Anggota Dewan Juga Manusia


Selama ini kita selalu menempatkan anggota dewan sedemikian tingginya. Terhormat, intelektual, dan berwibawa seolah melekat pada diri mereka. Mengganggap terhormat pun tak menjadi sebuah kesalahan, kenyataannya mereka adalah manusia-manusia terpilih dari 200 juta lebih penduduk di negeri ini dan rakyat menyerahkan nasib bangsa ke depan kepada mereka untuk mewakilinya. Sebaliknya, menganggap mereka kekanak-kanakanpun juga tidak mejadi sebuah kesalahan pula, Kenyataannya mereka acapkali gedung DPR/MPR diganti menjadi arena ring adu tinju sesama anggotnya.

Atau semestinya ada waktu untuk bersikap dewasa, serta ada waktu pula untuk bersikap ke kanak-kanakan oleh anggota dewan yang katanya terhormat.

Keributan, kericuhan dan kegaduhan pun lazim dipandang dari sudut manusiawi. Mengingat, lupa, marah, panik bahkan anarkis sepertinya sudah melekat terhadap manusia termasuk para anggota dewan yang katanya terhormat, dan serta kearifan, kredibilitas dan integritas pun juga sangat lazim dan seharusnya memang bersikap demikian, kalau dipandang dari sudut anggota dewan terpilih yang mewakili 200 juta lebih aspirasi rakyat.

Anggota dewan juga manusia seperti yang lainnya, atau malah tak mempunyai keistimewaan khusus darinya. Dan hal itu sudah terbukti jauh sebelumnya. Peristiwa memalukan yang kata rakyat tak mestinya dilakukan oleh seorang anggota dewan di dalam sidang-sidang terhormat yang tengah membahas soal rakyat pun bisa saja terjadi, malah sering dilakukan belakangan ini. Akan tetapi peristiwa tingkah polah memalukan pun tak hanya terjadi di negeri ini, namun juga di negara-negara yang lebih maju seperti Jepang, Korea dan Mesir pun pernah juga mengalaminya. Jadi suatu hal yang biasa atau malah sudah menjadi tradisi. Apalagi terpilihnya mereka sebagai anggota dewan merupakan sebuah jabatan politis. Tak heran juga setiap interupsi yang keluar dari mulutnya pun berbau politik.

Dari semua itu, ada beberapa alasan yang paling vital yang harus dipertahankan dalam kontek sebagai manusia Indonesia. Pertama menjunjung budaya ketimuran, maka moralitas, mentalitas, sopan-santun menjadi sebuah sikap yang mesti dijunjung setinggi-tingginya oleh siapapun. Kedua, menyambung lidah rakyat, dari alasan ini pula di mana anggota dewan mestinya mengedepankan etika dan kredibilitas untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketiga, sebagai agen perubahan, alasan ini pula yang mestinya tak hanya menampung aspirasi rakyat tapi juga mengimplementasikan menjadi sebuah realitas yang membanggakan bagi bangsa dan negara.

Perlu ditekankan bahwa memimpin anggota dewan yang berjumlah 500an─berasal dari beberapa fraksi yang mempunyai kepentingan masing-masing merupakan tidak sebuah kerjaan yang mudah dan sederhana. Harus dibutuhkan sikap demokratis dan berjiwa besar dalam menampung seluruh aspirasi secara adil dan merata. Terlepas dari berbagai hujatan otoriter, tak komunikatif dan bertendensi merupakan suatu hal yang harus diterima dengan lapang dada. Sederhananya memimpin sepuluh orang pintar jauh lebih repot dibandingkan memimpin seribu rakyat biasa.

Akan tetapi, rakyat pun kini begitu mudah lidahnya menuduh negara/pemerintah sebagai koruptor. Bahkan mereka melakukan aksi demonstrasi jauh dari nilai-nilai yang justru mereka tuntut kepada pemerintah. Ibaratnya mereka memberikan petuah-petuah bijak dengan nada membentak seperti orang tengah marah. Tentu hasilnya tidak sesuai yang dikehendaki bersama. Yang lebih membingungkan lagi, semuanya atas nama rakyat. Di dalam sidang paripurna pun menjadi ajang pertunjukan yang lebih memperlihatkan sebuah tontonan, bukan tuntunan. Semua berteriak histeris atas nama rakyat khususnya korban Bank Century. Pada akhirnya, terjadilah sebuah kericuhan berjamaah, yang menurut rakyat, hal itu tak pantas dilakukan oleh seorang anggota dewan yang katanya terhormat. Lantas siapa yang benar dan salah?

Oleh karena itu, kericuhan yang terjadi pada Sidang Paripurna yang tengah membahas hasil Sidang Pansus Angket Century tak dijadikan suatu hal yang penting serta tak perlu terlalu diekpos, toh juga peristiwa seperti itu sudah terjadi sebelumnya bahkan sudah dijadikan tradisi. Apalagi bagi angota dewan kali ini 60% baru, mestinya menjadi guru pengalaman yang amat berguna. Karena alasan-alasan seperti menjunjung budaya ketimuran, menyambung lidah rakyat dan sebagai agen perubahan yang menjadikan anggota dewan kita yang terhormat harus bangkit dari sifat-sifat kekanakan.