Oleh: M. Rosit
Ketidakharmonisan pasangan Kepala Daerah/Gubernur dan wakilnya mengulang kembali, peristiwa ketidakharmonisan yang berakibat mundurnya salah satu pasangan yang pernah bersaksi atas nama rakyat untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin yang memiliki mandat langsung dari rakyat ternyata begitu mudahnya mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Kali ini terjadi pada Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto.
Surat pengunduran diri Prijanto sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, telah resmi diajukan tertanggal 23 Desember 2011. Di dalam surat tersebut tidak disebutkan alasan jelas pengunduran diri, seperti rencananya maju sebagai Cagub DKI Jakarta pada pemilu kada 2012 nanti. Sebelumnya pengunduran diri Prijanto, Kasus serupa terjadi pada Diky Chandra yang juga mengundurkan diri sebagai Wakil Bupati Garut. Prosesnya berjalan dan akhirnya ditetapkan dengan surat keputusan Mendagri. Oleh karena itu proses pengunduran diri Prijanto juga akan memakan waktu hingga adanya keputusan Mendagri.
Pengunduran Diky Chandra juga disebabkan adanya ketidakharmonisan yang terjadi antara wakil dan Bupatinya. Padahal baik Prijanto dan Diky Chandra sudah bersumpah akan menjalankan masa jabatannya sebagaimana yang diamanatkan konstitusi, nyatanya menyelesaikan masalah pada level internal saja tidak bisa. Dan hal itu perlu dipertanyakan keseriusan mereka baik dalam etika berpolitik maupun sebagai seorang pemimpin yang memiliki mandat dan mengayomi rakyatnya.
Selain adanya disharmonisasi, baik Prijanto maupun Diky Chandra mengalami alasan yang mirip, yakni Prijanto tidak mau menjelaskan alasan mengapa ia harus mengundurkan diri secara jelas dan gamblang kepada publik, dan begitu juga sebelumnya Diky Chandra juga tidak menjelaskan secara jelas dan rasional tentang alasan kemunduran dirinya dari Wakil Bupati Garut. Hal ini mengindikasikan bahwa keduanya bukan seorang politikus atau pemimpin yang memiliki karakter kuat, yang semestinya hal itu tidak akan terjadi pada seorang politikus atau negarawan yang memiliki pandangan jauh ke depan. Selanjutnya kemiripan keduanya adalah mereka menempatkan diri sebagai sebagai orang yang terzolimi agar mendapat belas kasihan dari publik. Diky Chandra menyalahkan dirinya sendiri bermaksud memperoleh dukungan dari publik, sementara Prijanto mengatakan bahwa dirinya cukup sabar mendampingi Fauzi Bowo selama ini, dan bahkan mengatakan semestinya sudah 2 tahun lalu mengundurkan diri.
Peristiwa seperti ini terjadi membuktikan bahwa egopolitik lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan publik. Seharusnya sebelum menjadi seorang politikus yang berniat menduduki jabatan-jabatan strategis harus memiliki niat dan tujuan yang benar. Menjadi seorang politikus adalah menafkahkan waktu dan energinya untuk kepentingan rakyat, bukan malah mencari nafkah untuk memperkaya diri. Dalam etika komunikasi politik jelas bahwa ketika seorang politikus atau pejabat negara sudah melenceng dari tujuan dari politik itu sendiri atau bahkan tidak memahami identitas diri sebagai seorang politikus maka kegaduhan politik dan ketidakharomonisan lebih sering menonjol ke permukaan. Tentu hal ini bertentangan dengan etika demokrasi yang mengatakan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Selain itu, menjadi pimpinan di dalam sistem demokrasi tidak semudah apa yang dibayangkan, berbeda dengan menjadi seorang raja di dalam sistem monarki yang segala keputusan dan kebijakannya berdasarkan kemauan atau kehendaknya. Namun tidak begitu di dalam sistem demokrasi, baik kepala daerah maupun wakilnya dalam memimpin daerahnya harus sesuai apa yang diinginkan oleh rakyatnya bukan apa yang diinginkan oleh pemimpinnya. Jadi semua kebijakan bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. bukan dari pemimpin, oleh pemimpin dan untuk pemimpin, apalagi bermuara dari parpol, jelas tidak sesuai dengan konstitusi yang sudah diamanatkan bersama.
Oleh karena itu, fenomena mundurnya wakil kepala daerah perlu mendapatkan respon yang serius. Hal ini penting karena bagaimanapun pihak yang menjadi korban mengenai kemunduran salah satu pasangan/wakil kepala daerah adalah rakyat yang telah memberikan mandat kepada pemimpinnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait fenomena mundurnya wakil kepala daerah yaitu: pertama, tidak berjalannya komunikasi antar sesama baik kepala daerah maupun wakilnya, hal ini nampak jelas baik Prijanto maupun Diky Chandra yang kecewa terhadap pasangannya, mereka merasa inferior atau bahkan mereka sendiri yang menempatkan inferior sehingga ketidakpercayaan diri sebagai seorang wakil kepala daerah lebih besar.
Kedua, alasan politis, yakni bisa saja Prijanto mengundurkan diri dari wakil Gubernur karena menyiapkan strategi pemilu kada DKI Jakarta yang semakin mendekat waktunya, bagaimanapun ia harus mengundurkan diri dari jabatan wakil Gubernur agar tidak nampak inferior di mata publik dan menyiapkan strateginya untuk pemenangan pemilu kada, strategi ini juga pernah dilakukan SBY saat berniat maju Pemilu Presiden pada tahun 2004. Ketiga, wewenang wakil kepala daerah kurang jelas, hal ini juga mengindikasikan bahwa seorang wakil kepala daerah hanya sebagai pendamping saja, atau ia tidak memiliki hak dalam mengambil kebijakan sehingga merasa dibayang-bayangi oleh pasangannya sendiri. Keempat, ia melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang sudah dimandati oleh rakyat banyak. Kepala daerah dan wakilnya dipilih melalui pemilu langsung, berapa banyak biaya politik yang sudah dihabiskan baik dari negara maupun biaya kandidat, selain itu juga rakyat sudah terlanjur memilih dan memimpikan pemimpinnya bisa menyelesaikan segala permasalahan kehidupan kaum bawah.
Solusi dan Proses Pembelajaran
Supaya tidak terjadi disharmonisasi antara pasangan kepala daerah dan wakilnya perlu dibuat regulasi yang ketat. Hal ini perlu dilakukan agar kejadian ini tidak terulangi atau tidak dilakukan oleh wakil kepala daerah lainnya. Regulasi ini mengatur dengan tegas tentang pengunduran salah satu pasangan harus jelas dan rasional dan tidak beralasan karena tidak adanya kecocokan dengan pasangannya.
Kejadian ini juga mengindikasikan implementasi yang meliberalkan demokrasi dengan cara memilih pasangan kandidat ternyata tidak menghasilkan kesepakatan politik. Keduanya bahkan malah menjadi rival yang saling bersaing dan menjatuhkan secara asimetris. Kalau hal ini sudah terjadi maka kemesraan saat-saat menjelang pemilu kada dan menjabat pada masa-masa awal pemerintahannya akan cepat berlalu sehingga berubah menjadi pasangan yang mudah dan siap melakukan perceraian.
Berdasarkan data Kemendagri bahwa hanya 6,15 persen pasangan kepala daerah hasil pemilihan pada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada Pemilu Kada untuk periode selanjutnya. Sedemikian besar presentase pasangan kepala daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika pemilu kada. Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenoek menyatakan, “Dari 244 Pemilu Kada pada 2010 dan 67 pada 2011, hampir 94 persen diantaranya pecah kongsi.
Oleh karena itu, semestinya pasangan kepala daerah mengerti tugas-tugasnya yang telah diamanatkan oleh rakyat, bisa berkomunikasi dengan baik dan bekerja optimal, apalagi untuk konteks DKI Jakarta membutuhkan penyelesaian yang tidak mudah. Segala carut marut di ibukota ini juga tergantung kecerdasan dan kreatifitas seorang pemimpin untuk menanggulangi banjir, macet, kriminal dan permasalahan kota pada umumnya. Jadi pengunduran diri sebagai Wakil Kepala Daerah tidak menjadikan solusi apalagi ketika dibandingkan dengan pemilihan yang membutuhkan biaya yang sangat besar, tentu juga harus menghasilkan sesuatu yang berarti untuk rakyat.
Penulis adalah Peneliti The Political Literacy Institute, Jakarta