Jakarta Mau Dibawa Kemana???


“Jakarta sudah tak nyaman lagi, mas. Kemana-mana meski macet, ditambah lagi polusi, dan sering banjir saat musim hujan datang.” Demikian keluhan seorang bapak setengah tua secara tiba-tiba yang duduk di samping saya, di antara orang-orang yang berteduh menghindari hujan lebat, di depan sebuah kantor bertingkat yang terletak di jalan Sudirman. Saya pun hanya menganggukkan kepala saja dengan sedikit senyuman, memberikan simbol bahwa saya mengerti dan sepakat apa yang dirasakan bapak setengah tua itu.

Banyak orang mengeluh mengenai kondisi Jakarta yang benar-benar sudah jauh dari sebuah kota ideal. Berbagai masalah kota selalu bermunculan, padahal masalah sebelumnya belum terselesaikan. Kemacetan, kemiskinan kota, anak-anak jalanan, pengangguran, banjir, kriminal dan lain-lain. Semua menumpuk seperti gunung yang saya kira suatu waktu akan meledak bersama kegelisahan warganya. Bagaimana mungkin masalah kota yang benar-benar sudah tampak di depan mata dibiarkan begitu saja, atau kita menunggu datangnya bom waktu yang akan meluluhlantakan kota ini. Ibarat seorang manusia, ia sudah berusia lanjut, saat jalan meski menggunakan tongkat dan disuruh memikul beban yang sangat berat. Itulah Jakarta. Terlalu!!!(Roma)

Sementara pemindahan ibukota hanya dalam wilayah wacana saja (discourse area). Malah menjadi tinju perdebatan para kaum elit bangsa kita. Berbagai tanggapan positif dan negatif menghiasi media kita namun hanya berkutat di lingkaran yang sama. Mantan wakil presiden pun ikut menanggapinya dengan pesimis mengenai pemindahan ibukota, menurutnya “kita tak perlu repot-repot pindah ibukota, tak segampang itu katanya,” selain membutuhkan biaya yang sangat besar, juga memakan waktu yang sangat lama dan tidak efektif. Kita meski memperbaiki dan membangun insfrasturktur yang memadai, tanpa pindah ibukota, menurutnya.” Namun, infrastruktur macam apakah yang bisa memberikan solusi terhadap beban berat yang ditanggung Jakarta, kalau setiap hari ribuan pendatang baru mengadu nasib di kota tercinta ini. Apakah Anggota Dewan meski melarang para warganya berbondong-bondong menuju Jakarta? Terlalu!!!(Roma)

Pertama-tama kita meski sadar bahwa pemindahan ibukota dari satu kota ke kota lain adalah hal yang biasa dan pernah dilakukan oleh Negara lain. Sebagai contoh, Amerika pernah memindahkan ibukota mereka dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canbera, Jerman dari Born ke Berlin dan Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Indonesia sendiri dalam sejarah juga pernah memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, meskipun karena alasan darurat dan ketidakamanan dari cengkeraman kembali kaum imperialis. Apakah negeri ini menunggu ancaman dari luar atau “BOM WAKTU” meledak dahulu, baru setelah itu pindah ibukota?

Tentu saja kita semua memahami betul kenapa Jakarta menjadi sebuah kota macet. Kesenjangan sosial kota-lah yang menyebabkan Jakarta meski menanggung beban terlalu berat. Tidak mungkin juga pemerintah melarang para wargannya mencari sesuap nasi di ibukota ini. Yang meski dilakukan pemerintah, mau tidak mau meski menghapus kesenjangan sosial, salah satu alternatif dengan memindahkan ibukota supaya ada sebuah kota baru yang menjadi perhatian seluruh warga negeri ini.

Kita lihat di Amerika Serikat tersebar di beberapa kota, tidak tertumpuk di satu kota, sehingga pembangunan bisa lebih merata. Indonesia seyogyanya begitu. Semua kegiatan tak harus berpusat di Jakarta saja. Jika kondisi carut-marut ini masih dipertahankan juga, dalam jangka 10-30 tahun lagi, generasi mendatang akan terkena imbasnya, dan itu berarti negeri ini mewariskan bencana terhadap generasi berikutnya. Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat kota bisnis, untuk pusat pemerintahan sebaiknya ditanggung kota lain.

Fenomena Anak-Anak Jalanan


Seiring dengan kemajuan industrialisasi yang revolusioner diharapkan memberikan perubahan dalam segala aspek permasalahan di masyarakat khususnya dalam mengatasi masalah sosial (social problems), kenyataannya, masalah-masalah sosial hingga kini malah semakin rumit, meskipun sebagian kecil sudah terangkat. Di Jakarta sebagai ibukota negara khususnya, malah bobot masalah sosial paling rumit, hal ini paradok dengan kota yang paling istimewa di negeri ini. Saya akan mengupas salah satu masalah sosial yang sangat krusial yaitu dialami anak-anak jalanan. Nah, siapa sebenarnya mereka?

Secara umum beberapa ciri anak jalanan itu yaitu, pertama, berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat hiburan) selama 3-24 jam sehari. Kedua, berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, bisa dihitung dengan jari yang menamatkan SD). Ketiga, berdasarkan dari keluarga-keluarga tak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa di antaranya tidak jelas keluarganya). Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor informal). Sederhananya mereka adalah anak-anak yang setiap hari di jalanan dengan berbagai aktivitas yang menghasilkan uang.

keberadaan mereka di jalanan yang ramai dengan hiruk-pikuk aktivitas kota dan pengguna jalan tentu sangat membahayakan mereka sendiri. Ditambah lagi dengan rentannya kejahatan-kejahatan di jalanan yang setiap kali mengancam anak-anak yang belakangan ini terjadi. Tak sedikit merekalah yang menjadi korban keganasan kerasnya kota. Nah, masalah-masalah seperti ini tidak bisa didiamkan begitu saja, bagaimanapun juga setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan tanpa terkecuali.

Adapun aktifitas-aktifitas mereka di jalan di antaranya sebagai pengamen jalanan, penyemir sepatu, pengemis dan lain-lain. Mereka pun tak kenal rasa takut atau lelah di jalanan meskipun nyawa mereka menjadi taruhan. Memang kalau dilihat sudut positifnya, mereka bisa mandiri bahkan menjadi tulang punggung bagi keluarganya, akan tetapi masa-masa anak-anak yang semestinya bermain dan memperoleh pendidikan, dikorbankan untuk mencari uang.

Konflik dan Eksploitasi

Terjadinya konflik banyak pihak di berbagai tempat menjadikan anak-anak itu mengalami konflik dan eksploitasi yang berlapis dan tak terelakan. Anak-anak jalanan yang masih memiliki dan tinggal bersama keluarga mengalami konflik dan eksploitasi di dalam keluarganya sendiri. Tingkatan konflik dan eksploitasi itu sangat beragam, mulai dari secara halus mendorong anak bekerja untuk sekedar membantu nafkah keluarga, melakukan penyiksaan fisik sampai melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri.

Konflik di dalam keluarga ini justru paling sulit diatasi. Campur tangan pihak luar dengan mudah akan dituding mencampuri dapur rumah tangga orang lain. Sementara anak-anak yang mengalami pun dalam kondisi yang dilematis, jika konflik atau eksploitasi dibiarkan begitu saja akan menjadikan tindakan penganiayaan dan penindasan yang terus berlanjut dan tak berujung. Namun apabila dilawan, berarti harus berseteru dengan orang tua sendiri.

Di luar rumah tidak berarti mereka bebas dari konflik, eksploitasi dan penindasan. Konflik pertama yang umumnya mereka alami adalah dengan teman sebaya atau dengan orang yang lebih tua untuk meperebutkan sesuap nasi (rizki), tak jarang konflik seperti ini meruncing menjadi konflik fisik dan biasanya melibatkan lebih banyak orang. Ujung-ujungnya mereka harus berhadapan dengan Jegger yang kemudian dengan cara beragam mengekploitasi mereka.

Konflik eksploitasi dan penindasan yang dialami oleh anak-anak lebih terbuka sifatnya. Seperti yang lebih banyak menarik perhatian orang untuk dipersoalkan adalah konflik dengan para petugas keamanan, kamtib dan penegak hukum. Ini terjadi karena keberadaan anak-anak itu dijalanan ditambah lagi dengan kegiatan-kegiatan mereka pada sektor informal bukan saja tak dilindungi hukum, bahkan dinyatakan melanggar hukum.

Tak sedkit pula anak-anak itu yang masih harus mengalami konflik dan ekploitasi dengan bos-bos mereka yang mengelola dan memodali usaha pada sektor informal. Bentuknya dapat berupa penetapan upah dan keuntungan sepihak, serta perlakuan tidak adil lainnya. Kesemuanya ini terjadi karena pekerjaan sektor informal yang dilakoni anak-anak jalanan ini lebih banyak diatur dengan apa yang disebut “hukum jalanan”, Jika dibuat herarki posisi, anak-anak jalanan ini berada paling bawah dalam jaringan konflik, ekploitasi dan penindasan tersebut. Mereka adalah korbannya korban.

Bukan berarti masih banyaknya anak-anak jalanan khususnya di Jakarta, tidak ada satu pun NGO atau LSM yang memberikan bantuan sosial dalam menanggulanginya atau setidaknya mereka tidak berada di jalanan, mengingat masa-masa mereka semestinya dihabiskan untuk pendidikan dan bermain bukan malah mencari sesuap nasi. Nah, untuk menaggulangi masalah anak-anak jalanan perlu memahami kondisi dan tipologi mereka. Kesalahan utama kita dalam melihat anak-anak jalanan adalah dengan menyeragamkan setiap permasalah yang dihadapi oleh anak-anak jalanan. Sudut pandang seperti ini kurang tepat untuk memberikan solusi terhadap beraneka ragam anak-anak bahkan bisa gagal total niat baik semula.

Untuk memahami anak-anak jalanan tidak cukup diketahui secara teoritis atau melalui buku saja. Melainkan kita perlu terjun langsung ke lapangan dengan mengamati setiap tingkah polah yang dilakukan anak-anak di jalanan. Sehingga kita mengetahui betul tipologi, pola kehidupan, aktivitas, dan lokasi-lokasi anak-anak jalanan baik untuk mengamen atau tempat sekedar berteduh bersama teman-temannya.

Proteksi dan Solusi

Sudah dijelaskan di atas bahwa anak-anak jalanan adalah korbannya korban. Kehidupan anak-anak begitu berbahaya dari segala ancaman tindakan kriminal, sedangkan orang-orang yang berada di jalan tak begitu mempedulikan keberadaan mereka. Satu-satunya jalan terbaik yaitu bagaimana mereka meninggalkan jalanan atau hidup seperti anak-anak pada umumnya. Tentu upaya semacam ini tidak mudah, karena anak-anak jalanan justru kebanyakan lebih suka turun ke jalan dari pada mereka bermain atau sekolah formal yang seharusnya mereka lakukan.

Pendidikan merupakan upaya yang terbaik untuk menanamkan ketidaktahuan yang mereka hadapi selama ini. Di dalam proses pendidikan yang mendapat perhatian utama adalah dengan apa yang disebut humanisasi, yaitu memanusiakan manusia (anak jalanan). Kemudian pembekalan ketrampilan sebagai media untuk mencari uang. Selain itu kita pun mesti menciptakan “rumah singgah” buat anak-anak berguna dalam proses pendidikan. Nah, di dalam rumah singgah itu kita akan mudah mengendalikan anak-anak dan serta muski diadaptasikan sesuai kondisi anak-anak butuhkan.

Upaya-upaya seperti mengunjungi rumah kedua orang tua anak-anak (home visit) juga mesti dilakukan untuk mendekatkan relawan dengan keluarganaya dengan maksud mengetahui pola kehidupan dalam wilayah yang terkecil (keluarga). Selain itu, bersama dengan upaya mengatasi konflik dan ekploitasi di dalam keluarga, dilakukan pula usaha mengatasi konflik di lingkungan terdekat. Upaya ini bisa dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan para Jegger yang menguasai lokasi anak-anak itu bekerja. Kalau pun para jegger itu tak bisa membantu, minimal mereka membebaskan anak-anak itu ikut dalam proses pendidikan.

Dan tidak lupa, selain menekankan terhadap pendidikan akhlak, baca-tulis dan permainan. Pembekalan ketrampilan merupakan prioritas yang sangat berperan untuk menggiring mereka keluar dari jalanan. Ketrampilan yang dimiliki anak-anak akan membantu setelah mereka keluar dari kehidupan jalanan, atau setidaknya mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Dan saya rasa, itu adalah solusi terbaik buat anak-anak jalanan bahkan untuk masyarakat sekitar.

M. Rosit

Tulisan ini dirangkum dari diskusi di YNDN (sebuah LSM yang menangani anak-anak jalanan)