuju gerbong kekuasaan, namun juga penjiwaan seorang pemimpin muski dimiliki. Publik pun juga tak ragu saat artis memiliki persyaratan di atas, namun yang masih mengganjal bagi para artis yang tidak memiliki sedikitpun jiwa kepemimpinan mencoba memasuki gerbong kekuasaan. Yang lebih mengherankan lagi, para politisi dengan tanpa ragu menyeret mereka menuju gerbong politik. Wajar saja mereka (para artis) merespon dengan antusias.

Sikap para politisi partai yang menyeret para artis ibukota pun perlu dipertanyakan keikhlasannya. Apakah mereka benar-benar sudah mempertimbangkan segala konsekuensinya, atau mereka hanya menjadikan artis sebagai media politik menuju gerbong kekuasaan belaka. Untuk menuju perubahan, tentu tidak semudah membalik kedua telapak tangan, apalagi mengambil cara-cara instan yaitu menarik para artis sensual yang jelas-jelas diragukan kapabilitasnya. Tuduhan ini tentu saja buat mereka terlalu tergesa-gesa dan berlebihan, selain itu juga belum ada bukti.

Citra Artis

Dilihat dari sudut pencitraan, seoarang artis memiliki wajah yang telegenic atau camera face dalam televisi, meskipun tak ada jaminan bahwa wajah camera face kadang dalam kenyataannya tidak seindah tampilan di layar kaca. Oleh karena itu seorang artis selain tampil karena kemampuan dalam bidang tertentu, juga dibesarkan oleh citra yang dibentuk oleh media. Lain lagi di era orde baru, artis hanya dijadikan sebagai gula-gula atau pemanis di dalam kampanye untuk menarik massa belaka, artis dimanfaatkan sebagai media penghibu untuk  para simpatisan dalam acara-acara partai politik (kampanye) yang menghadirkan massa sangat besar.

Belakangan ini pun para politisi memunculkan artis sensual yang tak tanggung-tanggung lagi yaitu, Julia Perez dan Maria Eva. Berbagai sikap pro dan kontra dari masyarakat mulai membanjiri isu-isu politik seiring dengan sikap pencalonan mereka. Bagi mereka yang pro terhadap pencalonan para artis disebabkan oleh beberapa alasan berikut ini. Pertama, publik sudah mengenal mereka. Kedua, kemungkinan besar mereka tak akan korupsi, mengingat mereka sudah berhamburan uang. Ketiga, ada hubungan emosional yang sangat dekat antara artis dengan masyarakat. Keempat, para artis bersedia berkorban baik materi maupun immateri. Kelima, mereka mudah dijadikan alat kekuasaan. Sedangkan bagi mereka yang kontra, artis hanya bermodalkan popularitas semata, tanpa memiliki krebilitas kepemimpinan apalagi menjiwainya. Dan mereka pun yakin para artis tak akan melakukan perubahan apapun bahkan cenderung merusak tatanan yang telah ada.

Gagalnya kaderisasi

Diseretnya artis menuju gerbong kekuasaan pun menurut beberapa pengamat politik karena adanya kegagalan dalam kaderisasi politik. Hal ini dibuktikan dengan beberapa dari mereka tidak melakukan perubahan dan cenderung malah korup. Dengan menghadirkan para artis maka para politisi tidak begitu susah menggenjot popularitasnya, serta para artis pun bersedia berkorban tak kalah dengan kader politik sesungguhnya.

Selain itu kaderisasi yang jauh-jauh hari dilakukan ternyata kurang begitu mengena di hati rakyat, hal itu bisa dibuktikan beberapa kader terbaiknya gagal dalam pencalonan. Bahkan sebagian publik memberikan labelitas kepada para politisi dengan sangat negatif. Maka alternatif lainnya yaitu menyeret artis untuk dimasukan menuju gerbong politik kekuasaan.

Namun bukan berarti hijrahnya artis menuju gerbong kekuasaan berjalan mulus, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi begitu keras melontarkan kritik terhadap salah satu artis, yakni syarat utama seorang kandidat mesti terbebas dari penyakit moral dan spiritual. Secara tidak langsung sudah menjegal pencalonan mereka.

Bagaimanapun juga demokrasi tidak pernah membeda-bedakan moralitas, etnisitas, kredibilitas dan integritas seorang kandidat. Semua yang merasa warga Negara Indonesia berhak untuk memilih dan dipilih. Suara rakyat adalah suara Tuhan menurut demokrasi. Dan rakyatlah yang akan menyeleksi kelayakan seorang artis memasuki kekuasaan sesungguhnya

Bebaskan NU Dari Politik (Praktis)


Pelaksanaan Muktamar NU ke-32 yang diadakan pada 22-28 di Makasar menjadi momentum penting bagi kaum Nahdliyin untuk membenahi diri dari berbagai kesalahan serta kembali kepada  khittah 1926. Secara tidak disadari, NU sudah terjerat begitu jauh dalam politik praktis, hal ini dilihat dari beberapa tokoh yang menjadi kandidat baik dalam tingkatan nasional, Propinsi maupun kabupaten. Padahal sejarah politik NU telah memperlihatkan bahwa organisasi ini beberapa kali mengalami kekecewaan  politik.

NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya sebagai organisasi sosial keagamaan. Namun kiprah NU selama ini masih terjebak ke dalam politik praktis khususnya dilakukan oleh beberapa pemimpin NU sendiri. Sejak tahun 1952 para tokoh NU keluar dari masyumi dan membentuk dirinya menjadi sebuah partai politik bersaing dengan partai –partai lainnya. Keberanian NU menjeburkan diri kedalam dunia politik sungguh mengejutkan berbagai kalangan. Bahkan Isa Anshari, salah satu tokoh kenamaan dari Partai Masyumi menanyakan para pemimpin NU agar berpikir matang untuk masuk ke dunia politik. Mengingat keterbatasan sumber daya manusia di tubuh NU sendiri.

Meskipun demikian, perolehan suara NU pada pemilu tahun 1955 sungguh mengejutkan. NU yang baru membentuk partai politik tiga tahun sebelum pemilu dilaksanakan ternyata memperoleh peringkat ke-3 dari seluruh partai politik peserta pemilu. Secara otomatis NU ikut andil dalam hal yang menyangkut dengan kekuasaan khususnya duduk mewakili rakyat Indonesia.

Dalam pergulatan politik di era Soekarno, NU terlihat kurang begitu vokal, hanya mencari aman,  terkesan mengekor kepada presiden Soekarno serta kurang mempunyai daya kritis terhadap pemerintahan pada masa itu. Bahkan ada sebuah golongan yang mengatakan bahwa NU oportunis. Label semacam itupun dilontarkan terhadap NU di tengah pergulatan ideologi yang semakin memanas.

Seiring dengan perkembangan zaman ketika kekuasaan Soekarno jatuh dan digantikan oleh Soeharto. NU pun sangat dekat dengan orde baru, namun tidak lama romantisme dengan rezim ini, NU merasa dikecewakan dari panggung politik. Dari situ mencoba dirumuskan agar organisasi ini kembali ke khittah 1926 yaitu menjadi organisasi sosial-keagamaan sebagaimana tujuan pendirian awal. Gerakan ini dimotori oleh Gus Dur dan tokoh muda lainnya. Dan sejak saat itu berakhirlah NU berpolitik  yakni sejak diputuskan di muktamar NU ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo.

Gus Dur merupakan salah satu pelopor khittah NU dan juga terpilih sebagai ketua umum PBNU menegaskan kepada tokoh-tokoh NU yang masih berpolitik untuk segera melepaskannya kalau masih menjabat secara struktural di PBNU atau sebaliknya. Sejak kebijakan itu, NU kembali berfungsi sebagai organisasi sosial keagamaan dengan segala keterbatasannya, dari keputusan besar itu NU memiliki nilai penting karena telah melahirkan optimisme baru dan terlepas dari candu politik yang justru memisahkan NU dengan warganya.

Setelah Soeharto tumbang dengan digantikan era Reformasi maka Gus Dur mendirikan PKB bersama tokoh-tokoh NU lainnya sebagai media politik NU. Mulai saat itu NU dibawa ke dunia politik lagi dan tentu melupakan khittah 1926 di Muktamar Situbondo yang telah disepakati bersama. Meskipun PKB masuk jajaran partai yang diperhitungkan, namun perjalanan PKB beberapa kali mengalami konflik internal panjang yang mengakibatkan tidak kosentrasinya para pemimpin NU memikirkan Umatnya dan membuka peluang tokoh-tokoh NU lainnya terjebak ke dalam lubang politik praktis.

Memikirkan Nasib Umat

Pelaksanaan Muktamar yang baru diselenggarakan NU di Makasar tentu menyita perhatian publik, mengingat bahwa NU merupakan organisasi social-keagamaan secara kuantitas terbesar se-Indonesia dan berbagai pihak merasa menunggu kontribusi NU pasca Muktamar. Sementara itu  Persaingan antara para calon pun nampak sama kuatnya serta terlalu dini kalau kita menyimpulkan tentang kemenangan dari salah satu calon pada muktamar ke 32 ini.

Di antara para calon seperti KH Masdar F. Mas’udi, KH Said Agil Siraj. KH Ahmad Bagdja, Ulil Abshar Abdalla dan lainnya sejauh ini sepak terjang mereka di NU telah membuktikan tidak terlibat dalam politik praktis, kecuali KH Solahuddin Wahid yang pernah menjadi calon wakil presiden mendampingi Wiranto pada pemilu 2004 lalu. Hal itu disebabbkan faktor posisi ketua umum PBNU sangat strategis untuk menggalang massa digiring ke dalam ruang politik melalui pemilu. Dan hal itulah kesalahan terbesar KH Hasim Muzadi selama dua periode memimpin NU, meskipun ia tidak terang-terangan menginstruksi warga NU agar memilih dirinya pada pemilu 2004 lalu.

Agar para pemimpin NU tidak terjebak ke dalam politik praktis, setiap calon mesti disumpah agar menjauhi dunia terlarang itu dan lebih megarahkan gerakan pemberdayaan umat khususnya warga NU. Hal itu perlu dilakukan mengingat organisasi kaum sarungan itu sudah beberapakali terjebak kedalam politik praktis dan bahkan sudah kecanduan. Besarnya massa NU memang sangat menggiurkan setiap kandidat dari manapun berasal baik untuk pemilu maupun pilkada. Tak heran pada pemilu dan pilkada sebelumnya, para tokoh NU dilamar dari berbagai kalangan sebagai pendamping, tak lain untuk memenangkan pemilu belaka.

Siapapun calon yang akan terpilih pada muktamar, perlu menegaskan bahwa ia tidak akan tergiur oleh keindahan politik serta NU tidak dijadikan komoditas politik praktis oleh para tokohnya sendiri. NU mestinya belajar dari sejarah yang sudah berlalu, agar organisasi ini harus memfokuskan diri terhadap kesejahteraan umat khususnya warga NU sendiri. Mengingat mayoritas warga NU berdomisili di desa-desa yang mayoritas berprofesi sebagai petani, nelayan dan pedagang kecil. Tentu mereka sangat membutuhkan perhatian agar keluar dari kemiskinan laten yang disuburkan oleh minimnya akses tanah dan kebijakan kependudukan yang lebih berorientasi ke teknologi tinggi padat modal. Sedangkan dalam proses pembangunan mereka mengalami marjinalisasi serta kurang diperhatikan oleh negara.

Kepada calon terpilihpun mesti memperhatikan umat dan mengambil langkah-langkah strategis dalam menyejahterakan umat khususnya warga NU. Mengingat Secara kuantitas NU peringkat pertama dari berbagai organisasi social-keagamaan di negeri ini, namun secara kualitas ternyata NU masih memprihatinkan. Oleh karena itu, kepada calon terpilih akan dibebani tugas yang tidak ringan yaitu menyejahterakan warga NU khususnya di pedalaman agar keluar dari lubang kemiskinan. Serta para pemimpinnya menjauhi politik praktis. Agar kuantitas warga NU juga dibarengi dengan kualitas

Anggota Dewan Juga Manusia


Selama ini kita selalu menempatkan anggota dewan sedemikian tingginya. Terhormat, intelektual, dan berwibawa seolah melekat pada diri mereka. Mengganggap terhormat pun tak menjadi sebuah kesalahan, kenyataannya mereka adalah manusia-manusia terpilih dari 200 juta lebih penduduk di negeri ini dan rakyat menyerahkan nasib bangsa ke depan kepada mereka untuk mewakilinya. Sebaliknya, menganggap mereka kekanak-kanakanpun juga tidak mejadi sebuah kesalahan pula, Kenyataannya mereka acapkali gedung DPR/MPR diganti menjadi arena ring adu tinju sesama anggotnya.

Atau semestinya ada waktu untuk bersikap dewasa, serta ada waktu pula untuk bersikap ke kanak-kanakan oleh anggota dewan yang katanya terhormat.

Keributan, kericuhan dan kegaduhan pun lazim dipandang dari sudut manusiawi. Mengingat, lupa, marah, panik bahkan anarkis sepertinya sudah melekat terhadap manusia termasuk para anggota dewan yang katanya terhormat, dan serta kearifan, kredibilitas dan integritas pun juga sangat lazim dan seharusnya memang bersikap demikian, kalau dipandang dari sudut anggota dewan terpilih yang mewakili 200 juta lebih aspirasi rakyat.

Anggota dewan juga manusia seperti yang lainnya, atau malah tak mempunyai keistimewaan khusus darinya. Dan hal itu sudah terbukti jauh sebelumnya. Peristiwa memalukan yang kata rakyat tak mestinya dilakukan oleh seorang anggota dewan di dalam sidang-sidang terhormat yang tengah membahas soal rakyat pun bisa saja terjadi, malah sering dilakukan belakangan ini. Akan tetapi peristiwa tingkah polah memalukan pun tak hanya terjadi di negeri ini, namun juga di negara-negara yang lebih maju seperti Jepang, Korea dan Mesir pun pernah juga mengalaminya. Jadi suatu hal yang biasa atau malah sudah menjadi tradisi. Apalagi terpilihnya mereka sebagai anggota dewan merupakan sebuah jabatan politis. Tak heran juga setiap interupsi yang keluar dari mulutnya pun berbau politik.

Dari semua itu, ada beberapa alasan yang paling vital yang harus dipertahankan dalam kontek sebagai manusia Indonesia. Pertama menjunjung budaya ketimuran, maka moralitas, mentalitas, sopan-santun menjadi sebuah sikap yang mesti dijunjung setinggi-tingginya oleh siapapun. Kedua, menyambung lidah rakyat, dari alasan ini pula di mana anggota dewan mestinya mengedepankan etika dan kredibilitas untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketiga, sebagai agen perubahan, alasan ini pula yang mestinya tak hanya menampung aspirasi rakyat tapi juga mengimplementasikan menjadi sebuah realitas yang membanggakan bagi bangsa dan negara.

Perlu ditekankan bahwa memimpin anggota dewan yang berjumlah 500an─berasal dari beberapa fraksi yang mempunyai kepentingan masing-masing merupakan tidak sebuah kerjaan yang mudah dan sederhana. Harus dibutuhkan sikap demokratis dan berjiwa besar dalam menampung seluruh aspirasi secara adil dan merata. Terlepas dari berbagai hujatan otoriter, tak komunikatif dan bertendensi merupakan suatu hal yang harus diterima dengan lapang dada. Sederhananya memimpin sepuluh orang pintar jauh lebih repot dibandingkan memimpin seribu rakyat biasa.

Akan tetapi, rakyat pun kini begitu mudah lidahnya menuduh negara/pemerintah sebagai koruptor. Bahkan mereka melakukan aksi demonstrasi jauh dari nilai-nilai yang justru mereka tuntut kepada pemerintah. Ibaratnya mereka memberikan petuah-petuah bijak dengan nada membentak seperti orang tengah marah. Tentu hasilnya tidak sesuai yang dikehendaki bersama. Yang lebih membingungkan lagi, semuanya atas nama rakyat. Di dalam sidang paripurna pun menjadi ajang pertunjukan yang lebih memperlihatkan sebuah tontonan, bukan tuntunan. Semua berteriak histeris atas nama rakyat khususnya korban Bank Century. Pada akhirnya, terjadilah sebuah kericuhan berjamaah, yang menurut rakyat, hal itu tak pantas dilakukan oleh seorang anggota dewan yang katanya terhormat. Lantas siapa yang benar dan salah?

Oleh karena itu, kericuhan yang terjadi pada Sidang Paripurna yang tengah membahas hasil Sidang Pansus Angket Century tak dijadikan suatu hal yang penting serta tak perlu terlalu diekpos, toh juga peristiwa seperti itu sudah terjadi sebelumnya bahkan sudah dijadikan tradisi. Apalagi bagi angota dewan kali ini 60% baru, mestinya menjadi guru pengalaman yang amat berguna. Karena alasan-alasan seperti menjunjung budaya ketimuran, menyambung lidah rakyat dan sebagai agen perubahan yang menjadikan anggota dewan kita yang terhormat harus bangkit dari sifat-sifat kekanakan.

Citra Politik Dan Politik Citra


Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah politik. Akan tetapi publik cenderung buruk dalam memaknainya. Politik mengalami degradasi moral dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Politik dikaitkan dengan strategi tipu muslihat untuk meraih kekuasaan atau Sesuatu yang berhubungan dengan penggulingan kekuasaan atau kudeta. Begitu buruknya citra politik di mata publik seolah publik menjauhi persoalan apapun yang berkaitan dengan politik. Bahkan sebait syair musisi Iwan Fals menyuarakan bahwa “apakah selamanya politik itu kejam”. Begitu rendahnya wibawa politik maka publik menganggap bahwa politik itu kotor.

Nampaknya publik cenderung sependapat dengan Marcievali bahwa menghalalkan segala cara demi tercapainya kekuasaan adalah suatu keharusan. Politik semacam ini tiada mengenal kawan atau lawan, namun yang berbicara adalah kepentingan. Dan masing-masing bisa menjadi harimau bagi sesama yang siap menerkam kapanpun.

Memang persepsi publik tak sepenuhnya salah, realitas sering membuktikan beberapa politisi acapkali mengabaikan nilai-nilai etika politik. Mereka tak segan-segan menelikung dari belakang terhadap kerabat atau kawan sendiri agar tujuannya tercapai. Bahkan peperangan dikaitkan atas nama penegakan HAM atau keamanan namun dibalik itu ialah kepentingan politik. Hal itu yang melatarbelakangi Amerika Serikat menaboh genderang perang terhadap Irak, walhasil jutaan manusia tak berdosa mati sia-sia atas nama keserakahan politik. Dan Irak pun menjadi porak poranda nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana.

Melihat realitas kekejaman atas nama politik, tentu publik tertekan tak hanya secara psikologis namun juga mengalami trauma terhadap hal-hal yang berbau politik. Tak heran, warga Irak pasca peperangan ketika melihat orang asing atau pendatang baru menjadi curiga dan tak simpati bahkan buru-buru pintu rumahnya ditutup rapat-rapat.

Persepsi apapun mengenai politik, toh dunia satu ini selalu dekat dengan kita. Berbagai macam aktifitas kita sehari-hari tak jauh dari dunia ini. bahkan tokoh-tokoh terkenal seperti Kennedy, Soekarno, Ahmanejad, Obama yang diidolakan rakyat justru mereka sangat dekat dengan politik dan karena kesuksesannya di dunia politiklah nama besar mereka sampai kini.

Sebaliknya menurut Aristoteles bahwa politik merupakan disiplin ilmu yang mulia bahkan paling mulia di antara disiplin ilmu yang lain. Dengan alasan bahwa politik lah yang bisa mengantarkan terhadap disiplin ilmu ilmu lainnya bisa diimplementasikan secara optimal untuk menyejahterakan rakyat. Maka politik berkaitan erat dengan kekuasaan dan bertujuan sangat mulia untuk kepentingan rakyat.  Seandainya tidak melalui politik, tentu akan sukar membumikan disiplin ilmu yang lain sehingga publik bisa merasakan manfaatnya.

Dalam sistem demokrasi diharuskan berhubungan dengan politik. Salah satu aktifitas politik yang cukup menonjol adalah terselenggaranya pemilihan umum. Nah, untuk menyelenggarakan pemilihan umum mesti dibutuhkan dana yang amat besar. Di negeri ini saja saat menyelenggarakan pemilu-pemilu sebelumnya tak kurang menghabiskan ratusan milyar rupiah, itu belum ditambah dengan biaya setiap kandidat yang mencalonkan diri.

Dengan banyaknya dana yang dihabiskan untuk pemilu khususnya seorang kandidat akan melakukan berbagai macam cara kalau perlu berbuat curang. Berbagai media cetak dan elektronik dimanfaatkan untuk mendulang suara dalam pemilu. Media yang selalu menjadi alat utama dalam mensosialisasikan politik di era modern ini ialah televisi. Seorang kandidat akan selalu berusaha masuk di dalamnya bahkan ia berani menyewa program dengan dana yang amat besar. Dengan media televisi seorang kandidat akan menciptakan politik citra melebihi realitas kapasitas yang dimilikinya. Kapabilitasnya akan disetting sedemikian rupa agar terkesan ia seorang kandidat yang mempunyai kredibilitas tinggi dan layak jadi seorang pemimpin.

Saat pemilu pada tahun 1992 di Amerika serikat, Bill Clinton memenangkan pemilu presiden atas rivalnya Goerge Bush (senior), padahal publik memprediksikan Bill Clinton akan kalah. Kemenangan Bill Clinton tak bisa dilepaskan dari program debat presiden di televisi yang diadakan sebelum pemilu, Clinton begitu mempesona, cerdas dan argumentatif serta dengan penampilan tinggi, gagah dan tampan di program debat kandidat pada saat itu. Melalui televisi lah Clinton bisa membuat politik citra dan mampu merubah suara mayoritas rakyat berpindah kepadanya. Di kasus lain, politik citra juga begitu melekat dengan presiden SBY, ia begitu pandai mencitrakan dirinya terutama di media televisi, sehingga ia mampu merebut suara mayoritas rakyat Indonesia, bahkan khusus ibu-ibu begitu mengidolakan sosok SBY yang katanya gagah, tampan dan menarik.

Menurut J. Baudrillard menjelaskan empat fase citra pertama, representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun, ia hanya menjadi yang menyerupai dengan dirinya

Tradisi politik citra untuk kontek di Indonesia booming semenjak Era Reformasi yang memberikan ruang pers sebebas-bebasnya. Walhasil banyak muncul partai-partai berideologi nasionalisme sekuler dan Islam bak jamur di musim hujan. Dengan kebebasan pers ini pun seorang kandidat akan bebas berkreatifitas dalam meramaikan demokratisasi di negeri ini. Sayangnya demokrasi tetap masih elitis. Hanya kandidat yang mempunyai dana besar saja yang bisa masuk dunia citra dalam panggung politik.

Besarnya dana yang dikorbankan untuk pemilu memang menjadi persoalan vital seandainya dana itu disalurkan untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim di negeri ini, maka berapa banyak beban terkurangi masalah-masalah mendesak sebagian rakyat. Akan tetapi, besarnya dana untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil serta terpilih pemimpin yang demokratis dan mempunyai kapabilitas yang tinggi, tentu menjadi persoalan lain.

Demokrasi Itu Mahal


Demokrasi merupakan suatu sistem yang sampai kini masih diidolakan oleh mayoritas negara-negara di pelosok dunia. Kata “demokrasi”pun menjadi mantra sakti bagi siapapun dari politisi, negarawan, kandidat sampai orang biasa. Bahkan bagi seorang kepala negara pantang menghindari kata demokrasi, meskipun dalam setiap kebijakan yang diambil cenderung totaliter

Tak hanya diidolakan, ternyata harga sebuah demokrasi itu tak murah. Hal itu terbukti dalam setiap penyelenggarakan pemilu di suatu negara menghabiskan milyaran bahkan triliunan rupiah, hanya untuk menjalankan demokrasi secara prosedural semata.

Menurut prof Dr. Hafied Cangara, MSc dalam bukunya Komunkasi Politik, bahwa di Amerika Serikat untuk menjadi anggota kongres (DPR) pada tahun 1984, seorang kandidat yang menang rata-rata telah membelanjakan uangnya sebesar US$ 325.000 atau setara dengan Rp. 3.055. 000.000.00 (kurs Rp 9.400 th 2008) bahkan ada 10 anggota kongres pernah mengaku menghabiskan uang lebih dari US$ 1.075.495 atau setara dengan Rp 10.109.653.000,00 akan tetapi Senator Jesse Helms nominasi partai Republik dari North Carolina misalnya mengeluarkan uang sebanyak US$ 7,5 juta atau setara dengan Rp 75.500.000.000,00 dan Senator John Tower dari Texas menghabiskan US$ 4,3 juta atau setara dengan Rp. 40.420.000.000,00, untuk menjadi Gubernur, Jay Rockefeller, salah satu anggota terkaya di Amerika yang memiliki minyak standar oil menghabiskan US$ 12 juta atau setara Rp 112.800.000.000,00 sedangkan pemilu presiden AS tahun 2008, dana kampanye yang digunakan mencapai US$ 1,2 milliar setara dengan Rp 12,6 triliun.

Di Indonesia, pada pemilu 2004, PDI perjuangan di bawah kepemimpinanya Megawati yang saat itu menjabat sebagai Presiden, menyiapkan dana untuk kampanye sebesar Rp. 100 Miliar. Jika biaya kampanye yang dikeluarkan dikalkulasi dengan jumlah kursi yang diperoleh, PDI Perjuangan yang mengeluarkan dana sebesar Rp 89,2 miliar dengan perolehan 109 kursi, berarti nilai tiap kursi adalah Rp 477 juta. Partai Golkar dengan dana Rp 56 miliar memperoleh 128 kursi, nilai satu kursi ialah Rp 281 juta, sementara Partai Demokrat dengan dana sebesar Rp 9,5 miliar berhasil memperoleh 57 kursi, dengan demikian nilai satu kursi ialah Rp 140 juta. Dari gambaran ini bisa dianalisis bahwa PDI Perjuangan telah membelanjakan uang dengan sangat besar untuk satu buah kursi legislatif sementara Partai Demokrat membelanjakan harga yang lebih murah. Akan tetapi, strategi untuk mendapat kursi tidak selamanya dengan pengeluaran uang yang banyak meskipun rata-rata pengeluaran memang sangat fantastis.

Dana kampanye di atas, sebagian besar digunakan untuk sosialisasi partai politik khususnya untuk media televisi yang paling membutuhkan dana yang sangat fantastis. Mengingat jangkauan media itu sangat luas dan efektif dalam meyampaikan pesan-pesan politik kandidat. Selain itu juga melalui media radio, Koran, spanduk dan lainnya.

Nyaris tak bisa diterima logika, manakala seorang kandidat untuk menduduki anggota dewan tidak membutuhkan uang sepeserpun. Hemat saya, minimal ada dua syarat bagi seorang kandidat untuk menduduki kursi kekuasaan dalam sebuah Negara demokrasi, yaitu, uang dan popularitas. Ada uang tanpa punya popularitas akan sulit begitu juga sebaliknya. Tentu saja uang dan popularitas tak bisa menjamin 100% sukses menjadi anggota dewan, mengingat jumlah kandidat dibanding kursi yang disediakan tak sebanding.

Ternyata demokrasi yang diidolakan di seluruh pelosok dunia, cenderung elitis. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjadi kandidat. Padahal demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat serta dalam demokrasi menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) termasuk mencalonlan diri sebagai kandidat. Lantas bagaimana dengan orang yang punya potensi dan kapabilitas kepemimpinan namun mereka tak punya uang dan popularitas? Oleh karena itu, demokrasi belum tentu menghasilkan pemimpin yang mempunyai kapabilitas daripada yang lain, akan tetapi, hanya sebuah jabatan politis. Meskipun demikian, kita tetap bertanggung jawab untuk memilih seorang pemimpin yang terbaik. Bagaimanapun juga, demokrasi masih menjadi sistem yang terbaik daripada sistem lain

Mimpi Ayu Azhari


Belakangan ini, kita dikejutkan oleh berita seorang artis cantik Ayu Azhari yang berniat untuk mendaftarkan diri (pilkada) sebagai wakil bupati Dr. Heriyanto di Sukabumi Jawa Barat yang akan digelar pada Mei 2010. Bagaimanapun juga, kita masih terkenang oleh penampilan-penampilan Ayu Azhari dengan film sensual, seksi dan label-label dari masyarakat lainnya. Meskipun ia hanya menjalani sesuai dengan peran yang dimainkan di film serta tuntutan profesionalisme seorang selebriti.

Sebelum artis cantik itu berniat terjun dalam panggung dunia politik, tentu kita masih ingat beberapa artis yang telah sukses memasuki dunia politik seperti Marisa Haque, Reny Jayusman, Nurul Arifin, Dede Yussf, Nurul Qomar, Adji Masaid, Angelina Sondakh, Eko Patria dan artis-artis lainnya. Tak menutup kemungkinan dari artis-artis yang telah sukses memasuki panggung politik maka menggiring artis-artis yang lain berondong-bondong hijrah ke dunia politik termasuk Ayu Azhari.

Gejala selebriti masih menjadi fenomena baru dalam dunia politik, mengingat sosok artis di mata khalayak masih kental dengan dunia entertainment yang cenderung glomor. Namun mengapa khalayak sampai terbius juga oleh kehadiran selebriti, fenomena ini menurut Erving Goffman dan Kenneth Burke, bahwa dunia ini seperti layaknya panggung sandiwara, di mana setiap orang memiliki lakon dan alur cerita yang jelas. Berarti bahwa dunia politik memang berperan sebagai layaknya panggung sandiwara yang diperankan oleh seorang artis. Tentu sang artis akan menjalankan peran yang karakter tokoh yang dimainkannya dalam film atau panggung sandiwara. Oleh karena itu, tak aneh lagi ketika seorang Ayu Azhari sejak disorot media dengan berganti label sebagai seorang politisi, maka semua behavior dan perkatakaannya bak seorang politisi ulung yang mulutnya selalu bicara mengenai nasib rakyat.

Selain itu seorang selebrti karena kemampuanya dalam bidang tertentu misalnya akting dan musik, mereka memiliki wajah yang telegenic atau camera face dalam televisi, meskiun wajah camera facenya dalam kenyataanya tak seindah dengan tampilan di layar kaca. Oleh karena itu, seorang selebriti selain kemampuan di bidang tertentu, juga dibesarkan oleh citra yang dibentuk oleh media.

Bagaimanapun juga, hadirnya selebriti di panggung politik memberikan warna baru dalam sistem demokratisasi dan tentunya popularitas seorang selebriti sudah tak diragukan lagibahkan mereka bisa menembus dari level bawah sampai atas di masyarakat.

Dalam sorotan media, Ayu Azhari selalu mengatakan ke publik bahwa pencalonan dirinya karena ia ingin memperjuangkan nasib rakyat dan menjadikan mereka hidup layak dan sejahtera. Menurut Artis yang berdarah Pakistan itu bahwa ia ingin memperjuangkan kaum perempuan Sukabumi agar bisa hidup mandiri tanpa menggantungkan kehidupannya kepada seorang laki-laki, sehinngga tercipta kehidupan yang egaliter dan bahagia. Tentu niat baik Ayu Azhari perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Namun kita perlu waspada bahwa ada motif-motif tertentu, misalnya ayu azhari hanya dijadikan umpan untuk memancing rakyat agar memilihnya, dengan target kemenangan semata, sedangkan kualitas dan integritas politiknya belum bisa kita nilai sama sekali dan inilah yang selalu menjadi pertanyaan oleh publik selama ini.

Tentu juga, tak etis manakala kita selalu memberikan label buruk terhadap artis bahwa mereka tak memiliki pengetahuan di bidang politik dan pemerintahan. Dengan demikian, maka khalayak harus bisa selektif dalam menentukan pemimpinnya sebagai pengayom rakyat. Jangan sampai terperdaya oleh popularitas kandidat semata, seandainya Ayu Azhari toh, menjadi calon Wakil Bupati Sukabumi dan memenangkan pemilu mendatang, semoga mimpi-mimpinya dalam memperjuangkan nasib rakyat sejahtera menjadi realitas.

MEDIA SEBAGAI SALURAN KOMUNIKASI POLITIK


Pendahuluan

Media dalam sebuah komunikasi politik mempunyai peranan yang sangat penting karena merupakan sebagai publisitas politik terhadap masyarakat luas. Tentunya dengan tujuan khalayak mengetahui agenda politik setelah itu simpati dan menjatuhkan pilihannya kepada partai tersebut. Siapapun komunikator atau aktivis politik akan berusaha untuk menguasai media. Tak heran, barang siapa yang telah menguasai media, maka dia hampir memenangi pertarungan politik. Semenjak kemajuan teknologi dan informasi yang revolusioner, media cetak maupun elektronik mengantarkan informasi kepada khalayak sangat efektif. Pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak dan bebas sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009. Segala kegiatan yang ada nuansa politik diangkat media bertujuan tak hanya sebagai sarana publisitas namun juga mempengaruhi khalayak untuk memilihnya.

Oleh sementara pihak media, media massa sering disebut sebagai the fouth estate dalam kehidupan sosial ekonomi. Hal ini terutama disebabkan oleh peran suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media massa dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial ekonomi dan poitik masyarakat. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Antara lain karena itu, media massa juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu idea atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam kontek kehidupan yang lebih empiris.

Saluran Komunikasi politik

Saluran komunikasi adalah alat serta sarana yang memudahkan penyampaian pesan. Pesan di sini bisa dalam bentuk lambang-lambang pembicaraan seperti kata, gambar, maupun tindakan. Atau bisa pula dengan melakukan kombinasi lambang hingga menghasilkan cerita, foto (still picture atau motion picture), juga pementasan drama. Alat yang dimaksud di sini tidak hanya berbicara sebatas pada media mekanis, teknik, dan sarana untuk saling bertukar lambang, namun manusia pun sesungguhnya bisa dijadikan sebagai saluran komunikasi. Jadi, lebih tepatnya saluran komunikasi itu adalah pengertian bersama tentang siapa dapat berbicara kepada siapa, mengenai apa, dalam keadaan bagaimana, sejauh mana dapat dipercaya. Komunikator politik, siapapun ia dan apapun jabatannya, menjalani proses komunikasinya dengan mengalirkan pesan dari struktur formal dan non-formal menuju sasaran (komunikan) yang berada dalam berbagai lapisan masyarakat.

Sedangkan, politik seperti komunikasi adalah proses dan seperti komunikasi politik melibatkan pembicaraan. Ini bukan pembicaraan dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar symbol, kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai dan pakaian. Ilmuwan politik Mark Roelofs menyatakan dengan cara sederhana, “ Politik adalah pembicaraan, atau lebih tepat kegiatan politik (berpolitik) adalah berbicara. “ ia menekankan bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi hakekat pengalaman politik dan bukan kondisi dasarnya, ialah bahwa kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.[1]

Maka dengan hadirnya media massa sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan terutama mengenai politik akan mempermudahkan kepada setiap komunikator politik dalam menyampaikan dan memperkenalkan siapa dirinya kepada  khalayak.

Begitu berkuasanya media dalam mempengaruhhi pikiran, peranan, dan perilaku penduduk, sehingga Kevin Philips dalam buku responsibility in mass Communication mengtakan, bahwa era sekarang lebih merupakan mediacracy, yakni peemerintahan media, daripada demokrasi pemerintahan rakyat.[2]

Kekuatan media massa (powerful media) sebagai saluran untuk mempengaruhi khalayak, telah banyak memberikan andil dalam pembentukan opini publik. Kemampuan melipatgandakan pesan-pesan politik di media massa mempunyai dampak terhadap berubahnya perilaku pemilih. Maka dari itu, bagi para elit politik yang ingin bertarung memperebutkan kursi kekuasaan, akan berusaha memanfaatkan media massa untuk tujuan publikasi dan pembentukan citra. Media dalam bentuk apapun adalah saluran komunikasi seorang kandidat kepada khalayak yang dikatakan efektif dan efisien pada masa kampanye modern saat ini. Ada beberapa media yang sangat penting dalam mempublikasikan agenda politik:

Media telepon; merupakan alat komunikasi lisan satu-kepada-satu yang memiliki beberapa kegunaan bagi kampanye kontemporer. Media ini kerap digunakan bagi hubungan pribadi jika organisasi kampanye ingin mengumpulkan dana, mengarahkan pemilih untuk datang ke tempat kampanye. Atau terkadang media telepon juga biasa digunakan untuk memperkenalkan kandidat melalui rekaman suara yang dapat diputar berulang kali. Telepon pun hingga saat ini masih digunakan sebagai media survey tentang opini para pemilih; polling telepon, dengan menggunakan sistem pemutaran nomor secara acak disertai kuesioner pendek yang mudah dipahami; prosedur utama survey.

Media radio, Menurut McLuhan, terdapat resonansi antara radio dan telinga serta pikiran manusia, resonansi yang menyajikan peluang besar bagi kampanye radio. Di samping itu, radio juga merupakan saluran massa bagi kaum minoritas walaupun dalam perkembangannya kaum mayoritas pun masih belum bisa meninggalkannya. Meskipun radio tidak menampilkan visual/gambar hidup, namun media satu ini bisa merambah ke lokasi di mana media lain susah bahkan tak bisa menjangkaunya.

Media Televisi, Di Amerika, penggunaan televisi sebagai media kampanye sudah sejak dasawarsa 1950-an dan 1960-an dimulai. Penekanan dalam kampanyenya pun beragam, mulai dari pembuatan citra; di mana penggunaan media ini untuk memproyeksikan atribut-atribut terpilih dari kandidat. Hingga penekanan berkembang pada tahun 1970-an menjadi pengaturan dan pembahasan pokok masalah kampanye. Teknik untuk membangun citra sang kandidat pun beragam dari melalui publisitas gratis hingga pada beriklan di televisi yang mesti bayar. Sebenarnya sudah ada pengaturan tentang tata cara beriklan di media massa, terutama di televisi. Namun tetap saja banyak terjadi kecurangan di sana-sini, hingga terjadi ketidakadilan dalam peliputan berita kampanye pada Pilpres 2009 yang lalu. Peliputan berita kampanye pasangan kandidat tertentu mendapat durasi yang relatif lebih panjang dibanding pasangan kandidat yang lainnya. Hal ini dikarenakan pemilik stasiun televisi tersebut adalah “orang dekat” dari pasangan tersebut. Atau bisa juga karena pasangan kandidat tersebut memiliki dana kampanye yang cukup banyak untuk dapat memasang iklan berlebih pada media tersebut.[3]

Media Cetak, Meskipun media elektronik ditambah dengan media inovasi sudah semakin maju, tetap saja media cetak belum akan ditinggalkan khalayak massa. Terdapat dua tipe media cetak yang kerap dijadikan sebagai media kampanye, yakni melalui surat langsung dan surat kabar atau majalah. Surat Langsung. Pada tahun 1974, Robin dan Miller memeriksa pengaruh pengiriman surat umum kepada 72.000 orang pada tahun 1974. Mereka menemukan bahwa, surat langsung tidak memiliki cukup pengaruh terhadap tingkat informasi pemilih, pandangan kandidat, tujuan memberikan suara dalam pemilihan, atau pemilihan kandidat.

Surat Kabar. Tiga tipe isi surat kabar yang bertindak sebagai sarana bagi komunikasi kampanye, yakni ihwal berita, editorial, dan iklan. Semuanya membantu pembinaan citra dan penyajian masalah. Namun, pembuatan citra adalah yang paling utama. Setelah dilakukan penelitian terhadap ketiga tipe isi surat kabar dalam hal kampanye politik, maka didapatkan sebuah kesimpulan bahwa materi yang disajikan lebih kepada citra sang kandidat ketimbang masalah yang dihadapi. Dalam pemilu 2009, media surat kabar menjadi ruang publisitas politik di antara partai-partai peserta pemilu, mengingat salah satu media yang cukup representatif untuk mensosialisaikan agenda-agenda partainya masing-masing.

Di tengah-tengah segitiga persaingan memperebutkan uang pengiklan dan perhatian publik, media telah mengembangkan dalam berbagai peran. Sebagai media informasi, radio dan televisi unggul dalam penyampaian berita yang dilengkapi dengan ulasan penjelas. Kalau media siaran memberi perhatian pada suatu peristiwa lain berkurang.  Celah inilah yang kemudian diisi dengan koran. Seringkali koran memberikan banyak hal sehingga kedalamannya pun terbatas. Celah ini lalu diisi oleh majalah. Majalah acapkali meliput suatu yang diberikan oleh media siaran secara lebih panjang dan lebar. Seseorang yang tertarik untuk mengetahui yang lebih banyak tentang suatu yang diberitakan di televisi akan mencarinya di majalah. Jika ia akan lebih mendalaminya, ia akan mencari buku atau film dokumenter. Hal ini juga menandakan bahwa peran media sebagai penafsir informasi serta pentingnya sebagai penyampai informasi.[4] Maka dari berbagai media di atas mempunyai peran yang saling melengkapi dan itu sangat efektif dalam menyampaikan pesan-pesan politik.

Pencitraan Media

Untuk pencitraan itu, media massa sering terlibat dengan pemberian julukan (label) kepada para aktor dan atau kekuatan politik. Dalam konteks ini, para komunikator massa dalam rutinitas serupa dengan lembaga stempel yang member persetujuan (pembenaran) dan ketidaksetujuan dalam tindakan-tindakan politik. Bagi suatu kekuatan politik, sikap sebuah media, entah neral partisan adalah menentukan terutama untuk pencitraan opini publik. Sebab, di satu pihak dari ujung komunikasi politik adalah mengenai citra ini, yang banyak bergantung pada cara mengkonstruksi pada kekuatan politik itu. Sedangkan media massa mempunyai kekuatan yang signifikan dalam komunikasi pollitik untuk mempengaruhi khalayak. Walhasil pencitraan yang dilakukan media akan memberikan dampak besar dalam menjangkau khalayak yang banyak.[5]

Media massa adalah faktor penting dalam mengkonstruksi publik. Figur politik mempengaruhi media dan media mempengaruhi representasi pemerintahan.[6] Hal itu bisa dilihat dari popularitas Susilo Bambang Yudoyono tak bisa dihindari karena keterlibatan media dalam mengemas citra sehingga menjadi seperti sekarang ini. Dengan frekuensi diangkat dan diperlihatkan ke publik, media bisa menyihir berjuta-juta manusia untuk mengaguminya. Di kasus lain, juga dialami oleh Prabowo Subiyanto dengan partai Gerindra nya, saat menjelang pemilu 2009 lalu, sosok Prabowo selalu tampil di media televisi kita bak seorang tokoh yang akan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi. Tak lama durasi yang dibutuhkan, Prabowo saat itu menjadi populis yang dikenal hampir seluruh bangsa Indonesia.

J. Baudrillard menjelaskan empat fase citra (1981: 17): pertama, representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun, ia hanya menjadi yang menyerupai dengan dirinya.[7]

Berbagai kepustakaan ilmun komunikasi massa menjelaskan bahwa pesan politik yang disampaikan oleh media massa bukanlah realitas yang sesungguhnya, melainkan adalah realitas media, yaitu realitas buatan atau realitas tangan kedua (second hand reality) yaitu realitas yang dibuat oleh wartawan dan redaktur yang mengolah peristiwa politik menjadi berita politik, melalui proses dan penyaringan seleksi.[8] Para pemberi suara tidak hanya menjadi sadar akan isu, merumuskan citra atribut politik dan gaya pribadi para kandidat, dan membentuk citra tentang partai politik dengan hidup sebagai pertapa yang terasing. Juga perspektif yang dibawa oleh mereka ke dalam kampanye tidak menetapkan lebih dulu persepsi mereka tentang isu, kandidat dan partai. Akan tetapi, dalam waktu di antara pemilihan dan selama kampanye tertentu mereka diterpa berbagai media politik internasional, organisasi dan massa.[9]

Penutup

Tak diragukan lagi, media menempati peran yang sangat strategis dalam menyampaikan pesan-pesan politik terhadap khalayak. Karena tak membutuhkan waktu yang panjang untuk sekedar memperkenalkan agenda-agendanya bahkan bisa merubah pilihan sebelumnya tentu dengan strategi yang dimiliki media secara terus-menerus mempengaruhi khalayak. Dari berbagai media yang digunakan, tentu ada kelebihan dan kelemahannya, begitu juga mengandung pengaruh positif dan negatif terhadap khalyak. Maka upaya penyaringan dan control terhadap segala berita yang dimuat di media perlu dilakukan agar tidak salah pilih.

Melalui media para komunikator maupun aktivis politik mudah menghipnotis khalayak dengan citra yang ditampilkan setiap saat melalui media. Berbagai isu dikemas dengan apik untuk mendapatkan tempat di ruang publik sehingga khalayak yang dijadikan sasaran oleh mereka bisa mengenal dan setelah itu memilihnya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Arifin, Anwar, Pencitraan Dalam Politik, Strategi Pemenangan Pemilu Dalam Perspektif Komunikasi Politik( Jakarta, Pustaka Indonesia, 2006)
  • Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media,( Jakarta, Granit, 2004).
  • Haryatmoko, Etika Komunikasi, manipulasi Media Kekerasan dan Pornografi. (Yogyakarta, Kanisius, 2007),
  • Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, komunikator, Pesan dan Media (Bandung, PT Rosda Karya, 1999)
  • Uchyana Efendi, Onong, Dinamika Komunikasi (Bandung, PT. Rosda Karya,1986)
  • W Jeffers, Leo, Mass Media Effects( United States of America, Waveland Press, 1997)
  • William L. Rivers-Jay W. Jensen Theodore Peterson, Komunikasi  massa, Jakarta, Prenada Media, 2004

 

 

 

 


[1] Dan Nimmo, Komunikasi Politik, komunikator, Pesan dan Media (Bandung, PT Rosda Karya, 1999) Cet ke-3 hal-8

[2] Onong Uchyana Efendi, Dinamika Komunikasi(Bandung, PT. Rosda Karya,1986) hal 206

[3] Iklan politik melalui televisi pada pemilu 2009 terjadi kesenjangan sosial, dalam iklan-iklan politik tersebut hanya ada beberapa partai yang selalu menampilkan agenda partainya kepada public seperti Partai Gerindra, PDI-P, Golkar, Partai Demokrat, PKS, PBB, PKB dan PAN. Tentu saja hanya partai yang paling kuat pendanaannya, sedangkan bagi partai kecil dan baru yang lemah pendanaan untuk beriklan tidak bisa mempublikasikan secara terus menerus di media ini, mengingat media televise adalah saluran komunikasi politik yang sangat efisien.

[4] William L. Rivers-Jay W. Jensen Theodore Peterson, Komunikasi  massa, Jakarta, Prenada Media, 2004) Cet ke-2

[5] Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media,( Jakarta, Granit, 2004) Cet ke-1 hal-29-30

[6] Leo W Jeffers, Mass Media Effects( United States of America, Waveland Press, 1997) Second Edition, h. 124

[7] Haryatmoko, Etika Komunikasi, manipulasi Media Kekerasan dan Pornografi. (Yogyakarta, Kanisius, 2007), cet ke-5, h. 32

[8] Anwar Arifin, Pencitraan Dalam Politik, Strategi Pemenangan Pemilu Dalam Perspektif Komunikasi Politik( Jakarta, Pustaka Indonesia, 2006) h. 5

[9] Dan Nimmo, Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek( Bandung, PT Remaja Rosda Karya2006) Cet ke-4 h.187