UNIVERSAL OF VERBAL AND NONVERBAL MESSAGES


A word is not a crystal, transparent and unchanged, it is the skin of living thought and may vary greatly in color and content according to the circumtances and the time in whict it is used.

Sebuah kata bukanlah suatu kristal, transparan, dan tidak berubah. Kata adalah pembungkus dari pikiran yang terus bergerak dan sangatlah penuh warna dan makna, yang didasarkan pada keadaan dan waktu saat kata-kata tersebut digunakan
“OLIVER WENDEL HOUSE”
________________________________________
Artikel berikut ini akan membahas mengenai komunikasi verbal dan non-verbal serta memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai beberapa cara interaksi suatu pesan, makna dasar akan pemahaman pesan, serta prinsip dasar dari suatu pesan.

I. INTERAKSI PESAN VERBAL DAN NON VERBAL

Di dalam suatu komunikasi tatap muka, terdapat kegiatan menggabungkan pesan bentuk verbal dan nonverbal nonverbal yang dilakukan untuk menyampaikan makna yang terbaik. Mencampur pesan verbal dan nonverbal juga membantu untuk berpikir dan mengingat (Iverson & Goldin-Meadow, 1999). Komunikasi nonverbal sering digunakan untuk aksen, untuk menekankan beberapa bagian dari pesan verbal. Komunikasi nonverbal dapat digunakan untuk melengkapi, untuk menambah nuansa makna yang tidak dikomunikasikan dengan pesan verbal. Gerakan nonverbal dapat digunakan untuk mengendalikan atau untuk menunjukkan keinginan pembicara untuk mengontrol, seperti dalam aliran pesan verbal.

Seseorang membuka bibir seperti hendak berbicara, maju dari sandaran ke depan, atau membuat gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa ia ingin berbicara. Seseorang mungkin juga mengangkat tangan atau menyuarakan jeda (misalnya, dengan “um”) untuk menunjukkan bahwa pembicaraan belum selesai dan tidak siap untuk melepaskan waktu berbicaranya ke pembicara berikutnya. Kita dapat mengulangi atau mengemukakan kembali pesan verbal secara nonverbal. Misalnya, mengikuti kalimat “Apakah itu baik-baik saja?” Dengan alis terangkat dan terlihat seperti wajah bertanya, atau gerakan kepala atau tangan untuk mengulang kalimat verbal “Ayo pergi.” Komunikasi nonverbal dapat digunakan untuk menggantikan pesan verbal, misalnya sinyal “OK” dengan isyarat tangan, menganggukan kepala untuk menunjukkan ya atau menggelengkan kepala untuk menunjukkan tidak.

Perkembangan komunikasi secara elektronik, merubah penyampaian komunikasi mejadi melalui e-mail yang diketik tanpa ekspresi wajah atau gerakan yang biasanya menyertai komunikasi tatap muka dan tanpa perubahan volume yang merupakan bagian dari komunikasi telepon biasa. Untuk mengimbangi kekurangan perilaku nonverbal, emoticon diciptakan. Emoticon yang juga disebut “smiley”, adalah simbol yang diketik dalam berkomunikasi melalui keyboard, karena biasanya nuansa pesan disampaikan dengan ekspresi nonverbal dan perubahan dalam ekspresi vokal.

Beberapa emoticon yang populer digunakan dalam percakapan komputer, antara lain adalah:
• 🙂 = Tersenyum, aku hanya bercanda
• 😦 = Kerut, aku merasa sedih; ini sedih
• * = Ciuman
• : – = Laki-laki
• >- = Perempuan
• {} = Memeluk
• {{{***}}} = Pelukan dan ciuman
• 😉 = Senyum licik
• _ini penting_ = menggarisbawahi, menambahkan penekanan
• Ini penting * = tanda bintang, menambahkan penekanan
• SEMUA HURUF KAPITAL = berteriak, menekankan
• atau = menyeringai
Simbol ini tidak digunakan universal (Pollack, 1996), sebagai contoh karena dianggap tidak sopan bagi seorang wanita Jepang jika menunjukkan giginya ketika ia tersenyum, maka emoticon Jepang untuk senyum wanita adalah (^ ^.) Dimana titik menandakan mulut tertutup. Senyum laki-laki ditulis (^ _ ^). emoticon lainnya yang populer di Jepang tetapi tidak digunakan di Eropa atau Amerika Serikat (^ ^;) untuk “keringat dingin,” (^ o ^ ; Q) untuk “maafkan saya,” dan (^ o ^) untuk “bahagia.”

II. PRINSIP-PRINSIP DALAM MEMAHAMI PESAN

Memahami pesan adalah sebuah proses aktif yang terjadi sebagi bentuk kerjasama antara sumber dan penerima, pembicara dan pendengar, penulis dan pembaca. Memahami apa arti dan bagaimana mereka melewati dari satu orang ke orang lain akan membantu memaksimalkan potensi pesan baik verbal dan nonverbal.
Memahami ada pada Orang

Memahami tidak hanya tergantung pada pesan-pesan (baik verbal, nonverbal, atau keduanya), tetapi juga pada interaksi dari pesan-pesan dan pikiran serta perasaan si penerima pesan. Orang akan membangun makna dari pesan yang diterima, dikombinasikan dengan perspektif yang dimiliki baik secara sosial dan budaya (misalnya: kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai) (Berger & Luckmann, 1980; Delia, 1977; Delia, O’Keefe, & O’Keefe, 1982).

Memahami makna dari suatu pesan dapat dilakukan dengan menguji lebih lanjut pemahaman melalui beberapa pertanyaan berikut:
a. Apakah ada perbedaan besar antara makna Anda dan orang lain?
b. Bagaimana Anda menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam hal konotasi dan denotasi?
c. Apa yang menyebabkan perbedaan makna? Artinya, faktor apa yang berkontribusi terhadap makna Anda untuk istilah tersebut? Dengan kata lain, bagaimana Anda mendapatkan arti Anda menunjukkan pada skala ini?
d. Apa hal ini menggambarkan tentang prinsip makna pada orang?
Memahami Lebih dari Kata-kata dan Sikap

Ketika kita ingin mengkomunikasikan pikiran atau perasaan kepada orang lain, kita melakukannya dengan penggunaan simbol yang relatif sedikit. Simbol-simbol merupakan sebagian kecil dari yang kita pikirkan atau rasakan, banyak yang tidak terucapkan, walaupun kita mencoba menggambarkan perasaan secara detail. Orang tidak pernah dapat sepenuhnya tahu apa yang dipikirkan orang lain atau perasaan. Mereka hanya dapat memperkirakan berdasarkan atas pemahaman yang diterima – yang sangat dipengaruhi oleh siapa dan apa yang dirasakan. Sebaliknya, orang lain tidak pernah dapat sepenuhnya tahu serta mendekati apa yang kita rasakan. Kegagalan untuk memahami orang lain atau untuk dipahami bukan kejadian abnormal.
Memahami adalah Keunikan

Memahami berasal dari pesan yang dikomunikasikan dan pikiran penerima sendiri serta yang dirasakan, tidak ada dua orang yang pernah memperoleh makna yang sama. Demikian pula, karena orang berubah terus, tidak ada satu orang dapat memperoleh arti yang sama di dua kesempatan terpisah. Pesan yang disampaikan tidak pernah bisa dipisahkan dari makna yang dibuat.

Ketika seseorang berubah, maka hal tersebut mengubah makna yang keluar atau lepas dari makna pesan terakhir yang telah ditangkap sebelumnya. Jadi, meskipun pesan yang dikirim tidak mungkin berubah, makna yang dibuat kemarin dan makna yang dibuat hari ini mungkin sangat berbeda.

Pemahaman itu Berdasarkan pada Konteks
Komunikasi verbal dan nonverbal yang ada dalam konteks, sebagian besar, menentukan makna dari setiap perilaku verbal atau nonverbal. Kata-kata atau perilaku yang sama dapat memiliki arti yang berbeda ketika komunikasi yang dilakukan terjadi dalam konteks yang berbeda. Misalnya, ucapan, “Bagaimana kabarmu?” Bermakna “Halo” untuk seseorang yang Anda selalu temui di jalan, tapi bermakna “Apakah kesehatan Anda semakin baik?” Ketika berkata kepada seorang teman di rumah sakit. Hal terpenting dalam memahami pesan adalah konteks budaya. Konteks budaya akan berpengaruh tidak hanya pada memahami apa yang dibicarakan dan sikap yang ditunjukkan, tetapi juga dalam memahami suatu bentuk keramahan, ketersinggungan, rasa tidak menghormati, merendahkan, sensitif, dan sebagainya.
III. PRINSIP-PRINSIP PESAN

Terdapat tujuh prinsip dasar pesan interpersonal : pesan interpersonal terjadi dalam kemasannya, ditentukan oleh peraturan, beragam dalam bentuk yang abstrak, kesantunan, inklusi, hubungan langsung, dan ketegasan.

1. Pesan adalah Bagaiman Cara Mengemasnya
Suara yang dikeluarkan melalui mulut atau gesture yang digerakkan melalui tangan serta memandang memperkuat perilaku verbal maupun non verbal. Semua bagian sistem pesan bekerja sama untuk mengkomunikasikan sebuah kesepakatan.

Ketika mengucapkan kata-kata marah, kemarahan juga berkomunikasi melalui tubuh dan wajah dengan mimik tegang, cemberut, dan mungkin asumsi sikap perkelahian. Kita sering gagal memperhatikan “kemasan” dalam pesan lain ‘karena mereka terlihat begitu alami. Tetapi ketika pesan non-verbal dari postur seseorang atau bertentangan dengan wajah yang tidak sesuai secara lisan, maka akan memperoleh perhatian khusus. misalnya orang yang berkata “Saya sangat senang berjumpa dengan anda,” tetapi anda menghindari kontak mata langsung dan melihat sekeliling untuk melihat siapa lagi yang hadir.

Sebuah karakter kesadaran akan dikemas melalui komunikasi. Kemudian, menunjukkan peringatan terhadap penafsiran yang terlalu mudah maknanya, khususnya sebagaimana terungkap dalam perilaku non-verbal.

2. Pesan adalah Terkelola dengan Aturan
Karakter perintah pada komunikasi verbal telah diketahui secara baik. Setiap bahasa memiliki aturan (aturan tata bahasa), penutur asli yang mengikuti dalam memproduksi dan pemahaman kalimat meskipun mereka mungkin tidak dapat menyatakan aturan tersebut secara eksplisit. Komunikasi non-verbal juga diatur oleh sistem atau norma bahwa yang menyatakan tidak tepat, diharapkan dan diperbolehkan dalam situasi sosial tertentu. Aturan ini dipelajari dengan mengamati perilaku komunitas orang dewasa, contohnya adalah bagaimana mengekspresikan simpati bersama dengan aturan dalam kebudayaan yang telah ditetapkan, mempelajari pelajari sentuhan yang diperbolehkan dalam kondisi tertentu yang tidak. Aturan-aturan non-verbal sangat bervariasi dari satu budaya terhadap budaya lain. Aturan adalah lembaga budaya; mereka tidak hukum universal. Di Amerika Serikat, misalnya kontak mata langsung biasanya sinyal keterbukaan dan kejujuran, namun di antara sebagian orang Amerika Latin dan Amerika Serikat, kontak mata langsung, misalnya, seorang guru dan murid merupakan dianggap tidak pantas, mungkin perilaku siswa terlalu agresif.

3. Pesan Sangat Bervariasi dalam Bentuk yang Abstrak
Pesan yang disampaikan sangat bervariasi dan dapat bersifat abstraks. Film, adalah bentuk kongkrit dari entertainment yang meliputi dari segala bentuk hiburan, seperti tv, novel, drama, musik, komik, dll. Penyampaian pesan verbal yang efektif untuk umum adalah penyampaian pesan yang meliputi semua level abstraksi (pemisahan/macam). Sedangkan untuk penyampaian pesan personal, yang sangat baik adalah pesan yang spesifik (fokus), sehingga dapat membuat pendengar (penerima pesan) membayangkan pesan dengan tepat.

4. Pesan Sangat Bervariasi dalam Bentuk Kesantunan
Pesan juga sangat bervariasi dalam kesopanan-santunan. Sopan santun merupakan perlakuan yang diinginkan pada sebagian besar budaya. Berbeda budaya berbeda juga norma kesopanannya, contohnya dalam memberikan pendapat/ pertimbangan atas suatu hal, orang Inggris menyampaikanya dengan penuh percaya diri, sedangkan orang Jepang menyampaikannya dengan rendah hati. Pada dunia bisnis, kesopanan merupakan bagian yang sangat penting dalam interaksi personal. Banyak perusahan internasional yang memberikan pelatihan khusus untuk pegawainya untuk berlaku sopan dalam budaya lain.
Perkembangan tekhnologi yang mendorong komunikasi dilakukan via internet telah mengembangkan suatu bentuk kesopansantunan yang disebut dengan Netiquette atau etika dalam berinternet. Terdapat beberapa kerangka dalam netiquette, antara lain adalah:

• Baca FAQs (frequently asked questions) pertanyaan yang sering ditanyakan, sebelum bertanya.

• Jangan teriak, jangan menggunakan huruf kapital pada penulisan, karena akan memberikan kesan sebagai TERIAKAN.

• Mengintai (membaca terlebih dahulu untuk mencari informasi) sebelum berkontribusi.

• Jangan berkontibusi pada jam sibuk (akan mengganggu jaringan).

• Singkat, berkomunikasi hanya untuk apa yg dibutuhkan.

• Perlakukan orang baru dengan ramah.

• Jangan mengirim pesan komersial bagi orang yang tidak menginginkannya.

• Jangan melakukan spam, yaitu mengirimkan pesan yang tidak diminta, ataupun pesan yang sama berkali-kali

• Jangan memancing keributan dengan menyerang seseorang.

• Jangan menggunakan kata-kata yang berkesan menyerang (SARA)

5. Pesan Sangat Bervariasi dalam Inklusi
Beberapa pesan bersifat inclusif, dalam artian bahwa pesan yang disampaikan melibatkan orang-orang yang hadir saat itu dan adanya pemahaman yang sama antar satu dengan lainnya, namun ada juga pesan yang hanya dipahami oleh kelompok tertentu. Dalam kondisi ini diperlukan adanya suatu upaya memberikan detail diskusi yang terlevan untuk memberikan informasi agar terdapat pemahaman yang sama antar pihak yang menerima pesan.

6. Pesan Sangat Bervariasi dalam Hubungan Langsung Penyampaiannya
Pertimbangan untuk melakukan komunikasi secara langsung maupun tidak langsung, tergantung dari masing-masing individu. Penyampaian pesan langsung maupun tidak langsung, dapat dilakukan dengan cara nonverbal. Seperti contoh singkatnya: kita terus menatap dan memperhatikan jam, untuk mengkomunikasikan bahwa orang tersebut dalam keadaan terburu-buru. Pesan langsung lainnya adalah dalam bentuk seperti kita bangun dan berdiri dari tempat duduk, kondisi ini menandakan percakapan berakhir.

Keuntungan Penyampaian Pesan Secara Tidak Langsung
Keuntungan dari pesan tidak langsung memungkinkan untuk dapat mengekspresikan keinginan tanpa ada yang merasa menghina atau menyinggung, contohnya adalah dalam menyatakan preferensi tetapi mengatakannya secara tidak langsung untuk menghindari menyinggung seseorang. Terkadang pesan tidak langsung memungkinkan untuk meminta pujian dari orang lain dengan cara yang diterima secara sosial.

Kerugian Penyampaian Pesan Secara Tidak Langsung
Pesan tidak langsung dapat menimbulkan kesalahpahaman yang pada akhirnya akan memunculkan kebencian, persaingan, dan sikap sering untuk merasa meang sendiri.

Dengan penyampaian pesan secara langsung, maka akan komunikan dan komunikator akan berada pada titik pijakan pemahaman yang relatif sama, sehingga memungkinkan untuk memahami dan memenuhi kebutuhan akan pesan yang disampaikan.

Terdapat permasalahan perbedaan gender dan budaya dalam hubungan komunikasi. Stereotip populer di Amerika menyatakan bahwa perempuan cenderung tidak langsung dalam menyampaikan permintaan maupun pesan, namun pria lebih sering menyampaikan pesan secara langsung dan berterus terang. Keterusterangan pria dalam berkomunikasi memberikan rasa kekuasaan dan kenyamanan dengan otoritas mereka sendiri.

Deborah tannen(1994) memberikan perspektif menarik pada stereotip ini. Wanita, lebih cenderung tidak langsung dalam memberikan perintah. mereka lebih cenderung mengatakan, contoh: “it would be great if this letters out today” dibandingkan “have these letters out by three”. memberikan perspektif menarik pada stereotip ini. Wanita, lebih tidak langsung dalam memberikan perintah. mereka lebih cenderung mengatakan. berpendapat bahwa perintah secara tidak langsung dapat menjadi hak prerogatif dari mereka yang berkuasa dan sama sekali tidak menunjukkan kekurangan atau ketidakberdayaan. Pria, terkadang berkomunikasi secara tidak langsung dalam beberapa situasi. Berdasarkan Tannen, pria lebih cenderung menggunakan ketidakpastian ketika mereka mengungkapkan kelemahan, mengungkapkan masalah, atau mengakui kesalahan.

Ada dua prinsip komunikasi secara tidak langsung yang ditemukan dalam bahasa Jepang (Tannen 1994)

Omoiyari : Dekat dengan empati, dalam artian pendengar perlu memahami pembicara tanpa pembicara mengatakan yang spesifik atau langsung. Gaya ini jelas menempatkan permintaan yang banyak pada pendengar untuk mengantisipasi makna yang akan disampaikan secara langsung

Sassuru : Menyarankan pendengar untuk mengantisipasi makna pembicara dan menggunakan isyarat halus dari pembicara untuk menyimpulkan makna secara keseluruhan.

7. Pesan Sangat Bervariasi dalam Ketegasannya (assertiveness)
Jika tidak setuju dengan pendapat rekan kerja, apakah anda akan menyampaikannya? Apakah anda membiarkan orang lain untuk mengambil keuntungan dari apa yang sudah anda kerjakan karena anda tidak berani menyampaikannya? Apakah anda tidak percaya diri dalam menyuarakan pendapat di dalam kelompok diskusi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas digunakan untuk mengukur level sikap ketegasan yang ada dalam diri.

Prinsip-prinsip untuk Meningkatkan Ketegasan dalam Komunikasi
Sebagian besar orang bersikap non-asertif atau tidak tegas pada situasi tertentu. Jika kita termasuk di dalamnya dan berharap untuk dapat merubah perilaku, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sikap tegas (Windy & Constantinou, 2005; Bower & Bower 2005):

i. Menganalisa Bagaimana Komunikasi yang Mengandung Ketegasan
Langkah pertama adalah belajar memahami bagaimana komunikasi yang tegas itu terjadi. Caranya dengan mengobservasi dan menganalisa cara orang lain menyampaikan pesan. Belajar untuk membedakan antara tegas, agresif dan tidak tegas. Fokus kepada apa yang membuat perilaku seseorang tegas dan apa yang tidak tegas.
Setelah melihat pada orang lain kemudian coba tempatkan pada situasi yang sama pada diri kita. Analisa diri pada situasi apa kita biasanya bisa bersikap tegas dan pada situasi apa pula kita memilih bertindak tidak tegas.

ii. Melatih Bagaimana Berkomunikasi dengan Tegas
Setelah memahami pada situasi apa kita cenderung bersikap tidak tegas maka selanjutnya kita coba menyusun tingkatan yang dimulai dengan penyampaian pesan yang menurut kita tidak punya ‘daya’ apa-apa sampai dan diakhiri dengan komunikasi ideal yang didambakan.
Contohnya:
Kita ingin berani menyampaikan pendapat kepada atasan.
Tingkatan awal : tidak berani menyampaikan pendapat
Tingkat menengah : bayangkan lebih dekat pada tujuan, mulai memberanikan diri mendatangi ruangan atasan.
Tingkat akhir : membayangkan dan melatih diri berani menyampaikan pendapat kepada atasan.

Semua harus dibayangkan berulang sampai pada tahap nyaman. Ini disebut latihan mental. Dalam pelaksanaannya juga perlu menambahkan dimensi suara kita dengan berakting pura-pura menyampaikan pendapat kepada atasan. Berlatih berbicara di depan teman dapat memberikan feedback atau masukan yang berguna.

iii. Berkomunikasilah dengan Tegas
Bagian ini adalah yang tersulit tetapi juga yang terpenting. Pola yang umum diikuti untuk dapat berkomunikasi dengan tegas adalah:

• Menjabarkan masalahnya, jangan mengevaluasi atau menghakimi. Lebih baik menggunakan pesan dengan fokus diri sendiri dan hindari menuduh atau menyalahkan orang lain.
• Jelaskan bagaimana masalah berdampak pada diri sendiri.
• Ajukan solusi yang masuk akal dan tidak mempermalukan lawan bicara, kemudian berikan penekanan kembali pada kesepakatan. Hal yang harus diingat adalah terkadang harus ‘memilih’ untuk tidak tegas karena situasi yang dihadapi, misalnya ketika menghadapi permintaan orang yang lebih tua. Jika kita secara tegas menolak kemungkinan mereka akan sakit hati, karena itu lebih mudah bagi kita untuk mengiyakan permintaannya.

• Mintalah masukan dari orang lain, mulai dari orang-orang yang mendukung kita, karena mereka akan memberikan dorongan yang diperlukan. Masukan dari mereka penting karena masukan dari orang-orang lainnya bisa sama sekali berbeda (bisa jadi negatif). Meski begitu, persepsi apa pun dari orang lain seringkali membantu kita ‘mengaca’.

IV. PENUTUP

• Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

• Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.

• Keterbatasan dari pesan verbal adalah:
a. Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek.
b. Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung bersifat dikotomis, misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, dsb.
c. Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual.
d. Kata-kata mengandung bias budaya.
e. Percampuranadukkan fakta, penafsiran, dan penilaian.
• Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan pesan-pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Secara teoritis komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal dapat dipisahkan. Namun dalam kenyataannya, kedua jenis komunikasi ini saling jalin menjalin, saling melengkapi dalam komunikasi yang kita lakukan sehari-hari

• Budaya asal seseorang amat menentukan bagaimana orang tersebut berkomunikasi secara nonverbal. Perbedaan ini dapat meliputi perbedaan budaya Barat-Timur, budaya konteks tinggi dan konteks rendah, bahasa, dsb. Contohnya, orang dari budaya Oriental cenderung menghindari kontak mata langsung, sedangkan orang Timur Tengah, India dan Amerika Serikat biasanya menganggap kontak mata penting untuk menunjukkan keterpercayaan, dan orang yang menghindari kontak mata dianggap tidak dapat dipercaya.
• Terdapat beberapa alasan mengapa pesan verbal sangat signifikan, yaitu:

a. Factor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatamuka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Pada gilirannya orang lainpun lebih banya ’membaca’ pikiran kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal.

b. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan noverbal ketimbang pesan verbal.

c. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar.

d. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memeperjelas maksud dan makna pesan. Diatas telah kita paparkan pesan verbal mempunyai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan aksentuasi.

e. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redundansi, repetisi, ambiguity, dan abtraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan pikiran kita secara verbal.

f. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan dan emosi secara tidak langsung. Sugesti ini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (tersirat).

• Komunikasi akan efektif apabila pesan-pesan verbal dan non-verbal saling menguatkan satu sama lain dan membentuk suatu keseluruhan yang jujur dan terpadu. Menurut Birdwhistell menyampaikan bahwa, 30 % sampai dengan 35 % makna sosial percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata, sisanya dilakukan dengan non-verbal. Bahkan Mehrabian memperkirakan 93 % dampak pesan adalah diakibatkan oleh pesan non-verbal.

• Dalam kehidupan sehari-hari kita pun dapat mengamati betapa seringnya kita memperoleh ataupun menyampaikan informasi yang disampaikan melalui komunikasi non-verbal. Misalnya tanda-tanda lalu lintas, warna baju dalam kampanye pemilu, ekspresi muka, gerakan tangan, dan sebagainya. Begitu pentingnya peranan komunikasi non-verbal, maka sering kita dengar ungkapan seperti “actions speach louder than words” (perbuatan lebih banyak berbicara daripada ucapan ), atau “one picture is worth a thousand words” (sebuah gambar mengandung seribu kata-kata).

Referensi:
1. Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya.
2. http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
3. Jalaludin Rakhamat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya.
4. Joseph A. Devito, 2007, The Interpersonal Communication, 11th Edition, Pearson International Edition
5. Indah Kusumastuti, Yatri (2009). “Chapter 2: Komunikasi dalam Organisasi”. Komunikasi Bisnis (edisi ke-edisi ke-1). IPB Press.
6. Verderber, Rudolph F. (2005). “Chapter 4: Communicating through Nonverbal Behaviour”. Communicate! (edisi ke-edisi ke-11). Wadsworth.

Disusun dan Dipresentasikan Oleh: Hendra, Nindyta, Dita, Hasan, Galih, Yanyan,Lury Alex, Novalina,Andi Siagian dan M. Rosit (Universitas Indonesia)

KOMERSIALISASI TELEVISI DI ERA INDUSTRI CITRA


Oleh M. Rosit

Pendahuluan
Perkembangan media khususnya televisi swasta sejak tahun 1998 sangat mempengaruhi seluruh kalangan masyarakat dan infrastruktur yang ada di negara ini, mulai dari sosial budaya, politik, keamanan maupun ekonomi. Televisi mulai bermunculan dikarenakan sejak Era Reformasi, pers mulai diberikan kebebasan untuk berpendapat, dan sistem pers yang dianut oleh Indonesia pun mulai berubah, akibat dari perubahan iklim politik yang semakin memperoleh ruang kebebasan maka media massa khususnya televisi semakin mengembangkan diri sesuai dengan iklim kebebasan. Media massa pun menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan, khususnya televisi. Di sudut lain dari kebebasan media, televisi menjadi sangat terbuka menerima suntikan kapital dari pihak luar demi sebuah persaingan pasar.

Hal yang menarik dikaji dalam pembahasan televisi sekarang ini, adalah fenomena komersialisasi yang mengintegrasikan media ke dalam sistem kapitalisme. Secara umum televisi memiliki keterkaitan dengan industri pasar. Konsekuensinya media berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal serta sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, oleh karena itu media mengintegrasikan diri ke dalam aktivitas industri. (Albaran, 1996,5). Dari fenomena ini, semakin lama televisi menjadi lahan bisnis oleh kalangan tertentu. Hal itu nampak dengan munculnya beberapa televisi swasta yang ditopang melalui iklan komersil.

Konsekuensinya, televisi tidak hanya fokus sebagai media penyiaran, namun juga berkaitan dengan akumulasi modal, bisnis dan persaingan pasar. Program-program televisi yang disiarkan begitu mudah diintervensi oleh berbagai kepentingan kapitalis, yang tak lain adalah bermotif keuntungan belaka. Bagaimanapun juga, televisi juga memiliki kepentingan dengan pemilik modal untuk menopang eksistensi sebagai media penyiaran publik yang mesti menunjukkan eksistensi dan bersaing dengan media televisi lainnya. Nah, kapitalis pun juga merasa diuntungkan dengan hadirnya televisi yang efektif sebagai media bisnis.

Hubungan antara televisi dengan kapitalis merupakan sebuah relasi yang saling menguntungkan. Televisi sebagai media yang membutuhkan modal yang sangat besar, sementara kapitalis memandang televisi sebagai media bisnis yang efektif dalam mengiklankan produk-produknya. Sementara itu, berbagai program yang disiarkan televisi kepada publik sangat mempengaruhi bagi mereka yang menontonnya. Televisi bisa membentuk citra dan konsep publik bagaimana memandang suatu permasalahan sesuai dengan apa yang disajikan. Nah, dengan demikian, program-program televisi yang disiarkan tidak bisa dianggap remeh begitu saja, mengingat begitu besar dampaknya terhadap publik. Kalau televisi menginginkan kebebasan dalam melakukan tugasnya sebagai media penyiaran, maka harus melepaskan budaya ketergantungan terhadap iklan. mengingat media massa khususnya televisi berisikan informasi dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kemudian apakah iklan berbahaya ada di media massa dan bagaimana dengan peran pemerintah ?

Sekilas Perkembangan Televisi
Sedikit menengok masa perkembangan televisi di Indonesia, kehadiran televisi di negeri ini dimulai sejak 1962 tahun lalu, yaitu dengan lahirnya Televisi Republik Indonesia (TVRI), merupakan satu-satunya televisi yang dijadikan media dominasi oleh pemerintahan Orde Lama. Setelah digantikan dengan Orde Baru, TVRI masih menjadi satu-satunya media penyiaran yang menjadi instrumen politik pemerintah. Nah, pada Era 90-an mulai lahirlah sebuah televisi swasta yang pertama di negeri ini yaitu Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Semula RCTI adalah sebuah televisi berbayar di daerah tertentu, namun pada perkembangannya stasiun televisi swasta ini menggebrak dengan berbagai siaran yang cukup independen, dengan jangkaun di berbagai daerah pelosok negeri. Catatan penting untuk televisi ini adalah porsi hiburan menempati posisi pertama, porsi siaran berita (news) cukup kecil, tetapi menjadi sebuah alternatif dan cukup fenomenal di jagat negeri ini.

Setelah RCTI, kemudian lahir Surya Citra Televisi (SCTV), yang juga menyiarkan secara independen namun tidak beda jauh dengan RCTI. Disambung munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), sekarang menjadi MNC TV dan selanjutnya Indosiar pada tahun 1995. Setelah itu muncul lagi ANTEVE. Layak menjadi catatan khusus dalam hal ini adalah nyaris semua izin operasional dari beberapa televisi secara nasional adalah adanya keterkaitan pemilik stasiun televisi pada penguasa saat itu. Mereka bisa berasal dari anggota keluarga, kerabat, relasi politik maupun bisnis.

Kehadiran berbagai stasiun televisi swasta hingga akhir 1990an itu, mampu menaruh perhatian khalayak, terutama program dari siaran mereka bisa dijadikan sebuah alternatif. Tak lama kemudian lahir lagi beberapa stasiun televisi swasta, Metro TV, LATIVI (sekarang berubah menjadi TVone), TRANS TV, TRANS 7 dan Global TV. Kemunculan 5 stasiun yang disebutkan terakhir ini, juga tidak jauh berbeda dengan kelahiran stasiun televisi swasta yang sudah dulu muncul. Artinya lahirnya stasiun televisi ini secara langsung maupun tidak langsung juga terkait dengan kepentingan penguasa waktu itu. (Sunarto, 2009).

Siaran televisi tidak bisa diindexs, paling tidak sampai ada teknologi yang memungkinkannya. Itu berarti semakin panjang acaranya, semakin penonton harus menyaksikannya. Untuk mencegah kebosanan, siaran berita televisi umumnya tidak lebih dari satu jam. Televisi dapat menyiarkan berita seketika, juga bisa meliput suatu peristiwa seperti pelantikan presiden mendaratnya pesawat angkasa luar, ketika peristiwa ini sedang berlangsung dan ini tidak bisa dilakukan oleh Koran. Ada implikasi yang penting. Pertama, televisi bisa menciptakan kesan atau rasa kebersamaan. Kedua, dalam siaran langsung, penonton bisa terkecoh bahwa apa yang ditayangkan itulah kenyataan sebenarnya.( William L. Rivers dkk)

Kehadiran televisi swasta merupakan lahan yang menarik untuk dikaji, terutama kehadirannya mengandung nilai problematik. Televisi-televisi swasta hadir tidak bisa dilepaskan berkaitan dengan pemerintah. Namun demikian, ketika sudah masuk izin pendirian dan berbagai proses awalnya televisi swasta, dapat dilihat faktor siapa yang memiliki tersebut kaitannya dengan pemerintah. Apa dan bagaimana grand design mengenai kebijakan televisi swasta tersebut terutama dikaitkan dengan perubahan politik antara awal pendiriannya (Orde Baru) sampai kepada dinamika Orde Reformasi.

Kapitalisme Media Televisi
Kaum kapitalis memandang kebebasan adalah suatu kebutuhan bagi individu untuk menciptakan keserasian antara dirinya dan masyarakat. Sebab kebebasan itu adalah suatu kekuatan pendorong bagi produksi karena ia benar-benar menjadi hak manusia yang menggambarkan kehormatan kemanusiaan. Sebagaimana gagasan Adam Smith yang paling penting ialah tentang ketergantungan peningkatan perekonomian kemajuan dan kemakmuran kepada kebebasan ekonomi yang tercermin pada Kebebasan individu dalam memberikan seseorang bebas memilih pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya untuk mewujudkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan dirinya. Kebebasan berdagang dimana produktivitas peredaran produksi dan distribusinya berlangsung dalam iklim persaingan bebas.

Pengaruh dari pandangan ekonomi liberal menciptakan sebuah pasar yang dituntut bersaing dan kompetitif. Satu sisi memang pandangan itu merupakan sebuah langkah strategis menuju kehidupan yang dinamis, namun di sisi lain, kapitalis menciptakan sebuah dunia persaingan yang bermotif keuntungan tanpa melihat aspek sosial masyarakat. Misalnya persaingan iklan di media bisa menciptakan ketidakseimbangan antara kualitas informasi dengan nilai bisnis. Kebanyakan aspek sosial dikalahkan dengan aspek bisnis, serta tidak mengindahkan dampak sosial yang akan datang terutama bagi para pemirsa televisi.
Televisi dengan kapitalisme memang sulit dipisahkan, keduanya memiliki kepentingan yang nyaris tidak berbeda. Menurut Shoemaker (1991 :121), organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik modal, dan pasar dengan tujuan untuk memproduksi, mendistribusi dan membuka cara konsumsisme yang ditawarkan. Sebagai capitalist venture televisi beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Dalam pandangan Smythe, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audien bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis (Smythe 1997).

Dengan demikian, media khususnya televisi terjerat dalam tiga situasi: pertama, tingginya investasi yang harus disiapkan dan yang mengakibatkan desakan untuk menjamin return of investment sesuai dengan rencana bisnis awal. Kedua, kecenderungan meningkatnya biaya overhead dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti suku bunga, peningkatan biaya produksi terutama peralatan, peningkatan biaya untuk pengisi acara dan biaya penyewaan fasilitas produksi seperti lighting, audio, set décor, dan post production facilities. Ketiga, desakan teknologi yang menuntut dipenuhinya teknologi baru secara terus menerus untuk memungkinkan kualitas dan kreatifitas produksi agar tetap kompetitif terhadap produk dalam maupun luar negeri. Akumulasi dari ketiga permasalahan tersebut menyebabkan kompetisi ketat yang pada gilirannya menimbulkan benturan antara idealis masyarakat dan media yang bersangkutan (Ishadi S.K, 2010: 128)

Modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan, bahkan bisa jadi kontra-produktif bagi kapitalis. Di antara kelemahan itu antara lain : pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko usaha. Sebagian besar pasar yang ada, cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, di mana beberapa industri media justru menciptakan serangkaian hambatan yang menutup peluang bagi pendatang baru. Pada sisi penekan harga produksi dan keuntungan kekuatan oligopolistik yang ada justru mengarah ke pembentukan monopoli yang sangat jauh dari mitos “pasar yang penuh dengan persaingan”. Kedua, industri media lebih berorientasi pada pemenuhan keinginan market sesuai dengan kriteria apa yang paling menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal. Oleh karena itu, pasar tidak akan mengatasi konsekuensi-konsekuensi setiap paket yang diproduksi. Memang tidak dapat diabaikan banyak produk media yang positif, namun banyak pula produk media yang bersifat dangkal dan tidak sesuai dengan konteks budaya. Dengan menggunakan proposisi yang demikian, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kapitalisme, jurnalis dan produk media lebih merupakan ‘alat produksi’. Hidayat dalam tulisannya menegaskan, bahwa memang teks isi media beserta tindakan jurnalis dalam memproduksi media tak terlepas dari konteks proses-proses sosial memproduksi dan mengkonsumsi media, baik pada jenjang organisasi, industri dan masyarakat (Hidayat, 2000 : 431)

Rating Televisi dan Dampaknya
Mekanisme pemilihan tayangan oleh pengelola stasiun televisi nyaris semuanya didasarkan pada rating televisi. Padahal tingginya rating program televisi tidak menjamin diikuti dengan kualitas program bagi masyarakat. Malah stasiun televisi kebanyakan tidak peduli dengan kualitas program yang ditayangkan, yang terpenting bagi mereka adalah program-program televisi yang ditayangkan ditonton oleh mayoritas masyarakat serta menempati rating teratas.
Dengan sistem rating, program-program unggulan (ini juga terkait dengan kualitas, melainkan kuantitas nilai jumlah pemirsa) akan menjadi rebutan para pemasang iklan. Kesalahannya lebih karena angka rating dipakai sebagai pedoman dan rujukan, bukan kontek program itu sendiri. kesalahan fatal ini mengingkari prosedur rating karena angkanya diperoleh setelah sebuah program ditayangkan, dan bukan sebaliknya. Sementara, tidak selalu formulasi dan komposisi sebuah acara yang sama persis bisa mendapatkan angka rating yang sama persis pula. Baru setelah semuanya pasti, yakni setelah angka capaian rating didapatkan,. Pemasang iklan baru akan datang. (Sunardian Wirodono, 2006: 94).

Ada beberapa dampak negatif dari diberlakukannya rating sebagai “berhala” oleh insan dalam industri televisi. Dampak pertama adalah seragamnya jenis tayangan dan pola siaran. Jadi, bila reality show sedang naik daun, semua stasiun televisi akan berlomba program sejenis, dan bila perlu jam tayangnya sama persis; sehingga menghasilkan pola acara yang mirip. Pola seragam acara itu membuat masyarakat yang tidak punya para bola atau TV kabel tidak punya pilihan lain. Dampak kedua adalah isi siaran yang bersifat “Jakartacentris” yaitu situasi yang membuat Indonesia seakan hendak dikerdilkan hanya menjadi Jakarta. Banyak remaja merasa ketinggalan zaman jika dirinya tidak menggunakan slogan-slogan yang sering disebut remaja Jakarta. Hal itu mengakibatkan keragaman budaya bisa menjadi raib. Dampak ketiga adalah kurang diutamakannya unsur edukatif (tanpa menggurui atau menceremahi) bagi perkembangan anak dan remaja. Kerapkali tayangan yang dianggap mendidik justru sebaliknya. Dalam tayangan misteri dan hantu misalnya, tampilan ulama seringkali hanya dimaksudkan sebagai tempelan, sekedar pembenaran apa yang ditayangkan sebelumnya. Sangat sulit menentukan apakah kelompok tayangan tersebut meningkatkan iman dan takwa kepada sang Khalik atau sebaliknya menaikan pamor kaum paranormal sebagai dewa penyelamat kita terhadap gangguan makhluk ghaib. Dampak keempat adalah tidak terlindunginya khususnya bagi anak dan remaja dari tayangan yang memuat kekerasan verbal dan visual. Kekerasan verbal yang dimaksud adalah segala macam makian, sumpah serapah dan kalimat lain yang tidak mendidik. Dalam sinetron dan telenovela yang bermotif balas dendam dan atau perselingkuhan. Kita dapat mendengar banyak kata, frasa dan kalimat yang sesungguhnya tidak sesuai dikonsumsi oleh anak dan remaja. (Heru Effendy,2008: 13-14).

Tingginya rating suatu program belum tentu diikuti dengan kualitas program tersebut. Jika dikatakan unggulan atau kualitas, adalah dalam kontek pendapatan iklan belaka. Oleh karena itu, semua tidak bisa dibenarkan, ketika lembaga rating menjadi faktor yang menentukan apakah program tersebut berkualitas atau malah hanya kuantitas. Bahkan program-program yang menempati rating tinggi rentan berbau sensual yang sesungguhnya tidak layak ditayangkan.

Urgensi Regulasi Penyiaran
Untuk membatasi komersialisasi televisi yang semakin membabi buta yang merugikan khalayak luas, maka media penyiaran mesti ada regulasi agar tidak kebablasan. Hal ini dipahami sebagai sebuah batasan etika dan moral agar dampaknya masih bisa dikendalikan. Mengingat perkembangan media penyiaran yang begitu pesat, media malah bisa membahayakan kepada khalayak, seandainya tidak bisa memilah-milah program yang sesuai, khususnya untuk remaja dan anak-anak.

Setidaknya ada tiga hal mengapa regulasi penyiaran dipandang urgent. Pertama, dalam iklim demokrasi kekinian, salah satu urgensi yang mendasari penyusunan regulasi penyiaran adalah hak asasi manusia tentang kebebasan berbicara (freedom of speech), yang menjamin kebebasan sesorang untuk memperoleh dan menyebarkan pendapatnya tanpa adanya intervensi, bahkan dari pemerintah. Kedua, demokrasi menghendaki adanya sesuatu yang menjamin keberagaman (diversity) politik dan kebudayaan, dengan menjamin kebebasan aliran ide dan posisi dari kelompok minoritas. Hal ini adalah adanya hak privasi (right to privacy) seseorang untuk tidak menerima informasi tertentu. Ketiga, terdapat alasan ekonomi mengapa regulasi media diperlukan. Tanpa regulasi akan terjadi konsentrasi, bahkan monopoli media. sinkronisasi diperlukan bagi penyusunan regulasi media agar tidak berbenturan dengan berbagai kesepakatan internasional. (M. Mufid, 2005: 67-68)

Adanya regulasi memiliki peran dan pengaruh yang besar khususnya terhadap komersialisasi televisi khususnya. Namun regulasi yang telah disepakati kadang tidak serta merta ditaati oleh stasiun televisi dalam menyiarkan programnya;. Misalnya acara “Empat mata” yang disiarkan di salah satu televisi swasta diprotes dan terkena pasal regulasi, karena sudah diluar batas dan etika, namun acara tersebut berubah nama manjadi “bukan empat mata” dengan maksud bisa melanjutkan program acaranya itu. Beberapa program televisi terkena regulasi namun mereka dengan berbagai cara berusaha menghidupkan program acara itu, tentu saja agar bisa disiarkan kembali. Hal itu terjadi karena program tersebut memperoleh rating tinggi dari pemirsa televisi.

Penutup
Perkembangan televisi yang semakin pesat di Era industri citra tanpa diikuti dengan regulasi yang mengaturnya, bisa jadi akan membahayakan khalayak luas. Apalagi pedoman dari program-program televisi tidak berkiblat terhadap peningkatan kualitas informasi, akan tetapi nyaris seluruh stasiun televisi memandang “tingkat rating” yang akan menentukan program-program yang akan disiarkan. Hal itu yang mendorong kapitalis memasukkan iklan-iklan komersilnya dalam program yang memperoleh rating tinggi dari pemirsa..Fungsi dari media penyiaran sebagai “sang pencerah” pun mesti dikritisi dan terus diamati gerak-geriknya agar tidak jauh keluar dari batasan etika yang telah disepakati bersama.

Dampak negatif dari media penyiaran khususnya televisi pun sudah banyak ditemukan faktanya. Pihak yang paling memiliki peran yang dominan adalah pemerintah. Semestinya pemerintah mampu melakukan social control terhadap media yang mencoba melewati batas etika ketimuran. Karena lemahnya kontrol akan mengakibatkan dampak yang fatal terhadap generasi mendatang khususnya. Mengingat media massa sudah dilingkari oleh berbagai macam kepentingan. Dari berbagai macam kepentingan-kepentingan itu tidak selalu berpihak kepada masyarakat luas, bahkan mereka lebih menitik beratkan keuntungan bisnis belaka tanpa harus memandang aspek yang jauh lebih penting terhadap masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Albarran, Alan B. Media Economic : Understanding Markets, Industries and Concept, USA : State University Press, 1996.

Effendy Amir dkk, Potret Manajemen Media di Indonesia, Yogyakarta,Total Media, 2010

Heru Effendy, Industri Pertelevisian Indonesia, Jakarta, Erlangga, 2008.

Hidayat, Dedy. N., Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya sebuah Hegemoni, Jakarta : PT. Gramedia, 2000.

Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese, Mediating the Message : Theories of Influence on Mass Media Content, New York : Longman Publishing Group, 1991.

Smythe, Dallas, (1997), Communication: blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Vol. I No.3.

Wirowidono, Sunardian, Matikan TV-Mu, Teror Media Televisi di Indonesia, Yogyakarta, Resist Book, 2006.