Membaca Bahasa Politik Anas


Oleh : M. Rosit

Setelah mangkir dua kali, akhirnya Anas mendatangi KPK tanpa didampingi oleh pengacaranya. Kedatangan Anas ini membuktikan bahwa Anas seorang orang politikus yang gentelman dan kooperatif terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena sebelumnya diberitakan oleh berbagai media bahwa Anas menantang KPK.

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini membuktikan kelihaiannya dalam berpolitik. Dalam kondisi tersudut-pun, seorang Anas masih bisa mengontrol  diri, bersikap tenang seperti orang yang tidak dalam kondisi krisis.

Bila kita bandingkan dengan ketiga politisi yang sebelumnya ditangkap KPK, Angelina Sondak, Andi Malarangeng dan Ratu Atut Chosiyah, Anas menunjukkan kelebihannya sebagai seorang politisi yang piawai, hal ini diuktikan oleh berbagai terpaan politik dan rekam jejaknya sebagai seorang politisi secara berjenjang, baik pada saat menjadi aktivis mahasiswa, ketua PB HMI maupun saat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Fondasi bangunan politik Anas begitu kuat dan tahan terhadap terjangan badai politik yang hebat.

Gaya Komunikasi

Anas menjadi tersangka selama satu tahun. Sebenarnya yang menarik bukan seberapa lama ia jadi tersangka, namun ciutan politik Anas menarik diamati. Dimulai dari mundurnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Anas mengatakan pengunduran dirinya itu merupakan awal lembaran pertama, dan masih banyak halaman berikutnya yang akan dibaca untuk kebaikan bersama.

Kemudian ketika mendatangi KPK, Anas melontarkan pernyataan yang barangkali tidak pernah diprediksi publik, yaitu ucapan terima kasih kepada berbagai pihak, termasuk kepada ketua KPK Abraham Samad dan SBY yang dianggapnya sebagai kado Tahun Baru 2014. Ucapan-ucapan terima kasih ini adalah gaya komunikasi politik mesti ditafsirkan secara utuh. 

Ada dua gaya komunikasi yang seringkali digunakan oleh seorang politisi. Pertama, menggunakan gaya komunikasi high contex culture, gaya bahasa yang tersirat, tidak basa-basi, tidak sebenarnya dan mengandung multi tafsir. Gaya komunikasi ini juga seringkali digunakan para politisi Jawa dalam kondisi-kondisi tertentu. Anas menggunakan gaya komunikasi yang mengundang penafsiran oleh berbagai pihak. Gaya ini merupakan sesuai dengan struktur bahasa jawa yang lebih dominan mengandung makna tersirat dibandingkan makna tersurat.

Kedua, mengunakan gaya komunikasi low contex culture, yaitu kebalikan dari gaya komunikasi sebelumnya, gaya ini lebih memprioritaskan goal (tujuan), tidak suka basa-basi dan langsung pada pokok persoalan. Gaya ini sering dipraktikkan oleh Ruhut Sitompul ketika dalam kondisi tertentu, politisi PD ini tidak segan-segan menunjuk dan melontarkan pernyataan secara langsung kepada rival politiknya.

 

Makna Bahasa Anas

Dari beberapa pernyataan Anas mengundang berbagai kalangan merasa tertarik mengomentari pernyataan-pernyataannya yang dianggap piawai dalam menyusun retorika politik. Anas masih memiliki kesempatan untuk melemparkan bahasa politiknya karena masih dalam ranah politik, berbeda ketika sudah masuk domain hukum maka yang ada hanya legal/formal dan hitam putih.

Anas sebenarnya ingin mengundang simpati publik terhadap kasus yang sedang menimpanya. Paling tidak, Anas ingin mengungkapkan bahwa kasus ini sebenarnya sangat bernuansa politis, khususnya ditujukan kepada ketua KPK, Abraham Samad yang dianggapnya sudah diintervensi oleh Ketua Umum PD, Susilo Bambang Yudoyono. Jelas sekali bahwa ucapan terimakasih tidak bisa ditafsirkan secara literal saja, namun harus ditafsirkan secara kontekstual sesuai dengan kondisi dan situasi peristiwa-peristiwa sebelumnya.

Domain politik “abu-abu” ini dimanfaatkan oleh Anas untuk mengkonstruksi opini publik. Bahasa politik didisain untuk menarik perhatian publik supaya melakukan dukungan terhadap ketidakadilan yang tengah dialaminya. Anas mengidentikkan dirinya sebagai orang yang dizolimi oleh otoritas kekuasaan, oleh karena itu ia menggunakan “ teknik propaganda card stacking” yang menimbulkan efek domino. Bagi loyalis Anas maupun publik tertentu bisa terberpengaruh. Karena penangkapan terhadap Anas adalah bentuk ketidakadilan.

Oleh karena itu, KPK ditantang untuk membuktikan bahwa Anas terbukti melakukan tindakan-tindakan sesuai yang disangkakannya. Secara otomatis, retotika dan bahasa politik Anas akan terdelegitimasi  di saat domain hukum mengambil otoritas. Jika itu yang terjadi, Anas diharapkan bisa melanjutkan membuka lembaran-lembaran berikutnya. Kita berharap tidak hanya sekedar narasi politik yang mengembang dalam pengungkapan siapa saja dibalik skandal korupsi Hambalang ini, namun substansi hukum lebih mengambil peran untuk menentukan kebenaran di tengah narasi politik yang sangat kompleks.

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik Univ Al Azhar Indonesia

Mengusung Capres Independen 2014, Mungkinkah? (liputan6.com, 21 Nov 2013)


Oleh: M. Rosit

Dosen Komunikasi Politik Univ Al Azhar Indonesia

Di era Reformasi, demokrasi elektoral kita sudah memberikan ruang kepada calon perseorangan dalam pilkada, baik itu pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun sampai saat ini capres independen belum terakomodir untuk mengikuti perhelatan Pemilu Presiden 2014, Mahkamah Konstitusi masih berpegang teguh pada UU 1945 Pasal 6 A ayat (2), bahwa pasangan capres atau cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Padahal, dibukanya kran bagi capres independen berpotensi memunculkan capres-capres yang memiliki potensial, kridibilitas, kapasitas dan leadership yang tak kalah saing dengan capres dari parpol. Selain itu, hadirnya capres independen akan menjadi oase demokrasi di tengah kian menguatnya oligarki politik dan budaya politik transaksional yang kian merajalela.

 

Dasar Capres Independen

Merujuk pada UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yakni setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga bisa dipahami, setiap WNI memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden, asalkan memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, tidak disahkannya capres independen berarti masih tersumbatnya kran hak-hak politik warga untuk memilih atau dipilih dalam pemilu. Dan itu berarti sumbatan regenerasi kepemimpinan nasional bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Diskursus capres pada Pilpres 2014 masih didominasi wajah-wajah lama. Dari sekian capres yang dijagokan didominasi oleh capres lama. Padahal, hampir capres-capres tersebut sudah pernah bertarung pada Pilpres 2009. Mengapa sampai sekarang tiada capres yang berani tampil dari jalur perseorangan?

Pada Pemilu 2009 lalu, dari beberapa nama capres independen pertama kali muncul nama Rizal Malarangeng yang secara terbuka menjagokan diri menjadi capres dengan mengiklankan di beberapa media massa. Dengan modal kapital, intelektual, politik dan popularitas yang dimilikinya, tak berlebihan jika Rizal memilih jalur independen.

Tokoh muda lain yang gencar menjagokan diri menjadi presiden dan mendukung upaya-upaya agar capres independen mendapatkan legitimasi politik adalah Fadjroel Rahman. Fadjroel dikenal sebagai intelektual politik dan tokoh LSM terkemuka. Meskipun belum disahkannya capres Independen oleh Mahkamah Konstitusi, Fadjroel tetap konsisten maju dan terus mewacanakan untuk judicial review aturan hukum syarat pencapresan dalam UU Pemilu yang tidak mengakomodasi munculnya capres independen.

Kemudian, bagaimana dengan capres independen di Amerika? Apakah di negara tersebut capres independen lebih diminati dibanding capres dari parpol? Pada Pemilu Amerika tahun 2008, kandidat presiden Barrack Obama dan kandidat presiden Partai Republik John McCain, jauh lebih diminati dibanding calon-calon independen yang beredar sebelum fase pemilu nasional. Misalnya nama Ralp Neder yang berpasangan dengan Matt Gonzalez sebagai capres independen, ternyata tidak menarik minat warga AS. Di Pemilu AS tahun 2000 dan 2004 kita juga mengenal nama capres independen dari Ohio bernama Joe Schriner yang berpasangan dengan Dale Way dari Michigan.

Para capres independen tersebut, tak laku jual karena warga Amerika cenderung lebih mempercayai kandidat yang berasal dari parpol. Satu mekanisme yang membuat kandidat parpol itu menarik minat pemilih adalah mekanisme konvensi. Bagaimana Obama harus bersusah payah mengalahkan Hillary Clinton guna merebut minimal 2.025 dari 2.049 delegasi pada pemilu nasional. Ini merupakan contoh bagi kita, jika partai menjalankan fungsinya dengan baik, maka sesungguhnya parpol tak perlu khawatir untuk bersaing dengan capres independen (Heryanto, 2011). Pada akhirnya, karena tak diminati warga Amerika Serikat, pada Pemilu AS 2012 lalu nampaknya tiada muncul capres Independen sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya.

Capres Independen dan Tantangan Parpol

Diskursus capres independen seharusnya menjadi agenda penting untuk selalu diwacanakan ke ranah publik. Hadirnya calon independen di Pilkada dan wacana capres independen di Pilpres 2014 menjadi sinyal bahwa negeri ini krisis pemimpin yang berkualitas. Hal ini terjadi karena partai politik tidak menjalankan rekrutmen politik atau kaderisasi secara berjenjang. Pada akhirnya, ketika menjelang pemilu maupun pilkada, wajah-wajah lama masih menghiasi dan mendominasi kontestasi pemilu. Sehingga tingkat partisipasi warga negara pun cenderung kian menurun, seiring tingkat apatisme publik terhadap calon dari parpol. Ada beberapa hal yang gagal dilakukan partai politik sebagai mesin pencetak generasi kepemimpinan ke depan, yaitu:

Pertama, meminimalisir kekuatan rujukan (referent power). Tak disangkal bahwa setiap partai butuh figur atau tokoh simpul. Namun ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang budaya feodal dan sistem dinasti politik.

Kedua, partai modern dibangun melalui kemampuan anggotanya untuk melakukan proses refleksivitas. Partai memfasilitasi anggota-anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan dan membuat perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal tertentu tidak akan berjalan. Refleksifitas adalah kemampuan untuk menetukan alasan-alasan pilihan perilakunya. Dengan demikian, partai modern adalah partai yang progresif dalam beradaptasi dalam situasi dinamis.

Ketiga, partai modern dibangun melalui tahapan kaderisasi. Ketiga tahapan tersebut, berjalan secara integratif yakni merekrut orang untuk bergabung dengan wadah partai, lantas membina kader menjadi loyalis serta mendistribusikan kader ke dalam posisi jabatan-jabatan strategis. Namun perkembangan dinamis-pragmatis kerap menciderai tahapan kaderisasi ini. Partai kerap menjadi pintu masuk bagi munculnya politisi-politisi non-kader yang mengatasnamakan partai dalam perebutan jabatan publik tertentu.

Keempat, partai modern harus mau dan mampu menjalankan fungsi-fungsi partai. Di antara fungsi-fungsi itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol. Bagaimanapun partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik.

Merujuk pada realitas tersebut, pada akhirnya stigma yang terbangun adalah parpol sebagai lembaga yang koruptif dan tidak lagi mampu menjadi ladang persemaian calon pemimpin. Parpol bukan menjadi wahana penyampai ideologi atau saluran politik namun lebih sebagai mesin pengeruk anggaran. Stigma ini tentu saja sangat tidak menguntungkan bagi partai politik dan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu, capres independen merupakan sebuah keniscayaan untuk terus diwacanakan menjelang Pilpres 2014. Berbagai pihak seperti kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) dan media massa semestinya menggerakkan dan memfasilitasi diskursus capres independen pada Pilpres 2014, demi regenerasi kepemimpinan dan masa depan demokrasi di Indonesia

MEMBACA KONVENSI CAPRES PARTAI DEMOKRAT (Tangsel Pos, Kamis, 29 Agustus 2013)


Oleh: M. Rosit

Dosen Komunikasi Politik Univ Al Azhar Indonesia dan Peneliti The Political Literacy Institute

Partai Demokrat menggunakan mekanisme konvensi untuk menyeleksi capres yang akan diusungnya pada Pemilu 2014. Mekanisme konvensi untuk memilih capres dari partai politik memang tidak begitu akrab dalam kontek budaya politik di Indonesia. Konvensi capres PD diselenggarakan karena SBY tidak bisa mencapreskan atau dicapreskan dirinya kembali pada Pemilu Presiden 2014.

Dalam sejarah politik di Indonesia, Partai Golkar pada Pemilu 2004 telah menggunakan mekanisme konvensi untuk menyeleksi capres yang diusungnya (saat itu yang terpilih adalah Wiranto).  Setelah itu pada Pemilu 2009 dan 2014 partai yang berlambang beringin itu tidak pernah menyelenggarakan konvensi kembali. Oleh karena itu, konvensi capres PD selayaknya kita apresiasi dan yang nantinya akan menghasilkan sosok capres yang memiliki integritas dan kapasitas yang layak diusung pada Pemilu 2014. Meskipun Partai Demokrat dalam menyelenggarakan konvensi belum bisa dimaknai dalam konteks budaya politik tapi setidaknya konvensi menjadi jawaban dari krisis rekrutmen politik dan menurunnya citra partai.

Konvensi tersebut juga bentuk kesadaran realitas politik yang harus diselenggarakan karena kader internal PD mengalami defisit kepemimpinan menjalang Pemilu 2014. Tahapan rekrutmen politik yang terdiri dari menyelenggarakan kaderisasi, membina para loyalis partai dan kemudian mendistribusikan kader/ loyalis ke dalam posisi strategis sudah bisa dikatakan gagal. Bahkan beberapa kader mudanya terjebak dalam skandal korupsi yang cukup menguras energi internal partai dan menyumbang citra negatif, selain itu juga di PD tak ada satupun kader yang memiliki integritas dan kapasitas seperti sosok SBY. Oleh karena itu, konvensi capres PD menjadi alternatif terbaik di tengah badai politik yang menderanya. Hal ini juga yang menjadi alasan kenapa konvensi tidak hanya untuk kalangan internal partai tapi juga kalangan luar partai pun bisa mengikutinya, bahkan beberapa tokoh memperoleh undangan untuk mengikuti konvensi PD.

Oleh sebab itu, dalam Pemilu legislatif 2014, SBY tidak bisa terlalu bermimpi partainya mengulang kesuksesan pada Pemilu 2009 (perolehan suaranya 20,85%). Rupanya SBY sadar diri bahwa partainya benar-benar terpuruk sehingga ia hanya menargetkan perolehan suara 15 persen. Reputasi yang telah dibangun selama pemerintahan SBY dan Boediono pun tidak cukup menaikan keterpercayaan dari masyarakat Indonesia. Karena bagaimanapun pencapaian kinerja pemerintahan SBY dan Boediono juga berkorelasi terhadap elektabilitas PD  sebagai the rulling party.

Konvensi dan Reality Show

Konvensi capres PD ini sepertinya mirip dengan ajang reality show yang sedang menjadi trending program di media televisi akhir-akhir ini. Reality show adalah ajang pencarian bakat yang menyeleksi berbagai kontestan untuk menunjukkan sesuatu yang unik di depan publik. Misalnya program reality show seperti Indonesian Idol atau X Faktor yang tengah mendapatkan ruang di hati masyarkat Indonesia. Program reality show tersebut banyak sekali diidolakan oleh masyarakat Indonesia dari berbagai macam latar belakang umur dan profesi. Sehingga program ini bisa menarik perhatian masyarakat untuk selalu mengikuti acara tersebut sampai siapa pemenang dari program reality show itu. Boleh dikatakan bahwa model konvensi capres PD meniru strategi ajang pencarian bakat (reality show)

Konvensi capres PD terbuka diikuti oleh sosok yang memang bisa memenuhi persyaratan. Yang terpenting adalah mereka bisa menunjukkan minat dan bakat menjadi capres PD dengan mekanisme yang telah ditentukan oleh tim konvensi. Dari beberapa kontestan nanti akan diseleksi satu per satu sebagaimana program Indonesian Idol atau X Faktor. Beberapa tokoh yang telah mendaftarkan konvensi capres PD yaitu Marzuki Ali, Ahmad Mubarok, Pramono Edi, Julian Andrian Pasha, Endriarto Sutarto, Gita Wiryawan, Irman Gusman, Dahlan Iskan dan Mahfud MD. Dari nama-nama tersebut merupakan representasi dari berbagai macam profesi yang memiliki dinamika politik yang menarik untuk diperhatikan publik. Berbagai media menjelang Pemilu 2014 akan selalu dihiasi oleh nama-nama kontestan konvensi capres, sehingga semakain lama media menerpa para kontestan maka mereka semakin memperoleh perhatian dari publik.

Jika reality show di televisi ingin menarik perhatian masyarakat untuk menontonnya, dengan tujuan peningkatan rating pada program tersebut sehingga pada akhirnya akan mengkapitalisasi menjadi akumulasi keuntungan. Sementara konvensi capres PD menciptakan opini publik menjalang Pemilu 2014, agar memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat Indonesia. Jadi program reality show dan konvensi capres PD memiliki kemiripan, yang jelas bukan memprioritaskan pada hasil tetapi menitikberatkan pada tujuan untuk menyumbang citra.

Target Konvensi

Dalam konvensi capres PD tentu memiliki target yang telah direncanakannya, sehingga menyelenggarakan konvensi akan menghasilkan dampaknya di tengah situasi politik yang kian panas. Target menjadi prioritas utama yang telah direncanakan jauh-jauh hari oleh tim konvensi.  Ada beberapa fenomena yang perlu dicermati dalam konvensi capres PD ini. Pertama, SBY mengharapkan PD memperoleh keterpercayaan dari masyarakat kembali pasca partainya kian menurun citranya. Kedua, dalam konvensi ini sebenarnya SBY tidak terlalu besar harapan bahwa capres yang terpilih nantinya akan memenangkan Pilpres 2014, setidaknya reputasi partai yang selama ini dibangun akan kembali lagi menjadi sesuatu yang lebih diprioritaskan. Ketiga, SBY dan PD ingin menunjukkan komitmen kepada publik bahwa mereka benar-benar all out melakukan perubahan internal yang lebih baik. keempat, konvensi ini akan menciptakan impresi di benak publik bahwa PD adalah partai yang terbuka dan tidak lagi menyandarkan kembali kepada sosok SBY.

Sementara independensi konvensi capres PD tergantung dari mekanisme konvensinya. Sejauh ini tim panitia konvensi terdiri dari internal partai maupun tim dari luar PD. Hal ini menjadi jaminan independensinya bahwa konvensi dilakukan secara transparan dan terbuka, kecuali SBY menunjukkan secara terang-terangan keberpihakannya kepada salah satu kontestan konvensi capres PD. Pada mulanya, misalnya, SBY mengajak secara personal mantan Panglima Jenderal Pramono Edie mengikuti konvensi capres PD, yang sebelumnya banyak kalangan mencurigai bahwa SBY memiliki keberpihakan pada salah satu kontenstan. Tapi alasan itu bisa dibantah melalui mekanismenya dengan cara mengundang tim independen dari luar partai politik yang bertujuan untuk mengedepankan aspek transparan dan terbuka. Jadi Intervensi SBY dalam konvensi malah akan menjadi boomerang bagi citra PD.

Semoga konvensi ini menjadi ajang pencarian minat dan bakat yang memang serius untuk menyeleksi kepemimpinan baru. Untuk mencari seorang pemimpin baru memang dibutuhkan cara-cara extraordinary sehingga mekanisme tersebut mampu mencari sosok pemimpin yang sesuai harapan. Konvensi ini juga menjadi literasi politik masyarakat untuk memahami pemilu dan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, kita menunggu hasil konvensi capres PD apakah bisa menaikan citranya atau hanya sekedar reality show yang menciptakan gelembung-gelembung politik yang tiada bermakna.

CALEG ARTIS DAN PEMILIH PEMULA (Tangsel Pos, Selasa 7 Mei 2013


Oleh M. Rosit

Dosen Komunikasi Politik Univ Al Azhar Indonesia dan Peneliti The Political Literacy Institute

 

Pemilih Pemula merupakan golongan yang ikut menentukan dalam perhelatan pemilihan umum. Mereka menjadi basis suara yang sangat potensial bagi para caleg artis.

            Saat ini, artis menjadi sorotan dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Selebriti beramai-ramai mencalonkan atau dicalonkan partai politik menjadi wakil rakyat. Mereka dianggap mampu sebagai pendulang suara (vote getter) yang cukup signifikan di setiap pemilu. Karena faktor popularitas dan publisitas itulah, media melakukan perangkingan terhadap caleg yang berasal dari selebriti.

            Eksistensi artis di panggung kekuasaan politik sangat berhubungan dengan dunia informasi yang dialami di suatu negara. Termasuk sistem politik yang memberikan peluang besar pada partisipasi politik warga untuk memilih dan dipilih dalam setiap pemilihan umum. Bagi negara-negara yang sistem demokrasinya sudah berjalan, hal ini sudah tentu merupakan hal biasa. Di negara yang mengaku paling domokratis seperti di Amerika Serikat sekalipun. Politisi selebritis sudah menghiasi panggung politik Amerika. Misalnya Artis Ronald Reagen pernah mengukir sejarah sebagai presiden Amerika Serikat, kemudian disusul oleh Arnold Schwarzeneger sebagai Gubernur California.

            Di Indonesia, beberapa artis dianggap sukses bermetamorfosis menjadi wakil rakyat yang memiliki kapasitas dan rekam jejak. Misalnya Dedi Gumilar (Miing), Rike Diah Pitaloka, Dede Yusuf, Rano Karno dan Tantowi Yahya adalah sederetan artis yang dianggap tak hanya mewarnai tapi juga memiliki rekam jejak di panggung politik. Mereka adalah politisi yang sangat vokal di parlemen, dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat melalui partainya masing-masing. Namun, kenapa kita masih meragukan kompetensi artis di panggung politik?

            Dalam bahasa komunikator politik, artis dikategorikan sebagai politisi wakil yaitu politikus atau komunikator politik yang tidak dilahirkan melalui proses kaderisasi yang berjenjang. Karena tidak melalui kaderisasi, politisi artis biasanya dipersepsikan tak memiliki kapasitas dan kapabilitas menjadi wakil rakyat atau pejabat publik. Sejatinya, seorang politisi harus menempuh jenjang kaderisasi politik secara baik dan memadai. Kemudian politisi tersebut menjadi loyalis di partainya dan pada akhirnya didistribusikan ke dalam jabatan-jabatan strategis, salah satunya sebagai calon anggota legislatif. Karena caleg artis tak menempuh tahapan penting ini, bahkan waktu mereka dihabiskan di dunia hiburan, maka mereka menjadi caleg yang sering diasumsikan tak memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai wakil rakyat.

            Menjelang Pemilu 2014, sudah terdaftar sebagai daftar calon sementara yang berlatarbelakang artis antara lain Irwansyah, Krisdayanti, Mandra, Ikang Fauzi, Sonny Tulung, Marisahaque dan lainnya. Dengan modal popularits mereka sangat tergantung terhadap publisitas televisi yang akrab di mata khalayak. Rakyatlah yang akan menyeleksi apakah mereka layak atau tidak untuk menjadi wakilnya di Senayan. Namun ada golongan pemilih yang sangat berpotensi menjadi basis suara para caleg artis ini, mereka adalah para pemilih pemula.

Selebritisasi Pemilih Pemula

            Hadirnya selebriti di panggung politik memperoleh ruang dari pemilih pemula. Mereka biasanya masih labil dan masih dalam proses belajar politik. Pemilih pemula mayoritas memiliki rentang usia 17-21 tahun, kecuali karena telah menikah. Dan mayoritas pemilih pemula adalah pelajar (SMA), mahasiswa dan perkerja muda. Pemilih pemula merupakan pemilih yang sangat potensial dalam perolehan suara pada Pemilu. Suara potensial tersebut setidaknya bisa dilacak dari data dalam dua pemilu terakhir yakni pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.

            Pada Pemilu 2004, ada 50.054.460 juta pemilih pemula dari jumlah 147.219 juta jiwa pemilih dalam pemilu. Jumlah itu mencapai 34% dari keseluruhan pemilih dalam pemilu. Jumlah tersebut lebih besar dari pada jumlah perolehan suara partai politik terbesar pada waktu itu, yaitu Partai Golkar yang memperoleh suara 24.461.104 (21,62%) dari suara sah. Sementara pada Pemilu 2009 lalu, potensi suara pemilih pemula tetap signifikan. Besarnya pemilih pemula diperkirakan mencapai 19% atau 36 jutaan dari 189 juta penduduk yang memiliki hak pilih. Potensi suara pemilih pemula tersebut tetap lebih besar dibandingkan perolehan suara partai politik terbesar saat itu, yakni Partai Demokrat yang memperoleh 21.655.295 suara. Perolehan suara Partai Demokrat tersebut, jika dihitung berdasarkan suara yang sah dalam pemilu besarnya mencapai 20,81% (Bakti, 2012:128).

            Suara pemilih pemula yang sangat signifikan ini merupakan basis suara yang perlu dicermati kemana larinya mereka dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Tidak menutupkemungkinan, caleg artis berpotensi besar memperoleh raihan suara dari pemilih pemula.

 

Potensi Caleg Artis

            Caleg selebriti memperoleh perhatian dari pemilih pemula. Pemilih tipe ini biasanya belum memiliki wawasan dan pengalaman pemilu sebelumnya, sehingga preferensi dalam memilih kandidat sangat dipengaruhi oleh daya tarik emosional yang ada di sekelilingnya. Kemungkinan besar pemilih pemula akan memutuskan pilihan politiknya terhadap caleg yang memiliki popularitas, dalam hal ini adalah para artis.

            Ada beberapa alasan pemilih pemula cenderung memilih caleg artis. Pertama, pemilih pemula dalam memutuskan pilihan politiknya masih didominasi faktor emosional terhadap caleg artis, mereka bisa jadi memang mengagumi salah satu artis yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Kedua, pemilih pemula memiliki kedekatan terhadap caleg artis dibandingkan dengan caleg non artis. Karena faktor kedekatan ini mereka akan menjatuhkan pilihan politiknya kepada caleg yang dirasa merasa akrab dan dekat.

            Ketiga, pemilih pemula tidak bepikir panjang dalam menentukan pilihan politiknya. Rekam jejak, pengalaman birokrasi dan program kerja biasanya tak diperhatikan secara seksama. Sehingga mereka lebih memperhatikan terhadap performace atau penampilan kandidat. Keempat, pemilih pemula dalam menentukan pilihan politiknya sangat dipengaruhi oleh media yang kerapkali mengekspos caleg artis secara berlebihan, potensi inilah yang sangat mempengaruhi perilaku pemilih pemula.

            Hadirnya caleg artis ini dipastikan menjadi pendulang suara bagi para pemilih pemula khususnya. Caleg artis memiliki camera face yang pasti dikenali dan diingat oleh para pemilih pemula. Maka kecenderungan mereka akan menjatuhkan pilihan politiknya sangat berpotensi besar terhadap caleg artis dibandingkan dengan caleg non artis.

            Sehingga perilaku pemilih pemula ini mesti memperoleh literasi politik yang memadai supaya dalam menjatuhkan pilihan poitiknya tidak hanya faktor popularitas saja, tetapi diiringi dengan faktor rekam jejak dan program kerja yang nantinya diimplementasikan dalam bentuk kebijakan untuk  kesejahteraan rakyat. Jika memang caleg artis sebagai pilihannya, maka sosok caleg artis yang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang dipertanggungjawabkan.

Survei Politik dan Elektabilitas Calon


Oleh: M. Rosit

Dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta saat mendekati hari pemilihan kian semarak. Hingar-bingar pilkada semakin muncul di permukaan, dengan ditandai berbagai macam manuver politik yang dilakukan oleh setiap pasangan calon. Ini menjadi magnet yang cukup menarik perhatian publik terhadap para pasangan calon yang kian menebar janji-janji plus solusi terhadap keruwetan problem ibukota. Siapa yang bisa memberikan solusi terbaik, maka dialah yang tepat menduduki Jakarta 1. Dan oleh karena itulah, Pilkada DKI Jakarta 2012 ini jauh lebih menarik dan menantang dibandingkan Pilkada DKI Jakarta 2007 lalu, baik di mata warga DKI Jakarta maupun para kontestan.

Hasil survei yang diselenggarakan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bersama anak perusahaannya Citra Komunikasi (Cikom) LSI menunjukkan elektabilitas calon incumbent masih di atas calon-calon lainnya pada Pilkada DKI 2012. Hasil ini didapatkan berdasarkan survei Cikom LSI selama sepekan, 26 Maret 2012 hingga 1 April 2012, terhadap 440 responden yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta, dengan menghasilkan perolehan suara yaitu, pasangan Foke-Nara mendapat dukungan 49,1% suara, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama 14,4%, Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini 8,3%, Faisal Basri-Biem Benjamin 5,8%, Alex Noerdin-Nono Sampono 3,9%, dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria 1,2%.

Jika dilihat dari hasil survei di atas, pasangan Foke-Nara sangat berpotensi memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2012. Bahkan pasangan ini berpotensi bisa memenangkan Pilkada DKI hanya dalam satu putaran pemilihan saja. Tentu ini terkait dengan posisi Foke sebagai calon Incumbent yang secara terang memiliki kelebihan di atas para calon lainnya. Kelebihan itu antara lain, Pertama, calon Incumbent memiliki tingkat popularitas di atas calon lainnya, informasi calon incumbent merupakan informasi yang sudah diketahui pemilih dengan baik jauh-jauh hari, sehingga publisitas calon menjadi popular seiring dengan kinerja dan tugas keseharian. Kedua, calon incumbent memiliki data-data yang menunjukkan bahwa dirinya sudah melakukan kinerja selama menjabat sebagai Gubernur. Data-data ini yang akan berbicara kepada masyarakat DKI Jakarta bahwa dirinya sudah terbukti melakukan kinerja nyata, bukan hanya sebuah visi-misi atau sebuah janji yang belum dibuktikan realitasnya. Namun hal ini juga tergantung kiprahnya selama calon Incumbent memerintah daerahnya, apakah kebijakan selama dalam kepemimpinannya memberikan solusi-solusi yang dibutuhkan daerahnya atau sama saja bahkan malah sebaliknya.

Ketiga, masa kampanye calon incumbent tak terbatas karena bisa menggunakan waktu dinasnya untuk melakukan sosialisasi politik kepada masyarakat, hal ini tidak akan terlacak oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sosialisasi politik salah satunya bisa dalam bentuk publisitas politik yang tak akan diketahui oleh masyarakat awam bahwa hal itu merupakan investasi politik jangka panjang menuju pilkada.

Dari kelebihan-kelebihan calon incumbent di atas, tentu tak heran jika sebuah lembaga survey yaitu Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menghasilkan pasangan Foke-Nara memperoleh 49,1% suara. Ini menjadi modal politik yang cukup memuaskan dari pasangan ini. Namun, pasangan calon lainya tentu masih memiliki waktu dan ruang yang cukup untuk mengejar ketertinggalannya yakni dengan menggunakan waktu sebaik-baiknya sebelum pemilihan sebelum pemilihan terjadi.

Survei Politik

            Survei politik merupakan sebuah media yang bisa menunjukkan elektabilitas suatu kandidat atau partai politik pada saat menjelang pilkada. Di dalam negara demokrasi, survei menjadi instrument demokrasi dan biasanya dilakukan oleh lembaga yang otoritatif baik dari lembaga survei independen maupun lembaga survei partai politik/kandidat tertentu. Namun, terkait survei LSI yang menunjukkan tingkat elektabilitas suatu pasangan calon tertentu. Tentu hasil survei tersebut sangat dinamis dan debetable. Sah-sah saja dari pasangan calon tertentu menyikapi pro maupun kontra pada hasil survei ini.

Ada beberapa variabel yang bisa mempengaruhi hasil survei terutama terkait dengan elektabilitas kandidat di mata masyarakat. Pertama, metodologi yang dipergunakan dalam survei sangat mempengaruhi hasil dari survei tersebut, seberapa akurat maupun kesalahan dalam penelitian tersebut. Dan ini persoalan yang mendasar apakah survei itu bisa diakui kesohihannya atau diragukan. Kedua, waktu survei menentukan hasil yang diperolehnya. Perbedaan waktu ini sangat berpotensi akan merubah hasil dari survei sebelumnya. Pada bulan ini hasil survei LSI menghasilkan pasangan Foke-Nara peringkat pertama, namun ada kemungkinan berbeda hasilnya ketika LSI mengadakan satu atau dua bulan berikutnya. Ketiga, pengetahuan dan tempat lokasi responden juga akan menentukan hasil survei. Pengetahuan masyarakat sangat dinamis, apalagi untuk konteks Jakarta yang notabene sebagai ibukota negara di mana informasi begitu cepat dan massif, akan merubah persepsi warga masyarakatnya dalam melihat realitas sosial.

 

Perilaku Pemilih

Mengamati perilaku pemilih Jakarta pada saat ini tentu lebih variatif dan dinamis. Karena berbagai macam etnis, budaya, bahasa dan keyakinan ada di sini. Jakarta menjadi miniatur Indonesia, berarti Jakarta menjadi representasi suara dari berbagai daerah di negeri ini. Warga penduduk Jakarta mayoritas berpendidikan menengah-atas yang cenderung rational voters. Tipe semacam ini agak susah dikasih janji-janji politik, karena mereka lebih cenderung melihat dari isu, program dan rekam jejak pasangan calon di Pilkada DKI Jakarta. Meskipun demikian, suara irrational voters masih tetap ada di Jakarta, karakteristik suara ini meskipun kian turun tapi masih saja ada di setiap pemilu atau pilkada diselenggarakan.

Oleh karena itu, hasil survei saat ini dijadikan dasar merupkan wajar adanya. Namun sampai saat ini, semua pasangan kcalon masih memiliki potensi untuk menang. Apalagi Jakarta merindukan seorang pemimpin yang bisa menyelesaikan carut-marut permasalahan ibukota yang kalau diibaratkan orang sakit sudah sangat parah dan kritis. Diperlukan pemimpin yang tegas dan memiliki kebijakan ekstraordinary serta orientasi yang jelas. Survei bisa menghasilkan calon yang memiliki popularitas tinggi, namun tingkat popularitas tidaklah cukup untuk memberikan solusi terhadap permasalahan ibukota. Maka, warga Jakarta harus bersikap kritis terhadap calon dan siapapun yang akan mempengaruhi perilaku pemilih dalam Pilkada nanti.

 

M. Rosit

Peneliti di The Political Literacy Institute

Gaya SBY Versus PKS


Oleh; M. Rosit

 

Pebincangan mengenai Partai keadilan Sejahtera (PKS) apakah masih patut dalam koalisi partai yang mendukung pemerintahan SBY-Budiono atau harus hengkang dari koalisi menjadi diskursus yang menarik. Mengingat partai yang memiliki bendera warna putih berlambang padi dan bulan sabit itu, kini menjadi bahan gunjingan baik dari partai koalisi maupun partai oposisi mengenai keputusannya yang berulangkali berseberangan dengan kebijakan yang semestinya mendukung kebijakan pemerintah.

Sebelumnya fraksi PKS beberapakali mengambil keputusan yang berseberangan dari partai koalisi. Pertama, pada 4 Maret 2010 Fraksi PKS memilih opsi C dalam penentuan hak angket Century, yakni pemberian dana talangan kepada Bank Century dan penyaluran yang diduga ada penyimpangan. PKS dalam kasus ini melakukan keputusan yang kontroversial dari partai koalisi yang seharusnya mendukung sikap partai koalisi. Kedua, pada 24 Januari 2011, dalam pengambilan angket kasus Mafia Pajak, Gayus Tambunan, PKS menerima atau menyetujui dilakukan penyidikan kasus tersebut, sementara partai koalisi menolaknya.

Ketiga, pada tanggal 22 Februari 2011, dalam paripurna hak angket mafia pajak, lagi-lagi PKS menerima usulan hak angket mafia Pajak, padahal mayoritas partai koalisi menyatakan menolak, kecuali fraksi Golkar. Keempat, pada tanggal 18 Oktober 2011, PKS mengancam akan keluar dari partai koalisi jika salah satu kadernya yang menjadi pembantu Presiden, Suharna, akan dicabut dari menteri Menristek. Dan, kelima, PKS baru-baru ini dalam sidang Paripurna DPR dalam menentukan sikapnya tentang kenaikan BBM bersubsidi pun melakukan keputusan yang berseberangan dengan partai koalisi. Ini pun PKS menunjukkan sikap menduanya sebagai partai koalisi yang semestinya taat dan patuh terhadap kebijakan SBY-Budiono.

Dari sekian kali sikap PKS yang selalu mengambil jalan yang berseberangan dengan sikap pemerintah, memicu tanda tanya, apa sebenarnya agenda PKS sehingga selalu membuat keputusan kontroversial? Apakah PKS selama ini di partai koalisi selalu dijadikan anak tiri dari partai koalisi lainnya atau PKS memang benar-benar memperjuangkan amanat rakyat yang selama ini dijadikan alasan-alasan dari sikap politiknya.

Koalisi Rapuh

Dari sikap PKS yang sering mengambil jalan berseberangan dari partai koalisi itu menunjukkan bahwa bangunan koalisi partai pemerintah selama ini memang keropos dan rapuh. Terbukti SBY sebagai ketua umum partai koalisi tidak bisa bersikap tegas. SBY yang semestinya memiliki konsistensi baik sebagai ketua umum koalisi maupun sebagai pemimpin negeri ini, tidak menunjukkan sebagaimana seorang pemimpin yang berani mengambil sikap secara tegas meskipun beresiko. Sikap PKS merupakan cermin dari kepemimpinan SBY yang lemah dan tak disegani baik kawan maupun lawan.

Daripada PKS menjadi duri dalam daging di koalisi, dan selalu saja bersikap kontroversial, SBY seharusnya sudah mengambil sikap untuk mengeluarkan dari partai koalisi. Namun SBY tetaplah sebagaimana SBY yang penuh keraguan, inilah yang membuat PKS selalu bersikap mendua, yakni masuk ke dalam koalisi tapi bercitarasa sebagai partai oposisi. Seharusnya PKS diberikan sanksi tegas meskipun tak dikeluarkan dari partai koalisi, ini penting agar bangunan koalisi yang selama ini tidak menjadi duri dalam daging dan musuh dalam selimut. Terkesan ada kepura-puraan koalisi yang selama ini dibentuk, padahal tujuan koalisi menyatukan visi dan misi untuk mendukung kebijakan pemerintah sampai pada Pemilu 2014.

Menuju Pemilu 2014

Dari sikap yang selalu ditunjukkan PKS selama ini, tentu memiliki agenda Pemilu 2014. Setelah sekian lama PKS mendukung Partai Demokrat dan SBY sebagai pengambil kebijakan pemerintah. Rupanya partai koalisi sudah menunjukkan inkonsistensi untuk tidak loyal kepada SBY dan Partai Demokratnya. Ini bisa dimaklumi, sejak para elite Partai Demokrat tersandera ke dalam skandal wisma atlit yang menyeret nama besar ketua umumnya dan beberapa elite partainya, partai ini kian lama menurun elektabilitasnya. Dari hasil Survey LSI (Lingkaran Survey Indonesia) baru-baru ini, Sampai dengan saat ini 3 partai teratas yang pertama itu ditempati partai Golkar itu 18,9% perolehan suara partai Golkar, kemudian posisi kedua PDIP 14,2% dan posisi ketiga itu Partai Demokrat 13,7 %. Jika kasus wisma altit yang melibatkan para elite partai ini tidak kunjung terselesaikan, maka elektabilitas Partai Demokrat dan SBY akan terus menurun, dan ini jelas merugikan investasi politik yang selama ini dibangun dengan susah payah.

Oleh karena itu, SBY dan Partai Demokrat masih memiliki sisa waktu 2 tahun untuk memperbaiki gaya kepemimpinannya. SBY masih memiliki agenda besar agar partainya masih bisa eksis atau hanya sekedar menyelamatkan pemerintahannya sampai 2014. Ini sangat tergantung terhadap SBY bisa bersikap tegas dan lugas, supaya kebijakan-kebijakan pemerintah tidak ditentang oleh partai koalisi yang semestinya mendukung sepenuh hati.

 

 

 

 M. Rosit

Peneliti di The Political Literacy Institute

 

 

 

 

 

Etika Mundurnya Wakil Kepala Daerah


Oleh: M. Rosit

Ketidakharmonisan pasangan Kepala Daerah/Gubernur dan wakilnya mengulang kembali, peristiwa ketidakharmonisan yang berakibat mundurnya salah satu pasangan yang pernah bersaksi atas nama rakyat untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin yang memiliki mandat langsung dari rakyat ternyata begitu mudahnya mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Kali ini terjadi pada Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto.

Surat pengunduran diri Prijanto sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, telah resmi diajukan tertanggal 23 Desember 2011. Di dalam surat tersebut tidak disebutkan alasan jelas pengunduran diri, seperti rencananya maju sebagai Cagub DKI Jakarta pada pemilu kada 2012 nanti. Sebelumnya pengunduran diri Prijanto, Kasus  serupa terjadi pada Diky Chandra yang juga mengundurkan diri sebagai Wakil Bupati Garut. Prosesnya berjalan dan akhirnya ditetapkan dengan surat keputusan Mendagri. Oleh karena itu proses pengunduran diri Prijanto juga akan memakan waktu hingga adanya keputusan Mendagri.

Pengunduran Diky Chandra juga disebabkan adanya ketidakharmonisan yang terjadi antara wakil dan Bupatinya. Padahal baik Prijanto dan Diky Chandra sudah bersumpah akan menjalankan masa jabatannya sebagaimana yang diamanatkan konstitusi, nyatanya menyelesaikan masalah pada level internal saja tidak bisa. Dan hal itu perlu dipertanyakan keseriusan mereka baik dalam etika berpolitik maupun sebagai seorang pemimpin yang memiliki mandat dan mengayomi rakyatnya.

Selain adanya disharmonisasi, baik Prijanto maupun Diky Chandra mengalami alasan yang mirip, yakni Prijanto tidak mau menjelaskan alasan mengapa ia harus mengundurkan diri secara jelas dan gamblang kepada publik, dan begitu juga sebelumnya Diky Chandra juga tidak menjelaskan secara jelas dan rasional tentang alasan kemunduran dirinya dari Wakil Bupati Garut. Hal ini mengindikasikan bahwa keduanya bukan seorang politikus atau pemimpin yang memiliki karakter kuat, yang semestinya hal itu tidak akan terjadi pada seorang politikus atau negarawan yang memiliki pandangan jauh ke depan. Selanjutnya kemiripan keduanya adalah mereka menempatkan diri sebagai sebagai  orang yang terzolimi agar mendapat belas kasihan dari publik. Diky Chandra menyalahkan dirinya sendiri bermaksud memperoleh dukungan dari publik, sementara Prijanto mengatakan bahwa dirinya cukup sabar mendampingi Fauzi Bowo selama ini, dan bahkan mengatakan semestinya sudah 2 tahun lalu mengundurkan diri.

Peristiwa seperti ini terjadi membuktikan bahwa egopolitik lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan publik. Seharusnya sebelum menjadi seorang politikus yang berniat menduduki jabatan-jabatan strategis harus memiliki niat dan tujuan yang benar. Menjadi seorang politikus adalah menafkahkan waktu dan energinya untuk kepentingan rakyat, bukan malah mencari nafkah untuk memperkaya diri. Dalam etika komunikasi politik jelas bahwa ketika seorang politikus atau pejabat negara sudah melenceng dari tujuan dari politik itu sendiri atau bahkan tidak memahami identitas diri sebagai seorang politikus maka kegaduhan politik dan ketidakharomonisan lebih sering menonjol ke permukaan. Tentu hal ini bertentangan dengan etika demokrasi yang mengatakan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Selain itu, menjadi pimpinan di dalam sistem demokrasi tidak semudah apa yang dibayangkan, berbeda dengan menjadi seorang raja di dalam sistem monarki yang segala keputusan dan kebijakannya berdasarkan kemauan atau kehendaknya. Namun tidak begitu di dalam sistem demokrasi, baik kepala daerah maupun wakilnya dalam memimpin daerahnya harus sesuai apa yang diinginkan oleh rakyatnya bukan apa yang diinginkan oleh pemimpinnya. Jadi semua kebijakan bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. bukan dari pemimpin, oleh pemimpin dan untuk pemimpin, apalagi bermuara dari parpol, jelas tidak sesuai dengan konstitusi yang sudah diamanatkan bersama.

Oleh karena itu, fenomena mundurnya wakil kepala daerah perlu mendapatkan respon yang serius. Hal ini penting karena bagaimanapun pihak yang menjadi korban mengenai kemunduran salah satu pasangan/wakil kepala daerah adalah rakyat yang telah memberikan mandat kepada pemimpinnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait fenomena mundurnya wakil kepala daerah yaitu: pertama, tidak berjalannya komunikasi antar sesama baik kepala daerah maupun wakilnya, hal ini nampak jelas baik Prijanto maupun Diky Chandra yang kecewa terhadap pasangannya, mereka merasa inferior atau bahkan mereka sendiri yang menempatkan inferior sehingga ketidakpercayaan diri sebagai seorang wakil kepala daerah lebih besar.

Kedua, alasan politis, yakni bisa saja Prijanto mengundurkan diri dari wakil Gubernur karena menyiapkan strategi pemilu kada DKI Jakarta yang semakin mendekat waktunya, bagaimanapun ia harus mengundurkan diri dari jabatan wakil Gubernur agar tidak nampak inferior di mata publik dan menyiapkan strateginya untuk pemenangan pemilu kada, strategi ini juga pernah dilakukan SBY saat berniat maju Pemilu Presiden pada tahun 2004. Ketiga, wewenang wakil kepala daerah kurang jelas, hal ini juga mengindikasikan bahwa seorang wakil kepala daerah hanya sebagai pendamping saja, atau ia tidak memiliki hak dalam mengambil kebijakan sehingga merasa dibayang-bayangi oleh pasangannya sendiri. Keempat, ia melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang sudah dimandati oleh rakyat banyak. Kepala daerah dan wakilnya dipilih melalui pemilu langsung, berapa banyak biaya politik yang sudah dihabiskan baik dari negara maupun biaya kandidat, selain itu juga rakyat sudah terlanjur memilih dan memimpikan pemimpinnya bisa menyelesaikan segala permasalahan kehidupan kaum bawah.

Solusi dan Proses Pembelajaran

Supaya tidak terjadi disharmonisasi antara pasangan kepala daerah dan wakilnya perlu dibuat regulasi yang ketat. Hal ini perlu dilakukan agar kejadian ini tidak terulangi atau tidak dilakukan oleh wakil kepala daerah lainnya. Regulasi ini mengatur dengan tegas tentang pengunduran salah satu pasangan harus jelas dan rasional dan tidak beralasan karena tidak adanya kecocokan dengan pasangannya.

Kejadian ini juga mengindikasikan implementasi yang meliberalkan demokrasi dengan cara memilih pasangan kandidat ternyata tidak menghasilkan kesepakatan politik. Keduanya bahkan malah menjadi rival yang saling bersaing dan menjatuhkan secara asimetris. Kalau hal ini sudah terjadi maka kemesraan saat-saat menjelang pemilu kada dan menjabat pada masa-masa awal pemerintahannya akan cepat berlalu sehingga berubah menjadi pasangan yang mudah dan siap melakukan perceraian.

Berdasarkan data Kemendagri bahwa hanya 6,15 persen pasangan kepala daerah hasil pemilihan pada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada Pemilu Kada untuk periode selanjutnya. Sedemikian besar presentase pasangan kepala daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika pemilu kada. Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenoek menyatakan, “Dari 244 Pemilu Kada pada 2010 dan 67 pada 2011, hampir 94 persen diantaranya pecah kongsi.

Oleh karena itu, semestinya pasangan kepala daerah mengerti tugas-tugasnya yang telah diamanatkan oleh rakyat, bisa berkomunikasi dengan baik dan bekerja optimal, apalagi untuk konteks DKI Jakarta membutuhkan penyelesaian yang tidak mudah. Segala carut marut di ibukota ini juga tergantung kecerdasan dan kreatifitas seorang pemimpin untuk menanggulangi banjir, macet, kriminal dan permasalahan kota pada umumnya. Jadi pengunduran diri sebagai Wakil Kepala Daerah tidak menjadikan solusi apalagi ketika dibandingkan dengan pemilihan yang membutuhkan biaya yang sangat besar, tentu juga harus menghasilkan sesuatu yang berarti untuk rakyat.

Penulis adalah Peneliti The Political Literacy Institute, Jakarta

Peta Calon dan Mimpi Pilkada DKI Jakarta


Oleh: M. Rosit
Dimuat di Sinar Harapan (4 April 2012)

Wacana tentang Pilkada DKI Jakarta semakin ramai dan semarak. Tak hanya pengamat politik saja yang mencoba memprediksi peta politik kandidat dan elektabilitasnya. Warga Jakarta secara antusias juga memperbincangkannya, kira-kira kandidat mana yang paling berpeluang menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada periode 2012-2017. Di tengah problem kemacetan, banjir, kriminal, kesenjangan sosial dan segudang problem lainnya, tentu menjadi relevan ketika warga Jakarta berharap di Pilkada 2012 akan menghasilkan seorang pemimpin yang mampu memberikan solusi nyata.

Perhelatan kontestan pada pilkada diikuti oleh enam pasangan calon, baik berasal dari partai politik maupun calon perseorangan. Keenam pasangan calon itu merupakan orang-orang yang dianggap terbaik untuk memberikan solusi terhadap ibukota yang kalau diibaratkan orang sakit sudah sangat kritis dan sesegera mungkin memperoleh pengobatan extraordinary secara medis. Para pasangan calon itu yakni dari calon independen diikuti oleh pasangan Faisal Basri-Biem Benjamien dan Hendardji Soepandji-Achmad Riza Patria. Pasangan dari parpol yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, Alex Noerdin-Nono Sampono yang diusung partai Golkar PPP dan PDS, Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini diusung Partai Keadilan Sejahtera dan PAN. Serta Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang diusung tujuh parpol yaitu Partai Demokrat, Hanura, PDS, PKB, PBB, PMB, dan Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB).

Calon independen, pasangan Faisal Basri-Biem Benjamien dan Hendardji Soepandji-Achmad Riza Patria yang sebelumnya memperoleh apresiasi yang cukup signifikan dari warga kota Jakarta seiring merosotnya citra partai politik, kini setelah hadirnya kandidat dari parpol mendapat tantangan yang serius. Belum lagi calon independen tak memiliki mesin politik (partai), maka mereka pun harus siap menghadapi negosiasi politik yang cenderung mengarah pada kepentingan-kepentingan golongan dan kekuasaan, dan ini adalah tantangan yang cukup krusial bagi pasangan calon independen.

Upaya parpol menghadirkan kandidat atau orang terbaik daerah untuk berkontestasi di Pilkada DKI Jakarta merupakan upaya yang kreatif. Misalnya sosok Jokowi dengan kebijakan yang sangat humanistik mampu merelokasi PKL tanpa menggunakan tangan besi, memproteksi pasar tradisional dan sederet kebijakan-kebijakannya yang pro rakyat kecil. Meskipun Jokowi tidak begitu mengenal seluk-beluk Jakarta, namun rekam jejaknya sebagai Walikota Solo bisa saja menghipnotis warga Jakarta pada pemilukada nanti. Selain itu pasangan Jokowi, Ahok merupakan Bupati Belitung Timur yang sudah membuktikan integritasnya sebagai seorang bupati yang bersih dan berpengalaman di daerahnya. Ini menjadi “political branding” untuk meraup kantong-kantong suara di Pilkada DKI Jakarta.

Sementara Alex Noerdin merupakan seorang kandidat yang tidak sedikit memiliki prestasi gemilang yakni sebagai pelopor sekolah gratis Sembilan tahun, pelopor berobat gratis bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dan sederet kebijakan yang pro rakyat kecil di Sumatera Selatan. Alex Noerdin-Nono Sampono bisa menjadi pesaing yang sangat diperhitungkan bagi pasangan kandidat lainnya. Namun reputasi Alex Noerdin sedikit tercoreng dengan adanya kasus korupsi Wisma Atlet meskipun ia tak terlibat di dalamnya.

Selain itu pasangan Hidayat Nur Wahid – Didik J. Rachbini mempunyai mesin politik yang tangguh melalui kader-kader PKS yang tidak bisa dianggap sepele begitu saja, apalagi PKS sudah tercatat dalam sejarah pernah memenangi Pemilu Legislatif 2004 khusus di Ibukota ini. Pasangan kandidat ini sangat berpotensi sukses menuju (pemilihan) putaran kedua. Meskipun Hidayat Nur Wahid sudah melewati masa keemasannya. Dan kandidat yang tak asing lagi adalah Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli, meskipun sulit memenangkan Pilkada DKI Jakarta, disebabkan Fauzi Bowo tidak banyak melakukan perubahan selama 5 pada masa kepemimpinannya. Namun demikian, Ia secara birokrasi sudah mengenal medan politik yang tidak diragukan lagi. Apalagi kalau dia masuk ke (pemilihan) putaran kedua, tidak menutup kemungkinan pasangan kandidat dan partai politik lainnya bisa melebur dengan mengusungnya kembali, karena secara real politik dianggap menguntungkan.

Perilaku Pemilih
Warga Jakarta begitu pluralis, yakni selain kebhinekaan warga penduduknya, kota ini dihuni oleh kebanyakan orang yang secara pendidikan ke level menengah – atas. Maka para pasangan kandidat jangan terlalu sibuk merangkai kata-kata atau puisi untuk mengobral janji, karena voting behavior warga sudah semakin mengarah ke rational choice, hal ini disebabkan Jakarta merupakan pusat informasi, pusat bisnis dan pusat politik, apalagi baik media mainstream maupun media sosial turut andil dalam memberikan informasi-informasi mengenai rekam jejak kandidat di Pilkada DKI Jakarta. Meskipun perilaku pemilih dari aspek sosiologis dan psikologis masih saja tetap ada, namun gejala politik di ibukota ini semakin bervariasi dari pemilu ke pemilu, hal ini memberikan sinyal bahwa perilaku dan persepsi warga Jakarta semakin kritis terhadap siapapun pasangan calon.

Oleh karena itu, pasangan calon yang ditampilkan di perhelatan Pilkada DKI Jakarta, merupakan pasangan yang sebagian besar sudah diketahui rekam jejaknya. Namun, warga Jakarta harus bersikap lebih kritis lagi dalam menjatuhkan pilihannya. Dan problem yang krusial selama masa pilkada di manapun itu, persoalan “politik uang” menjadi perhatian serius agar suara hati warga Jakarta tak bisa dibeli. Karena kalau hal itu sudah terjadi, mimpi-mimpi warga sudah dimanipulasi oleh politik uang yang secara jangka panjang menipu dan tentu jauh dari literasi politik yang semestinya mencerahkan warga. Pilkada adalah hajatan besar demokrasi rakyat, di momentum seperti ini rakyat banyak belajar berdemokrasi, dengan mengemban tugas suci yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan ini terealisasi kalau pilkada bisa demokratis dan pemimpin yang kreatif akan terpilih di perhelatan pilkada pada pertengahan Juli 2012 mendatang.

M. Rosit
Staf Peneliti di The Political Literacy Institute, Jakarta

Presiden SBY dan Global Champion of Disaster Risk Reduction


Pada tanggal 10 Mei 2011, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menerima pengharagaan dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon sebagai Tokoh Dunia bidang Pengurangan Risiko Bencana atau “Global Champion for Disaster Risk Reduction”. Penerimaan penghargaan tersebut diwakili oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat menghadiri acara tersebut. Acara itu disaksikan beberapa kepala negara, menteri dan 2.500 undangan dari 160 negara

Arti dari penghargaan itu tidak lain ialah PBB mengakui bahwa Presiden Susilo Bambang Yudoyono berhasil dalam mengurangi kebijakan pencegahan resiko bencana di seluruh tingkatan, mendorong peningkatan investasi di bidang pencegahan resiko bencana, serta wujud nyata penghargaan dunia atas kepeloporan, komitmen dan dedikasi Presiden RI maupun Pemerintah Indonesia dalam mengatasi berbagai bencana alam, maupun berbagai upaya inovatif dalam pengurangan resiko bencana.

Di dalam negeri, berbagai media memberitakannya baik dari media cetak maupun elektronik, misalnya di tempat-tempat strategis di Jakarta khususnya, dipasang spanduk yang bertuliskan “ Selamat kepada Presiden SBY atas penghargaan PBB sebagai Global Champion of Disaster Risk Reduction”. Nah, dari berbagai media massa yang telah memberitakan dan mensosialisasikan keberhasilan SBY dalam penanggulangan resiko bencana itu, mengapa isu pemberitaan di berbagai media massa mengenai keberhasilan SBY tidak banyak diperbincangkan di televisi? Mengapa khalayak/rakyat tidak banyak mengetahui mengenai penghargaan yang diterima SBY?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa penghargaan sepenting itu tidak banyak diperbincangkan. Pertama, ada kegagalan agenda setting media, yakni apa yang dianggap penting oleh media ternyata tidak dianggap penting oleh khalayak. Kedua, ada sebuah knowledge gap sehingga rakyat belum tentu mengetahui bahasa yang digunakan oleh media maupun pemerintah. Ketiga, masyarakat cenderung memaknai penghargaan itu kontras dengan realitas rakyat yang mayoritas masih memprihatinkan. Keempat, rakyat tidak sepakat dengan penghargaan penanggulangan resiko bencana yang diberikan Presiden SBY. Kelima, upaya pemberitaan itu tidak bisa memasuki ranah interpersonal khalayak. Keenam, rakyat mencium ada upaya propaganda dari pemerintah SBY. Ketujuh, rakyat memaknai ada sebuah pencitraan politik di dalam pemberitaan itu.

Apalagi pemerintah yang selama ini diamanati oleh harapan rakyat yang begitu besar belum bisa membuktikan janji-janjinya. Sepertinya menjadi suatu yang tak perlu dilakukan membicarakan penghargaan terhadap Presiden SBY secara berlebihan di tengah kemiskinan yang masih membabi buta. Penghargaan-penghargaan itu tidak ada artinya buat rakyat karena memang tak berpengaruh dalam kehidupan rakyat yang mendambakan kesejahteraan khususnya dalam masalah ekonomi.

Sementara menurut hasil survei yang dilakukan oleh Indo Barometer, rakyat seolah-olah merindukan pemerintahan Orde Baru Soeharto, hal ini dibuktikan bahwa mayoritas publik menganggap Orde Baru lebih baik (40,9%), daripada era Reformasi sekarang ini (22,8%). Temuan ini merupakan pukulan terhadap pemerintahan SBY agar bisa membuktikan janji-janjinya dan lebih bekerja keras, bukan mengkritisi hasil survei atau malah menyangkalnya.

Hemat saya, SBY tidak perlu berbesar hati dalam menerima penghargaan itu, karena secara substantif tidak ada dampak positif terhadap rakyat. Rakyat tidak membutuhkan berbagai macam bidang perhargaan yang selalu dianugerahkan terhadap Presidennya, akan tetapi yang dibutuhkan adalah bukti nyata khususnya berpengaruh dalam perubahan kehidupan yang lebih baik.

Oleh karena itu, penghargaan kepada Presiden SBY atas penghargaan PBB sebagai Global Champion of Disaster Risk Reduction menghasilkan fakta yang tidak sesuai kebutuhan dasar rakyat. Sehingga baik upaya media dan pemerintah dalam mensosialisasikannya tidak menghasilkan informasi yang komunikatif. Kebutuhan yang mendesak bukan sebuah penghargaan dan sanjungan yang bagi rakyat tak bermakna, namun menurunnya harga sembako, keamanan terjaga, kemiskinan berkurang dan terhindar dari bencana akan menjadi jauh lebih bermakna.

KULTUR, KOMUNIKASI, KONTEKS DAN KEKUASAAN


Sejarah studi komunikasi interkultural melalui tiga pendekatan, dan menguraikan pendekatan dialektikal yang terintegrasi terhadap komunikasi interkultural. Akan dibahas pendekatan dialektikal dan mengidentifikasi empat komponen yang saling berhubungan atau blok-blok image dalam memahami komunikasi interkultural yaitu kultur, budaya, konteks, dan kekuasaan. Kultur dan komunikasi merupakan latardepan, sedangkan konteks dan kekuasaan membentuk latarbelakang untuk mengerti komunikasi interkultural. Pertama, kita defisinikan dan gambarkan budaya dan komunikasi, kemudian pelajari bagaimana dua komponen ini berinteraksi dengan isu-isu tentang konteks dan kekuasaan untuk menambah pengertian kita tentang komunikasi interkultural.

Apakah Budaya Itu :
Kultur sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi interkultural. Studi komunikasi interkultural sering fokus pada bagaimana perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya : Muslim berbeda dengan Nasrani, orang Jepang berbeda dengan Amerika, Pria berbeda dengan wanita, environmentalis dengan konservatifis, pro-lifers dengan pro-choicers, tua dengan muda, dsb (Gudykunst, 2002).

Harus dipikirkan persamaan dan perbedaan dialektik untuk memahami komunikasi interkultural yaitu dengan mencari persamaan dan perbedaannya secara simultan. Tanpa memperhatikan latarbelakang budayanya, manusia terikat aktifitas harian dan memiliki banyak keinginan dan hasrat yang sama, seperti makan, tidur, cinta, persahabatan, dan hubungan romantic, dan ingin dihormati dan disayangi dari mereka yang penting untuk kita.

Ada beberapa perbedaan dalam kelompok-kelompok kultural yaitu bermacam aktifitas dari kultur ke kultur. Pria dan wanita seringkali tidak sama dalam melihat dunia. Tua dan muda memiliki tujuan dan cita-cita yang berbeda. Muslim dan nasrani memiliki keyakinan yang berbeda, seperti kata pepatah “ When in Rome do as the Romans do” ini menyiratkan bahwa mudah saja untuk beradaptasi dalam perbedaan, cara berpikir maupun kebiasaan, walaupun telah beradaptasi ke kultur yang baru tetapi tetap saja “Only Romans are Romans dan hanya mereka (Romans) yang tahu caranya menjadi orang Roma sebenarnya. Tantangannya adalah menegosiasikan perbedaan dan kesamaannya dengan pengertian dan ketrampilan. Pertama, kita harus ketahui apa yang disebut dengan kultur.

Kultur didefinisikan secara beragam, dari persepsi-persepsi yang pengaruhi komunikasi sampai kepada kontestasi dan konflik. Banyak definisi tentang kultur, dan karena ini konsep yang kompleks, menjadi penting untuk refleksikannya kepada sentralitas kultur dalam interaksi kita sendiri. Menurut Raymond Williams (1993) kultur merupakan satu dari , dua atau , tiga kata yang paling rumit dalam bahasa inggris. Dan kompleksitas ini mengindikasikan banyak cara kultur mempengaruhi komunikasi interkultural (William, 1981). Kultur bukan hanya satu aspek dari praktek komunikasi interkultural. Bagaimana kita berpikir tentang kultur yang membingkai ide dan persepsi kita. Misalnya, Jika kultur didefisinikan sebagai sebuah Negara, kemudian komunikasi antara orang Jepang dan Itali akan menjadi komunikasi interkultural karena Jepang dan Italia merupakan dua Negara yang berbeda. Jadi sesuai definisi ini, pertemuan antara seorang Asia Amerika dari North Carolina dan Afrika Amerika dari California bukan suatu interkultural karena North Caroline dan California masih dalam satu Negara.

Kita tidak dapat menentukan definisi tunggal dari kultur karena beberapa definisi terlalu terbatas (Baldwin & Lindsey, 1994). Suatu pendekatan dialektikal mengatakan bahwa perbedaan definisi lebih fleksibel melalui pendekatan topik. Pendekatan terbaik untuk mengerti kompleksitas interkultural adalah melihat konsep kultur dari perspektif yang berbeda.
J.N Martin dan T.K. Nakayama (1999)

Periset ilmu sosial tidak berfokus ke kultur saja tetapi pengaruh kultur terhadap komunikasi. Dengan kata lain, periset berkonsentrasi kepada perbedaan komunikasi sebagai efek dari kultur. Mereka memberikan sedikit perhatian kepada bagaimana kultur secara konsep atau bagaimana kita melihat fungsi dari kultur. Jelasnya adalah periset interpretif lebih fokus kepada bagaimana konteks kultural pengaruhi komunikasi. Periset kritikal sering memandang komunikasi dan kekuasaan untuk berkomunikasi sebagai instrument untuk membentuk kembali kultur. Mereka melihat kultur sebagaimana masyarakat berpartisipasi atau menolak struktur sosialnya.

Walaupun riset dan studi telah membantu kita dalam memahami aspek yang berbeda dari komunikasi interkultural,` penting untuk menginvestigasi bagaiamana kita berpikir soal kultur, tidak sebagai periset tetapi sebagai praktisi. Karena itu kita broaden our scope untuk pertimbangkan sudut pandang yang berbeda tentang kultur, khususnya dalam hal bagaimana kultur mempengaruhi komunikasi interkultural.

Definisi Ilmu Sosial : Kultur seperti yang dipelajari, Kelompok – Persepsi yang berkait
Ahli komunikasi dari paradigma ilmu sosial yang dipengaruhi riset di psikologi melihat kultur sebagai sesuatu yang dipelajari, persepsi kelompok yang berkaitan (B.Hall, 1992), Geert Hofstede (1984), sebuah catatan psikologi sosial, mendefinisikan kultur sebagai “Pikiran yang diprogram” dan menjelaskan bahwa kultur seperti program komputer :

Setiap orang membawa pola pikiran, perasaan, dan potensi aksi masing-masing yang dipelajari selama hidupnya. Kebanyakan pola ini didapat saat masa kanak-kanak, karena pada masa itu merupakan masa belajar dan berasimilasi

Hofstade kemudian menggambarkan bagaimana pola ini terbangun melalui interaksi di lingkungan sosial dan dengan bermacam kelompok dan individu, pertama adalah di keluarga, kemudian tetangga, sekolah dan kelompok anak-anak, kuliah, dan seterusnya. kultur menjadi suatu pengalaman yang kolektif karena berbagi dengan orang-orang yang tinggal di lingkungan sosial yang sama.

Untuk memahami tentang program pikiran yang kolektif, Holfstede dan ilmuwan lainnya mempelajari behavior organisasi di berbagai lokasi perusahaan multinasional (didiskusikan kemudian). Ilmuwan sosial juga telah menentukan aturan tentang persepsi pada pola kultural. Mereka menganggap pola kultural dari pikiran dan pengaruh proses persepsi kita yang berpengaruh kepada kebiasaan kita :

Kultur didefinisikan sebagai pola-pola yang dipelajari, persepsi kelompok yang berkaitan, termasuk bahasa verbal dan nonverbal, nilai-nilai, sistem keyakinan dan ketidakyakinan, dan kebiasaan (Singer, 1987)
Definisi Interpretif : Kultural sebagai simbolik kontekstual pola-pola yang bermakna

Ilmuwan interpretif yang dipengaruhi oleh studi antropologi juga melihat kultur sebagai suatu yang dipelajari dan dibagi. Mereka cenderung focus ke pola-pola kontekstual dari kebiasaan komunikasi daripada kelompok yang persepsinya berkaitan. Banyak ilmuwan interpretif meminjam definisi antropolog Clifford Geertz yaitu :

Suatu pola makna historis yang ditransmisikan dan diwujudkan dalam bentuk simbol, sebuah sistem konsep yang diwariskan yang diekspresikan dengan bentuk simbol yang bermakna dengan komunikasi, menterjemahkan dan mengembangkan pengetahuan mereka dan sikap terhadap kehidupan.

Salah satu contoh yang paling umum adalah komunikasi etnografi; para ilmuwan ini mencari makna simbol tentang aktifitas verbal dan nonverbal untuk mengetahui pola dan aturan komunikasi. Studi tentang ini mendefinisikan kelompok kultural bukan yang lebih luas, misalnya peserta talkshow atau veteran perang Vietnam.

Ahli komunikasi etnografi Donal Carbaugh (1988) mengusulkan lebih baik mencadangkan konsep kultur untuk pola-pola aksi simbolik yang bermakna dalam, jelas secara umum dan diterima secara luas. Pola tentang perasaan yang dalam secara kolektif dirasakan oleh anggota kelompok kultural. Berkumpul di sekitar mesin pembuat kopi di kantor setiap pagi, dapat menjadi pola kultural, tetapi hanya jika aktifitasnya memiliki simbol yang signifikan atau yang membangkitkan perasaan yang berkembang terus. Kemudian aktifitas lebih lengkap mencontohkan suatu pola kultura. Misalnya berkumpul di sekitar mesin pembuat kopi setiap pagi merupakan simbol dari teamwork atau keinginan untuk berinteraksi dengan kolega. Agar dikatakan sebagai pola kultural, aktivitasnya harus memiliki simbol yang signifikan untuk semua anggota kelompok; mereka semua harus menemukan aktivitas yang bermakna kurang lebih dengan cara yang sama. Lalu semua yang hadir harus mempunyai akses ke pola-pola aksi. Ini bukan berarti mereka semua harus menggunakan pola tetapi memang sudah tersedia untuk mereka.

Gerry Philipsen (1992) menambahkan pendapat Carbaugh’s tentang kultur dengan menekankan bahwa pola-pola ini bertahan dari waktu ke waktu, dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain.
Kultur…mengacu pada pola konstruksi sosial dan historis transmisikan simbol, makna, premis, dan aturan…Sebuah kultur berbicara kemudian mengandung konstruksi dan histori sosial yang mentransmisikan simbol dan makna yang berkaitan dengan komunikasi. Misalnya simbol “Lithuanian” atau “Komunikasi” dan definisi-definisi yang ada, percaya tentang aksi bicara (dimana seorang pria yang mencoba mendisiplinkan seorang anak bukan pria sesungguhnya), dan aturan untuk berbicara (seorang ayah tidak menginterupsi anak perempuannya saat makan malam di meja)

Definisi Philipsen ini dipengaruhi kerangka kerja etnografer komunikasi Dell Hymes’s (1972) dalam mempelajari berbicara yang muncul secara indepth dan konteks. Kerangka kerjanya terdiri dari delapan elemen : adegan, partisipan, akhir, rangkaian acting, kunci, instrumental, norma dan genre. Dalam sekuens ini diakronimkan sebagai SPEAKING (Scene, Participants, End, Act, Key, Instrumentally, Norm, and Genre). Scene adalah susunan event komunikasi. Partisipan adalah orang yang tampil atau beraksi pada event. End adalah tujuan pembicaraan partisipan. Rangkaian Acting adalah urutan frase selama adegan. Key adalah tone selama berbicara. Saluran komunikasi adalah Instrumental. Norma adalah aturan yang harus diikuti. Sedangkan Genre adalah tipe atau kategori berbicara. Dengan menganalisa bicara pada framework ini, kita dapat memperoleh pengertian yang komprehensif tentang aturan dan pola yang dilakukan oleh komunitas yang berbicara.

Walaupun gagasan kultur seperti sharing, learning pola kelompok sebagai persepsi atau kebiasaan simbolik sepanjang masih standar dalam berbagai disiplin, semakin banyak orang yang mempertanyakan manfaatnya. Pertanyaan berapa banyak kultur betul-betul di-sharing. Misalnya, seorang kolega melaporkan dalam sebuah diskusi kelas tentang defenisi kultur dimana student memberikan defenisi yang biasa, seorang student jengkel dan ikut dalam diskusi sambil mengatakan “apakah kita benar-benar mempunyai arti kultur yang umum ?” lalu bertanya :”Versi dan kultur umum apa yang sedang dibicarakan ?” (Collier, Hegde, Lee, Nakayama, & Yap, 2002). Memang ini pertanyaan yang penting, bagian berikut akan menjelaskan sebuah pendekatan alternative untuk mendefenisikan kultur.

Sudut Pandang Lain
Ahli komunikasi Wen Shu Lee mengidentifikasi penggunaan tentang kultur yang berbeda kemudian ia menjelaskan bagaiaman setiap definisi digunakan dalam hal-hal yang khusus. Ia mendefinisikan ke dalam 6 defenisi, yaitu
1. Kultur : Upaya manusia yang unik (berbeda dengan alam dan biologi). Misalnya, Kultur merupakan benteng dari kerusakan alam
2. Kultur : perbaikan, perangai. Misalnya, cara seseorang mengunyah makanan, seperti tidak berbudaya sama sekali.
3. Kultur : Civilisasi, contoh : di suatu negeri pada jaman kegelapan dan rakyat menginginkan kultur, menjadi kewajiban kita untuk men-civilize jiwa-jiwa tersebut.
4. Kultur : Bahasa untuk berbagi, keyakinan, nilai-nilai. Misalnya, “Kita dating dari kultur yang sama, kita berbicara dengan bahasa yang sama, dan kita berbagi tradisi yang sama.
5. Kultur : dominasi atau hegemoni (berbeda dengan budaya marginal). Contoh : Ini budaya mereka yang berkuasa yang menentukan yang mana moral dan mana yang menyimpang.
6. Kultur : pemindahan ketegangan antara berbagai dan tidak berbagi. Mlsalnya, Budaya Amerika telah berubah dari Majikan/Budak, ke Kulit putih saja/Kulit hitam saja, ke antiperang dan black power, ke aksi afirmatif/multikultur dan perbaikan politik, ke aksi capital transnational dan kampanye anti-sweatshop.

Definisi diatas mempunyai interes masing-masing. Definis ke-2 mengistimewakan budaya tinggi dan mengabaikan budaya popular. Definisi ke-3 mengistimewakan Negara yang imperialis dan colonial. Definisi ke-4, mengistimewakan suatu pandangan universal dan representative, tetapi hanya representasikan kelompok kekuatan tertentu saja dan mendiamkan kelompok lain yang tidak siap untuk menerima pandangan ini. Definisi 5, mengistimewakan interaksi budaya yang di otorisasi oleh kelompok yang dominan (sector/Negara), secara politik lebih eksplisit dibanding definisi 2, 3, 4. Definisi 6 adalah yang paling disukai (oleh Wen). Lebih kepada meta view tentang kultur. Fokus kepada “link” antara “yang dibagi” dan “yang sedikit dibagi.(th)

Defenisi Kritis: Budaya itu beraneka ragam, dinamis, dan ajang persaingan.
Pendekatan kebudayaan saat ini, yang dipengaruhi oleh studi kebudayaan, menekankan pada keberagaman kelompok budaya dan konflik yang muncul dari batasan-batasan kebudayaan. contohnya, apa itu “kebudayaan Amerika Serikat”? Apakah Amerika memiliki budaya? Berapa banyak persepsi, sikap, dan kepercayaan juga tingkah laku yang berkembang di AS? Pendekatan kritis mengusulkan agar hanya melakukan penekanan pada aspek “shared culture”, dari banyaknya perbedaan kepentingan di AS. Kedepan, mereka menekankan bahwa batas budaya sering diperlombakan atau dijadikan ajang persaingan dan tidak gampang untuk diterima. Contohnya, meningkatnya pertumbuhan orang-orang seperti Tiger Woods yang memiliki banyak identitas budaya. Dia menyatakan dirinya Cablinasian- Caucasian, Kulit hitam, orang Indian, dan asia karena macam-macam latar belakang rasialnya. Dia menyatakan, bahwa banyak orang berusaha untuk mempermasalahkan latar belakang budayanya, daripada pencapaiannya dalam permainan golf.

Gagasan pemikiran budaya sebagai sesuatu yang beragam dan konflik, sering muncul berasal dari studi kebudayaan British pada tahun 1960-an. Pendidikan tentang budaya merupakan ilmu interdisipliner dan berdedikasi untuk memahami kekayaan, kompleksitas,dan relevansi fenomena budaya dalam kehidupan masyarakat biasa. Keinginan ini untuk membuat kinerja akademika berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Faktanya, kebanyakan orang ingin menemukan hubungan antara apa yang mereka pelajari di dalam kelas dan apa yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Pada beberapa kasus, pergerakan ini menimbulkan konfigurasi ulang pada peraturan universitas dalam masyarakat.
Studi kebudayaan cepat berkembang dari Inggris ke Australia, Amerika Latin, juga dunia bagian lain. Dikarenakan perbedaan situasi politik dan budaya, konstruksi spesifik dari studi kebudayaan berbeda-beda. Di Amerika contohnya, studi kebudayaan dikembangkan bersama dengan bidang komunikasi (Grossberg, 1993).

Anda mungkin mengira bahwa konsep budaya timbul dari penyelidikan yang berbeda secara nyata dari konsep yang disajikan dalam ilmu sosial atau bahkan penelitian interpretatif. Bagaimanapun, ini adalah kesepakatan dengan konsep yang ditemukan pada kinerja antropologi saat ini. banyak antropolog mengkritisi penelitian yang mengkategorikan orang dan karakteristik susunan budaya sebagaimana diatur, tidak berubah, dan tidak berhubungan dengan isu gender, kelas, juga sejarah (Keesing, 1994). Penelitian antropolog saat ini melihat proses budaya sebagai suatu yang dinamis dan berubah “organization of diversity” yang secara luas lintas Negara dan batas regional dalam konteks sejarah dan kekuasaan (Hannerz, 1996).

Pandangan yang menyatakan budaya merupakan ajang persaingan membantu kita untuk memahami perjuangan dari berbagai macam kelompok- orang Amerika asli, Asia-Amerika, penduduk Kepulauan Pasifik, Afrika-Amerika, latin, perempuan. Kaum homoseksual, pekerja, dan banyak lainnya sebagai sebuah usaha untuk mengatasi hubungan mereka dan menaikkan kesejahteraan sebagai warga Amerika. Dengan mempelajari komunikasi sebagai sumber atas perjuangan terus-menerus, kita dapat memahami secara lebih baik beberapa permasalahan antar budaya.

Memandang budaya dari sisi pertandingan membuka pemikiran baru tentang komunikasi antar budaya. Bagaimanapun, individu dalam budaya dasar tidaklah identik, dimana ditunjukkan bahwa banyak budaya dipenuhi dengan perjuangan budaya. Juga, saat kita menggunakan terminology seperti kebudayaan cina dan kebudayaan peransi, kita melihat bahwa keberagaman, perbedaan, yang ada dikebudayaan tersebut.

Pendekatan dialek kita, pemikiran, memungkinkan kita untuk menerima dan melihat keterkaitan perbedaan pandangan ini. budaya pada suatu saat dibagi dan dipelajari atas keyakinan dan persepsi yang dapat dimengerti dan bisa diterima secara luas. Ini juga merupakan sisi dari perjuangan dalam pengertian “contested”. Perspektif dialektif dapat membantu memfasilitasi diskusi dalam konflik budaya dalam sebuah Negara. Tugas kita adalah mengambil pendekatan dialektif bukan untuk mengatakan siapa benar siapa yang salah, tapi untutk mengetahui kebenaran dari semua sisi atas sebuah konflik dan memahami jalan atas banyaknya realita yang ada dari kebingungan akan kebudayaan (Cargile, 2005)

Apa Itu Komunikasi?
Komponen lain untuk memahami komunikasi antar budaya adalah komunikasi itu sendiri, yang juga sama kompleksnya seperti budaya. Yang bisa menggambarkan karakter dari komunikasi adalah “meaning”. Komunikasi terjadi pada saat seseorang memberikan pemahaman kepada orang lain lewat kata atau perbuatan. Komunikasi bisa dimengerti sebagai “symbolic process whereby reality is produced, maintained, repaired, and transformed” (Carey, 1989). Penjelasan sederhana ini melibatkan beberapa ide.

Pertama, komunikasi itu simbolik. Maksudnya bahwa kata yang kita gunakan lewat lisan maupun gesture tidak mempunyai makna yang jelas tapi menambah signifikansinya dari ”agreed-upon meaning”. Saat menggunakan simbol untuk berkomunikasi, kita menganggap orang lain mengerti. Juga, pemahaman simbolik ini disampaikan secara verbal dan nonverbal. Ribuan dari perilaku nonverbal- gesture, postur, gerakan mata, ekspresi muka, dan lainnya,-melibatkan “shared meanings”. Simbol kekuatan social seperti bendera, simbol Negara, juga logo Disney, juga mempunyai makna nonverbal.

Untuk membuat hal ini lebih kompleks, setiap pesan harus mempunyai satu makna, dan mungkin banyak makna. Contohnya, kata saya cinta kamu, bisa bermakna “saya ingin menghabiskan malam denganmu”, atau “saya merasa bersalah atas apa yang saya lakukan kemarin malam”, atau “saya ingin menghabiskan seluruh hidup denganmu.” Saat kita berkomunikasi, kita beranggapan orang lain mengerti maksud yang ingin kita sampaikan. Permasalahan akan timbul, ketika komunikasi berlangsung antar individu yang berbeda latar belakang budaya.

Kedua, proses dimana kita membicarakan makna yang dinamis. Komunikasi bukanlah tunggal, tapi proses berjalan terus-menerus- ini tergantung pada proses komunikasi orang lain untuk membuatnya dapat dimengerti. Saat kita berkomunikasi dengan orang lain, kita juga akan masuk kedalam pesan yan ingin kita sampaikan. Pesan ini tidak mempunyai ciri dan bersifat linear, dia muncul tiba-tiba, dengan batasan yang kabur antara awal dan akhir. Saat kita menyampaikan makna, kita menciptakan, mengatur, memperbaiki, dan menyampaikan realitas. Secara tidak lansung orang akan melakukan proses komunikasi. Orang tidak bisa berkomunikasi sendirian.

Hubungan Antara Budaya dan Komunikasi
Hubungan antara komunikasi dan budaya bersifat kompleks. Pandangan dialektis beranggapan bahwa budaya dan komunikasi saling berhubungan dan resiprokal. Oleh sebab itu, budaya mempengaruhi komunikasi, juga sebaliknya. Kelompok budaya mempengaruhi proses pembentukan persepsi atas realitas dan mengaturnya: “semua komunitas dimanapun dan kapanpun merujuk pada pandangan mereka atas realitas dalam tindakan mereka. Seluruh kebudayaan merefleksikan model kontemporer atas realitas” (Burke, 1985). Bagaimanapun, kita juga harus mengatakan bahwa komunikasi membantu membentuk budaya realitas atas komunitas.

Bagaimana Budaya Mempengaruhi Kebudayaan
Ilmu Komunikasi antar budaya menggunakan sudut pandang yang luas dari antropologi dan psikologi untuk menerangkan dan mempelajari perbedaan budaya dalam komunikasi. Dua diantaranya adalah antropolog Kluckhohn dan Strodtbeck serta seorang psikolog social Hofstede (1984).

Kluckhohn dan Strodtbeck Value Orientation
Mereka menekankan pada inti dari nilai budaya untuk memahami kelompok-kelompok budaya. Nilai adalah keyakinan yang paling dalam yang disampaikan dalam kelompok budaya, mereka menggambarkan penyampaian persepsi atas apa yang seharusnya ada, dan apa yang tidak. Keseimbangan, adalah contoh nilai yang disampaikan oleh banyak orang di Amerika. Ini mengacu pada keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, walaupun kita harus mengakui pada kenyataanya banyak ditemukan perbedaan, seperti bakat, kepintaran, atau akses pada barang materi tertentu.

Konflik antar budaya biasanya disebabkan perbedaan pada orientasi nilai. Contohnya beberapa orang merasa hebat dengan sangat menganggap penting apa yang telah mereka capai di masa lalu. Bagi mereka, sejarah dan tradisi merupakan petunjuk. Nilai sering menimbulkan konflik, konflik juga bisa diperburuk oleh perbedaan tingkat kekuasaan (power), dimana seseorang bisa merendahkan orang lain. Kluckholn dan Strodtbeck menyarankan agar semua anggota kelompok kebudayaan harus menjawab beberapa pertanyaan penting dibawah ini:
1. Apa itu “human nature”
2. Apa itu hubungan antara manusia dan alamnya
3. Apa itu hubungan antar manusia
4. Personality apa yang lebih disukai?
5. Apa itu orientasi pada waktu?

Pertanyaan dan jawaban yang diberikan dapat dijadikan kerangka berpikir untuk memahami perbedaan nilai antara kelompok-kelompok budaya.
Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck, ada tiga respon yang mungkin untuk setiap pertanyaan yang berkaitan dengan nilai-nilai bersama. (Lihat Tabel 3.2.) Kluckhohn dan Strodtbeck percaya bahwa, meskipun semua respon yang mungkin dalam semua masyarakat, masyarakat masing-masing memiliki satu, atau mungkin dua, respon yang lebih disukai dari setiap pertanyaan yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat yang dominan. Keyakinan Agama, misalnya, dapat memperkuat nilai-nilai budaya tertentu. Pertanyaan dan tanggapan mereka menjadi kerangka untuk memahami secara luas perbedaan dalam nilai-nilai di antara berbagai kelompok budaya. Meskipun kerangka awalnya diterapkan untuk kelompok etnis, kita dapat memperluas untuk kelompok budaya berdasarkan jenis kelamin, kelas, kebangsaan, dan sebagainya.

Sifat Human Nature yang ditunjukkan tabel, ada tiga respon yang mungkin, atau solusi, untuk pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai sifat manusia. Salah satu solusinya adalah kepercayaan pada kebaikan dasar sifat manusia. Praktek-praktek hukum dalam sebuah masyarakat yang memiliki orientasi ini akan menekankan rehabilitasi pelanggar hukum; penjara dan penjara akan dilihat sebagai tempat untuk melatih pelanggar untuk bergabung kembali dengan masyarakat sebagai kontribusi warga negara. Agama seperti Buddha dan Konghucu cenderung ke arah orientasi ini, berfokus pada peningkatan kebaikan alami manusia.

Solusi kedua mencerminkan persepsi dari kombinasi kebaikan dan kejahatan dalam sifat manusia. Banyak kelompok di Amerika Serikat terus menggunakan orientasi nilai ini, walaupun sudah ada pergeseran dalam pandangan banyak orang Amerika AS dalam 50 tahun terakhir. Berkenaan dengan keyakinan agama, adanya kurang penekanan pada kejahatan kemanusiaan fundamental, yang banyak pemukim Eropa tradisi Puritan anut/percaya (Kohls, 1996). Namun, saat ini lebih menekankan pada penahanan dan hukuman bagi pelanggar hukum. Sebagai contoh, perhatikan peningkatan undang-undang “tiga serangan” (three strikes) dan kurangnya minat dalam rehabilitasi dan reformasi. Mengingat orientasi ini, tidak mengherankan, Amerika Serikat saat ini memiliki proporsi tahanan (warga-dipenjara) yang lebih tinggi daripada negara industri lainnya.

Menurut orientasi ketiga, sifat manusia pada dasarnya jahat. Masyarakat yang memegang keyakinan ini akan kurang tertarik pada rehabilitasi penjahat daripada hukuman. Kita sering memiliki pemahaman masalah penyiksaan atau praktek memotong tangan dan anggota badan lainnya – praktek lazim di banyak masyarakat di masa lalu-tanpa memahami orientasi mereka pada sifat manusia. Saat ia tinggal di Belgia, Tom terutama terkesan dengan tampilan dari hukuman dan penyiksaan di Persidangan (Counts) Flanders Castle di Ghent. Mungkin kunci untuk memahami praktek-praktek budaya adalah pemahaman tentang pandangan Kristen, bahwa manusia pada dasarnya jahat dan lahir dalam dosa.

POINT OF VIEW
Sarjana komunikasi Korea Tae-Seop Lim dan Soo-Hyang Choi menggambarkan nilai kolektivisme Korea, seperti yang diungkapkan dalam hubungan interpersonal dan komunikasi.

Secara tradisional, Korea memiliki hubungan sosial yang dihargai lebih dari apapun jua. Korea sering melupakan kepentingan sendiri pribadi dan kesejahteraan kelompok mereka milik demi hubungan interpersonal mereka. Karena Korea menekankan hubungan sosial, kemampuan untuk menjaga hubungan interpersonal yang baik juga dihargai. Orang dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk mempertahankan hubungan yang sukses. Memiliki hubungan baik dengan orang lain adalah yang dipertimbangkan untuk mencerminkan karakter seseorang serta kompetensi.
Che-myon adalah apa yang memungkinkan seseorang untuk menghadapi orang lain dengan martabat. Bagian dari che-myon, seperti “konsep wajah” di Barat, merupakan pribadi dan dinegosiasikan tanpa interaksi. Aspek che-myon orang Korea benar-benar sensitif, bagaimanapun, che-myon adalah sosiologis dan normatif. Ini diperluas hingga satu dalam hubungannya dengan posisi sosial seseorang.

Noon-chi adalah apa yang membuat komunikasi diam-diam (tacit) terjadi. Ini adalah strategi yang memungkinkan seseorang untuk mengetahui niat, keinginan, suasana hati, dan sikap yang lainnya tanpa bertukar pesan verbal eksplisit. Hal ini mirip dengan gagasan Barat “membaca yang tersirat,” tetapi jauh lebih rumit daripada gagasan Barat. Noon-chi kadang-kadang membaca sesuatu tidak ada, artinya, membaca pikiran orang lain bahkan sebelum yang oraang lain tersebut mengetahui pikirannya sendiri. Noon-chi sering digunakan untuk melindungi masing-masing che-myon mereka. Ketika seseorang perlu melakukan tindakan wajah tertentu yang mengancam, jika orang lain memahami kebutuhan seseorang sebelum seseorang tersebut mengungkapkannya dan bereaksi dengan tepat, maka kedua belah pihak tidak perlu membahayakan che-myon mereka….

Hubungan yang saling membutuhkan Jung harus solid. Jung adalah jenis ikatan emosional yang tumbuh dari waktu ke waktu sebagai orang dalam suatu hubungan yang membuat kontak berulang satu sama lain. Ini berfungsi untuk membuat suatu hubungan ikatan kuat. Sebagai hubungan yang tumbuh tua (grows-old), cinta yang sering lenyap, tapi jung biasanya tumbuh makin dalam.
Sumber: Dari T.-S. Lim dan S.-H. Choi, “Hubungan interpersonal di Korea.” Dalam WB Gudykunst et Al. (Eds.) Komunikasi dalam Hubungan Pribadi Antar Budaya (Thousand Oaks, CA Sage,. 1996), hal 122-136.
Hubungan Antara Manusia dan Alam

Pada sebagian besar masyarakat AS, manusia mendominasi alam. Sebagai contoh, para ilmuwan benih awan saat kita membutuhkan hujan, dan insinyur rute sungai dan membangun bendungan untuk memenuhi kebutuhan air, rekreasi, dan power. Kami kontrol kelahiran dengan obat-obatan dan alat kesehatan, dan kami membuat salju dan es untuk hiburan rekreasi ski dan skating. Tentu saja, tidak semua orang di Amerika Serikat setuju bahwa manusia harus selalu mendominasi alam. Konflik antara enviromentalis dan pengembang lahan sering berpusat pada perbedaan pendapat dalam orientasi nilai ini. Dan, tentu saja, ada variasi dalam cara nilai-nilai ini bermain dalam masyarakat yang berbeda. Sebagai contoh, negara seperti Kanada, yang umumnya mengemban suatu orientasi “manusia di atas alam”, tampaknya masih lebih peduli dengan masalah lingkungan daripada Amerika Serikat. Seperti dijelaskan oleh pelajar,

Kanada sangat konsen melindungi lingkungan mereka, dan ini sangat jelas bahkan jika Anda hanya melakukan perjalanan melalui Kanada. Mereka konsen tentang air bersih, udara bersih dan tidak melakukan terlalu banyak penebangan pohon mereka, menjaga aliran bebas dari polusi, dll.
Dalam masyarakat yang percaya terutama di dominasi alam di atas manusia, keputusan dibuat berbeda. Keluarga mungkin lebih menerima jumlah anak yang lahir secara alami. Ada intervensi kurang dalam proses-proses alam, dan ada sedikit upaya untuk mengontrol apa yang orang lihat sebagai tatanan alam.
Banyak penduduk asli Amerika dan Jepang percaya pada nilai manusia hidup harmonis dengan alam, bukan dari satu kekuatan mendominasi yang lain. Dalam orientasi nilai, alam dihormati dan memainkan bagian yang tidak terpisahkan dalam spiritual dan kehidupan keagamaan masyarakat. Sebagian masyarakat misalnya, kelompok Arab banyak menekankan aspek, baik harmoni maupun dominasi dengan alam. Hal ini mengingatkan kita bahwa nilai-nilai dimainkan dengan cara yang sangat kompleks dalam setiap kelompok budaya.

Hubungan Antara Manusia
Beberapa kelompok budaya menganut nilai individualisme, sedangkan yang lain lebih berorientasi kelompok. Perbedaan budaya yang berkaitan dengan nilai-nilai ini membedakan dua jenis masyarakat. Individualisme, sering dikutip sebagai nilai yang dimiliki oleh Eropa Amerika, tempat-tempat penting pada individu bukan pada keluarga, kelompok kerja, atau kelompok lain (Bellah, Madsen, Sullivan, Swidler, & Tipton, 1985). Karakteristik ini sering disebut sebagai nilai budaya Eropa Amerika yang paling penting. Sebaliknya, orang-orang dari masyarakat yang lebih collectivistic, seperti di Amerika Tengah dan Selatan, Asia, dan banyak masyarakat Arab, tempat penting ada pada keluarga besar dan loyalitas kelompok. Di Amerika Serikat, ini adalah kasus di komunitas Amish dan di beberapa Latino/a dan masyarakat penduduk asli Amerika. Seorang pengunjung ke Meksiko menjelaskan salah satu contoh dari kolektivisme dalam budaya, bahwa:

Aku ingat bahwa di depan umum anak-anak sepertinya selalu disertai oleh seorang yang lebih tua, biasanya anggota keluarga. Orang-orang yang pergi bersama di dalam kelompok keluarga ̶ anak dengan saudara yang lebih tua, kakek, bibi ̶ hampir tidak dengan yang se-usia, di sini di Amerika Serikat.
Orientasi kolateral menekankan koneksi kolektif untuk orang lain (kebanyakan anggota keluarga) bahkan setelah kematian. Orientasi ini ditemukan dalam budaya di mana nenek moyang dilihat sebagai bagian dari keluarga dan berpengaruh dalam keputusan meskipun mereka tidak hidup. Contoh ini termasuk praktek Asia mempertahankan meja di rumah untuk menghormati nenek moyang mereka atau orang Meksiko mempraktekkan “Hari Mati” (Day of the Dead) memiliki piknik dekat makam anggota keluarga dan meninggalkan makanan untuk mereka. (Lihat Gambar 3.2.)

Liburan adalah cara yang signifikan memberlakukan dan mentransmisikan budaya, dan nilai-nilai budaya di seluruh generasi. Sebagai contoh, Kwanzaa merupakan hari libur penting bagi Amerika Afrika. Ini didirikan tahun 1966 oleh Ron Karenga dan berlangsung tujuh hari – 26Desember hingga 1 Januari – untuk menandai tujuh nilai-nilai budaya yang penting: kesatuan, penentuan nasib sendiri, kerja kolektif dan tanggung jawab, ekonomi koperasi, tujuan, kreativitas, dan iman. Liburan apa yang keluarga Anda rayakan? Apa nilai-nilai budaya yang sedang ditransmisikan dalam perayaan tersebut? (© Lawrence Migdale / Getty)

Nilai juga mungkin terkait dengan status ekonomi atau perbedaan desa-kota. Di Amerika Serikat, misalnya, orang kelas pekerja cenderung lebih kolektif daripada orang menengah atau kelas atas. (Pada orang kelas-pekerja dilaporkan menyumbang persentase yang lebih tinggi dari waktu dan uang untuk membantu orang lain.) Sejarawan Roxanne A. Dunbar (1997), yang tumbuh miskin di Oklahoma, menggambarkan perjumpaan dia dengan individualisme kelas-menengah saat di perjalanan mobilnya bersama suami barunya, Jimmy. Mereka melewati beberapa pengendara yang terdampar, para perempuan yang duduk di tempat teduh sementara laki-laki bekerja pada mobil. Dia terkejut ketika suaminya tidak berhenti untuk membantu:
“Mengapa kita tidak berhenti?” Aku bertanya. Tak seorang pun di keluarga saya akan pernah melewati sebuah pengendara mobil yang terdampar …
“Mereka preman, merampok Anda dengan membabi buta, bandit jalan raya,” kata Jimmy.
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku tahu, mereka menggunakan anak-anak dan orang tua untuk umpan, untuk membuat Anda berhenti, kemudian merampok Anda, mereka transien, pemetik buah, sampah putih.”
Aku menatap wajah-wajah sedih ketika kami melewati dan mencoba untuk melihat penipu dan kriminal di balik topeng. Tapi mereka hanya tampak akrab, seperti saudara saya sendiri. (Hal.83)
Nilai-nilai budaya dapat mempengaruhi pola komunikasi. Misalnya, orang yang menganut nilai individualisme juga cenderung untuk mendukung bentuk komunikasi langsung dan mendukung bentuk-bentuk yang jelas dari resolusi konflik. Orang-orang di masyarakat kolektif dapat menggunakan komunikasi yang kurang langsung dan lebih menghindari gaya resolusi konflik. Tentu saja, kadang-kadang orang pada kelompok budaya memegang nilai-nilai yang bertentangan. Sebagai contoh, sebagian besar konteks pekerja AS memerlukan komunikasi yang sangat individualistik, yang mungkin berkonflik dengan beberapa pekerja dari keluarga collectivistic atau latar belakang etnis. Pekerja mungkin merasa sulit untuk damai dan hidup dengan nilai-nilai bersaing. Pertimbangkan pengalaman Lucia, seorang mahasiswa penduduk asli Amerika. Ketika salah satu pamannya meninggal dunia pada minggu pertama sekolah, ia diharapkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan keluarga. Dia bepergian keluar dari negara bersama keluarganya ke rumahnya, membantu memasak dan memberi makan anggota keluarga lainnya, dan menghadiri (bangun dan) pemakaman. Lalu ibunya jatuh sakit, dan ia harus merawatnya. Dengan demikian, ia melewatkan dua minggu pertama sekolah. Beberapa dosen wanita itu simpatik, sedangkan yang lainnya tidak. Lucia menjelaskan, ia merasa hampir terus-menerus terpecah antara tuntutan keluarga yang collectivistic dan tuntutan dosen yang individualistis dan administrasi.

POINT OF VIEW
Dua berita di koran Belgia, Le Soir menampilkan nilai-nilai budaya yang tampaknya bertentangan. Pertama, Yves Berger, seorang penulis dan spesialis AS, diminta untuk menjelaskan urusan seksual Presiden Bill Clinton.
Dalam kasus apapun, itu menunjukkan puritanisme sejauh mana tertanam dalam mentalitas Amerika. Hal ini mungkin tampak luar biasa sebagai orang Amerika, dalam keseharian kami, memberikan tampilan yang berlawanan.
Artikel lain di koran yang sama menggambarkan pertumbuhan dramatis industri pornografi AS.

Pasar video dewasa sedang booming dan tokoh-tokoh bisnis penyewaan dan penjualan video dewasa meningkat pada 1997 sebesar 4.200.000.000 dolar, sesuai dengan panduan tahunan Berita Adult Video
Sumber: Dari Y. Berger, “A bout portant,” Le Soir, 7 Januari 1998, hal 2; dari “Marche porno en ekspansi aux Etats-Unis,” Le Soir, 7 Januari 1999, hal 11.
Bentuk Kegiatan yang dipilih

“Nilai aktivitas” yang paling umum di Amerika Serikat adalah orientasi “melakukan”, yang menekankan produktivitas. (Ingat ungkapan “Tangan yang diam adalah workshopnya iblis” (Idle hands are the devil’s workshop)?)
Pekerjaan sistem reward mencerminkan nilai ini dalam: bahwa para pekerja seringkali harus mendokumentasikan kemajuan mereka (misalnya, dalam jumlah penjualan atau jumlah klien terlihat). Secara umum, status tertinggi diberikan pada mereka yang “melakukan” (tokoh olahraga, dokter, pengacara), bukan pada mereka yang “berpikir” (filsuf, profesor, imam) (Stewart & Bennett, 1991).

orientasi “tumbuh” menekankan aspek-aspek spiritual kehidupan. Orientasi ini tampaknya kurang lazim dibandingkan dengan dua lainnya, mungkin dilakukan hanya dalam Buddhisme Zen dan sebagai motif budaya di Amerika Serikat pada 1960-an (Stewart & Bennett, 1991). Beberapa masyarakat, seperti di Jepang, menggabungkan kedua orientasinya “melakukan” dan “tumbuh”, menekankan pada tindakan (action) dan pertumbuhan rohani (spiritual). Solusi ketiga adalah untuk menekankan “menjadi”, semacam aktualisasi diri di mana individu tersebut menyatu dengan pengalaman. Beberapa masyarakat di Amerika Tengah dan Selatan, serta Yunani dan Spanyol, menunjukkan orientasi ini.

POINT OF VIEW

Dalam sebuah wawancara yang muncul di Le Nouvel Observateur, Francois Mas diminta untuk menjelaskan popularitas obat Viagra (obat untuk impotensi seksual) di Amerika Serikat. Dia berhubungan popularitas ke nilai “dapat melakukan” (“can do”) rakyat Amerika Serikat.

Mungkin yang paling mengungkapkan ini adalah sikap “dapat melakukan” (can do attitude). Sikap ini, diwarisi dari para pionir, adalah bagaimana masyarakat Amerika, pada umumnya, berkaitan dengan permasalahan yang ada.
Berpusat pada aplikasi yang kongkrit dan praktis, dan sering dipandang naif dalam pandangan budaya yang lebih tua, pendekatan ini memiliki keunggulan dari menyebarkan semacam energi, dan menolak oposisi untuk maju.
Sumber: Dari F. Mas, ‘vers Sexuel Renouveau un, “Le Nouvel Observateur, Mei 1998, hlm 21-27.

Orientasi ke Waktu
Kebanyakan komunitas budaya AS ̶ khususnya Amerika dan Eropa kelas menengah ̶ tampaknya menekankan masa depan. Mempertimbangkan praktek menyimpan uang dalam rekening pensiun atau menyimpan buku janji (buku agenda) yang mencapai tahun ke depan. Masyarakat lainnya ̶ misalnya, di Spanyol atau Yunani ̶ tampaknya menekankan pentingnya saat ini, pengakuan dari nilai hidup sepenuhnya dan mewujudkan potensi saat ini. Salah satu teman kita menggambarkan kesan perbedaan nilai setelah kunjungan ke Meksiko:
Saya punya pengalaman indah di Meksiko. Aku suka energinya ̶ SELALU ada begitu banyak yang terjadi di jalanan, dan di Zocalo, tiap jam dalam siang dan malam.

Dan ketika aku kembali ke AS, jalan-jalan terasa begitu mati ̶ semua orang secara individual sendirian di rumah kecil mereka sendiri di sini. Aku tiba-tiba merasa begitu kekurangan indera! Kurasa sebagian aku juga suka itu, karena begitu berbeda secara budaya, dari cara saya dibesarkan. Penekanan untuk mengekspresikan dan berfokus pada kehidupan di masa sekarang. Saya tidak ingin menyiratkan kehidupan itu konstan dipikirkan fiesta di Meksiko, karena itu tidak. Tapi ada semacam joie de vivre dan kenikmatan hidup SEKARANG yang pasti tidak hadir pada keluarga-ku yang sangat dibatasi, gaya hidup terkendali, serius! Dan tampak sangat kontras dengan Meksiko!

Masyarakat Eropa dan Asia Banyak sangat menekankan masa lalu, percaya bahwa pengetahuan dan kesadaran sejarah memiliki sesuatu untuk berkontribusi pada pemahaman kehidupan kontemporer. Misalnya, Menara Miring Pisa ditutup selama 10 tahun sementara pekerja Italia memperbaiki kerusakan struktural pada bangunan bersejarah tersebut.

Hofstede Nilai Orientasi
Psikolog sosial Geert Hofstede (1984) memperpanjang kerja Kluckhohn dan Strodtbeck, berdasarkan penelitian lintas-budaya yang luas pada personil yang bekerja di anak perusahaan IBM di 53 negara. Sedangkan Kluckhohn dan Strodbeck (1961) berdasarkan kerangka kerja mereka pada pola budaya masyarakat etnis di Amerika Serikat, Hofstede dan koleganya menguji perbedaan nilai di antara masyarakat nasional. Hofstede mengidentifikasikan lima bidang masalah umum. Satu masalah jenis, individualisme versus kolektivisme, muncul dalam kerangka Kluckhohn dan Strodbeck. Meskipun masalah tersebut dibagi oleh kelompok-kelompok budaya yang berbeda, solusi bervariasi dari budaya ke budaya (Hofstede & Hofstede Seperti terlihat pada Tabel 3.3, jenis masalah diidentifikasi sebagai berikut:
– Jarak Kekuasaan: ketimpangan sosial, termasuk hubungan dengan otoritas
– Feminitas versus maskulinitas: implikasi sosial telah lahir laki-laki atau perempuan
– Cara menghadapi ketidakpastian, mengendalikan agresi, dan mengekspresikan emosi
– Jangka panjang versus jangka pendek orientasi hidup
Hofstede kemudian diteliti bagaimana berbagai nilai-nilai budaya mempengaruhi perilaku perusahaan di berbagai negara. Mari kita periksa jenis masalah lain yang lebih dekat. (Lihat Tabel 3.3.)

Jarak Kekuasaan
Jarak Kekuasaan adalah sebuah dimensi variabilitas budaya yang menyangkut sejauh mana orang menerima ketimpangan distribusi kekuasaan.
Jarak kekuasaan mengacu pada sejauh mana anggota lembaga yang tidak kuat (tidak berkuasa) dan organisasi dalam suatu negara harapkan dan menerima ketimpangan distribusi kekuasaan. Denmark, Israel, dan Selandia Baru, misalnya, nilai jarak kekuasaan yang kecil. Kebanyakan orang percaya bahwa ada kurangnya hirarki adalah lebih baik dan kekuasaan yang harus digunakan hanya untuk tujuan yang sah. Oleh karena itu, para pemimpin terbaik perusahaan di negara-negara adalah mereka yang meminimalkan perbedaan-perbedaan kekuasaan. Dalam masyarakat bahwa nilai jarak kekuasaan yang besar ̶ misalnya, Meksiko, Filipina, dan India ̶ yang proses pengambilan keputusan dan hubungan antara manajer dan bawahan yang lebih formal. Selain itu, orang mungkin tidak nyaman di tempat di mana hirarki tidak jelas atau ambigu.

Nilai maskulinitas dan feminitas merujuk pada dua dimensi. Pertama, pada tingkatan dimana peranan berbasis spesifik gender dinilai, dan kedua dpada nilai kelompok. Nilai maskulin biasanya didakukan pada pencapaian pribadi, ambisi, penumpukan barang konsumsi. Sementara nilai feminin lebih pada kualitas hidup, melayani orang lain, mengasuh, dan memperhatikan mereka yang kurang beruntung. Sebagai contoh pegawai IBM di Jepang, Austria, dan Meksiko mempunyai nilai tinggi pada orientasi maskulin terhadap pekerjaan. Pegawai gaji, misalnya, lebih baik dipegang kaum pria sementara untuk perempuan lebih cocok sebagai guru. Di sisi lain, di bagian Eropa Utara seperti Denmark, Norwegia, Swedia, dan Belanda cenderung mempunyai skor tingi dalam orientasi feminin yang ditunjukkan keinsyafan tinggi terhadap kesetaraan gender dan lebi mementingkan kualitas hidup.

Penghindaran ketidakpastian menelaah pada sejauh mana tingkatan respon individu ketika terancam oleh situasi tidak pasti. Apakah menghindar atau mencoba membentuk struktur baru untuk mengkompensasi ketidakpastian. Masyarakat Swedia, Hongkong, Inggris, dan Amerika Serikat yang berorientasi penghindaran resiko rendah cenderung membatasi aturan, menerima perbedaan pendapat dan berani mengambil resiko. Sementara di ujung lain masyarakat dengan orientasi penghindaran ketidakpastian tinggi seperti Yunani, Portugal dan Jepang biasanya mempunyai peraturan dalam organisasi dengan cakupan luas serta cenderung mencari konsensus dalam rangka pencapaian tujuan.
Penelitian Hofstede sejatinya hanya memuat 4 kategori dan dikritik karena terlalu menganut pandangan peradaban Barat. Sekelompok peneliti China lalu mengembangkan penelitian serupa di 22 negara. Kuesioner mereka juga memuat pandangan mengenai Konfusionisme yang dianut sebagian besar perantauan China. Hasilnya, 3 kategori seperti individualism-kolektivisme, jarak kekuasan, dan feminine-maskulin berlaku umum. Sementara penghindaran ketidakpastian condong pada kebudayaan Barat. Dimensi kelima yang muncul dan berlaku universal adalah orientasi jangka panjang vs orientasi jangka pendek yang merefleksikan pencarian masyarakat akan kebajikan atau kebenaran.

Orienasi jangka pendek berhubungan dengan kebeneran seketika (direfleksikan dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam) yang terfokus pada hasil yang bisa segera dinikmati dan menyadari mengenai pentingnya tekanan sosial untuk kompromi. Sementara orientasi jangka panjang lebih berhubungan dengan kebijaksanaan (ter-refleksi dalam Konfusianisme, Hindu, Buddha, dan Sinto) yang terfokus pada pola hidup sederhana, ketekunan, dan keuletan serta kesediaan untuk mengorbankan diri sendiri untuk tujuan kelompok yang lebih besar.

Keterbatasan kerangka nilai
Perlu dicamkan bahwa tidak setiap orang dalam suatu masyarakat akan berperan sesuai dengan nilai dominan yang berlaku. Hal itu membuat kita tidak terjerembab mensterotipkan individu berdasarkan suatu orientasi nilai tertentu. Contohnya, tidak setiap orang Jepang berorientasi pada nilai kolektif. Perlu diingat bahwa budaya bersifat dinamis dan heterogen. Heterogenitas nilai lazim dijumpai dalam masyarakat yang mengalami perubahan sosial yang cepat seperti Jepang yang 50 tahun lampu luluh lantak akibat serangan militer dan mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Hasil penelitian menunjukkan preferensi mahasiswa Jepang terhadap individualisme tidak berbeda nyata dengan mahasiswa Amerika yang diidentikkan mengagungkan nilia tersebut.
Kelemahan lain pendekatan ini mengkerdilkan/mereduksi seseorang dengan jalan memberikan label yang melekat terus menerus. Artinya, individu akan dianggap mempunyai karakteristik sifat suatu nilai kelompok sepanjang waktu dan di setiap konteks. Hal ini yang dikritik Tim Ambler dan Morgen Witzel yang mengajukan perpektif dialektis untuk memahami hal ini. Menurut keduanya, orientasi nilai selalu hadir dalam setiap kebudayaan dalam bentuk rentangan, lebih sedikit atau lebih banyak.

Berdasarkan prinisp ini walaupun individu mempunyai pandangan orientasi nilai tertentu yang berbeda, mereka juga bisa memegang orientasi nilai lain yang secara umum berlaku di tengah suatu masyarakat. Misalnya, seseorang mempunyai perbedaan mengenai nilai individualias atau kolektivitas, namun uga percaya mengenai kebaikan manusia dan menjalankan praktek keberagamaan yang sama dengan mayoritas anggota kelompok. Dialektika statis-dinamis juga mengingatkan walau nilai suatu kelompok relatif konsisten, manusia adalah makhluk dinamis dan berperilaku sesuai konteks.

Bagaimana komunikasi meneguhkan budaya

Budaya tidak hanya mempengaruhi komunikasi, namun disalurkan dan turut dipengaruhi oleh komunikasi. Walhasil para ilmuwan komunikasi berusaha memahami pola komunikasi yang bersifat khusus dan memberi warna terhadap identitas kultural. Terutama dalam hal bagaimana bentuk dan kerangka kultural seperti ritual, mitos dan drama sosial terpancar lewat norma percakapan yang terstruktur dan proses interaksi sosial.

Tamar Katrile, sebagai contoh, menelaah “griping” sebuah ritual komunikasi yang berlaku di kalangan kelas menengah Israel. Menggunakan kerangka SPEAKING (scene, participant, end, act, sequence, key, instrumentality, norms dan genre). Hasilnya: topik griping (bergosip) biasanya berhubungan dengan wilayah kehidupan public. Tujuannya bukan menyelesaikan masalah namun sarana meredakan ketegangan dan berbagi realitas dan nilai sebagai orang Israel. Instrumentalitas atau saluran menggunakan komunikasi tatap muka dan scene atau setting waktu biasanya setiap Jumat malam di rumah anggota perkumpulan. Pesertanya terbuka bagi siapa saja, bukan hanya teman namun biasanya sudah dikenal anggota kelompok. Kunci atau tekanan perbicaraan biasanya bernada frustasi. Urutannya biasanya dimulai dengan obrolan pembuka tentang keluhan mengenai sesuatu hal, dilanjutkan komentar dari anggota lain dan mulai menukik pada masalah yang lebih spesifik. Sebelum penutupan peserta biasanya menyetujui bahwa masalah itu serius dan bukan main-main.

Menurut Katrile, ada perbedaan antara griping warga Isareal dengan ritual komunikasi yang kerap dilakukan warga kelas menengah Amerika. Ritual komunikasi sendiri sebentuk cara untuk mendekatkan diri dan kerap dimanfaatkan sebagai sarana menyemangati orang lain, dengan percapaan bebas untuk memevahkan masalah pribadi dan meneguhkan identitas kelompok. Dimulai dari duduk bersama, membahas permasalaha, dan mendiskusikan pemecahan. Kesamaan keduanya berfungsi mendramatisir masalah kebudayaan secara umum, menyediakan sebuah konteks sosial untuk meredakan ketegangan dan frustasi, serta mempromosikan identitas komunitas.

Pendekatan lain dari studi komunikasi budaya memandang budaya sebagai sebuah perfomatig atau pertunjukan. Pendekatan ini membahas bagaimaan orang menyalurkan dan merepresentasikan pandangan dunia budaya yang dianutnya. Contohnya kaum pria Teamsville untuk meneguhkan status gendernya hanya berbicara pada sesame pria dan tidak pada wanita atau anak-anak. Pendekatan interpretatif seperti ini biasanya memanfaatkan nilai budaya sebagai sebuah pandangan untuk menjelaskan bentuk pola budaya.
Contohnya penelitian sosiolinguistik Kristine Fith mengenai perintah. Penduduk Boulder, Colorado, Amerika Serikat ketika hendak memerintah seseorang dilakukan secara hati-hati supaya tidak menyerang atau dianggap mengganggu otonomi individu karena kuat mengaut faham individualisme. Sementara di Bogota, Kolombia, dimana nilai kelompok berperan, perintah dinegosiasikan dalam hubungan, seseorang yang hendak memerintah harus mempunyai confianza (pengakuan) dan status sosial lebih tinggi sehingga dapat memerintah seseorang. Penting diingat nilai budaya bisa digunakan untuk menunjukkan tidak hanya bagaimana budaya berpengaruh terhadap komunikasi, namun juga menjelaskan bagaimana komunikasi meneguhkan nilai suatu budaya.

Komunikasi sebagai sebentuk perlawanan terhadap nilai dominan
Perlawanan adalah metaphor atau kiasan dalam studi budaya untuk menkonseptualiasikan hubungan antara budaya dan komunikasi. Dalam hal ini bagaimana individu memanfaatkan konteks sosial yang ada untuk melawan terhadap kekuatan dominan. Contohnya protes imigran di Perancis terhadap diskriminasi rasial yang terjadi.

Hubungan antara komunikasi dan konteks
Konteks merujuk pada aspek fisik atau sosial situasi dimana komunikasi terjadi. Cara orang berkomunikasi berbeda bergantung terhadap konteks. Konteks ini berwujud secara sosial, politis dan struktur historis dimana peristiwa komunikasi terjadi.

Konteks sosial biasanya dipengaruhi oleh tingkatan oleh lingkungan dimana suatu masyarakat berada. Contohnya iklan Calvin klein yagn memanfaatkan model remaja putri dianggap mengarah pada kecenderungan pedofilia. Mafhum konteks masyarakat dimana iklan itu beredar menganggap hal itu sebagai perilaku bejat atau buruk. Walaupun dalam konteks sejarah dan masyarakat lain hal itu tidak sepenuhnya dianggap buruk.

Konteks politis biasanya merujuk komunikasi sebagai sebentuk kekuatan yang berusaha untuk mengubah atau mempertahankan struktur atau hubungan sosial yang sudah ada atau mapan. Contohnya, demonstran yang melempari cat merah pada orang yang mengenakan pakaian dair bulu binatang sebagai wujud pembelaan terhadap hak-hak kesejahteraan hewan. Bisa pula merujuk konteks historis. Misalnya, lulusan Universitas Harvard dianggap lebih mumpuni dan dihargai karena berhubungan dengan sejarah panjang universitas tersebut dan rekam jejak lulusannya yang menempati posisi penting dalam pemerintahan.(fy)

HUBUNGAN KOMUNIKASI DENGAN KEKUASAAN

Power bisa menembus dalam interaksi komunikasi kita, meskipun tidak selalu nyata bagaimana power mempengaruhi proses komunikasi atau berbagai macam makna yang dikonstruksikan melalui komunikasi yang kita bangun. Kita kerapkali berfikir mengenai komunikasi antar individu sebagaimana terjadi komunikasi antar satu sama lain, namun hal ini jarang ada kasus yang terjadi (Allen, 2004), sebagaimana cendekiawan komunikasi, Mark Orbe menggambarkan sebagai berikut;

Di setiap masyarakat sebuah hirarki sosial hidup yang memiliki hak istimewa di atas golongan masyarakat lainnya. Golongan golongan yang memiliki fungsi hirarki sosial tinggi menentukan keleluasaan terhadap sistem komunikasi di masyarakat luas.
Orbe menggambarkan bagaimana golongan-golongan memiliki power. Secara sadar maupun tidak, menciptakan dan mempertahankan sistem komunikasi yang merefleksikan, memperkuat dan menganjurkan cara berfikir dan berkomunikasi menurut mereka. Ada dua tingkat pada group-related power yaitu;
1. The primary dimension yaitu mencakup aspek umur, etnisitas, jender, kemampuan fisik, ras dan orientasi seksual. Yang mana semua itu lebih permanen dan alami.
2. The secondary dimension yaitu mencakup latarbelakang pendidikan, lokasi geografis, status perkawinan, status ekonomi. Yang mana semua itu lebih mudah berubah (Loden & Rosener, 1991)
Kedua dimensi poin di atas adalah sistem komunikasi yang dominan akhirnya merintangi siapa saja yang tidak berbagi sistem. Misalnya gaya komunikasi yang paling dihargai di ruang kelas (college) menekankan public speaking dan kompetisi (karena orang pertama yang mengangkat tangannya akan berbicara). Namun tidak semua mahasiswa cocok dengan gaya komunikasi seperti di atas, namun mereka yang berbicara secara alami kemungkinan akan berhasil.
Power juga berasal dari institusi sosial dan peran individual menempati institusi tersebut. Misalnya di ruangan kelas ada ketidaksamaan secara temporer, dengan instruktur yang lebih kuat dan berpengaruh. Setelah itu, mereka menetapkan syarat kursus, memberikan level, menentukan siapa yang berbicara dan lainnya. Pada kasus ini, power tidak meletakkan melalui instruktur individu namun melalui peran mereka yang menjadikan.

POINT OF VIEW
Rose wiitz seorang cendekiawan komunikasi menggambarkan pentingnya rambut wanita untuk menarik kaum pria. Meskipun beberapa penulis mengatakan bahwa seorang wanita yang menggunakan cara “hair flip” dalam menarik kaum pria sebenarnya mereka juga tidak menyadari hanya sebuah usaha dalam mengikuti tradisi, hasil wawancara dengan para perempuan menyatakan bahwa banyak yang benar-benar sadar terhadap tradisi dan kekuatan “flip” itu. Maka yang tidak bisa berpartisipasi merasa termarjinalkan.
Power itu dinamis. Tidak juga sebuah cara yang sederhana. Misalnya, para mahasiswa mungkin meninggalkan ruang kelas saat masih kelas berjalan, atau mereka mungkin berbicara satu sama lain saat professor menerangkan maka hal itu merupakan kelemahan professor terhadap mahasiswa itu. Mereka mungkin juga menolak menerima nilai dan mengajukan sebuah keluhan terhadap administrasi kampus yang mengatur seluruh perubahan nilai. Lebih jelasnya tipical power relationship antara instruktur dengan mahasiswa sering tidak kuat di luar kelas. Meskipun beberapa isu power memainkan kontek sosial yang lebih luas (Johnson 2001). misalnya, dalam masyarakat kontemporer, perusahaan kosmetik memiliki ketertarikan pribadi dalam sebagian image kecantikan wanita yang mencakup belanja dan memakai make up. Iklan merangsang wanita dan mereka merasa dipaksa berpartisipasi terhadap consensus budaya. Daya tahan bisa diekspresikan melalui penolakan bersama terhadap standar budaya kecantikan. Angela, seorang mahasiswa dari rural Michigan, menggambarkan bagaimana ia menolak budaya kecantikan di Metropolitan University :

“Saya pergi ke sekolah, saat saya melihat di sekeliling saya merasa tidak cocok. Saya tak memiliki satu dari dua pilihan untuk mencocokkan diri seperti para wanita yang nampak di sini atau saya menyamakan saja dengan mereka. Atau saya pilih sebagaimana persepsi saya. Saya merasa lebih percaya diri dengan cara ini. Saya masih ingat betul saat melihat gadis berambut pirang dengan fake boob dan celana panjang warna hitam yang dipakai di kampus. Empat tahun setelah itu, saya memiliki sikap yang dewasa dan menyadari bahwa budaya ini tidak cocok untuk saya.”
Apa yang terjadi ketika seseorang sebagaimana Angela tidak memutuskan menggunakan ketentuan ini? Tanpa memperhatikan alasan individu setiap wanita untuk tidak ikut serta, orang lain mungkin memaknai tingkah lakunya melalui cara dengan tidak memadukan beserta alasannya.
Kelompok kultur dominan berusaha menghidupkan posisi istimewa dengan berbagai cara. Meskipun kelompok subordinat bisa bertahan dari dominasi ini melalui banyak cara juga. Golongan kultural bisa menggunakan maksud legal dan politik dalam mempertahankan dominasinya. Namun tidak hanya melibatkan relasi kekuasaan. Kelompok bisa bernegosiasi beraneka relasi terhadap kultur misalnya dengan memboikot ekonomi. Individu dapat menganut (atau tidak menganut) spesifik majalah, surat kabar, program TV, menulis surat kepada instansi pemerintahan atau beraksi dengan cara lain dalam merubah atau mempengaruhi power.

Power itu komplek, khususnya terkait dengan institusi atau struktur sosial. Beberapa ketidakadilan seperti dalam jender, kelas, atau ras mungkin lebih kaku daripada hal yang dibuat bersifat temporer seperti antara murid dengan guru. Relasi keduanya lebih komplek jika gurunya seorang wanita mendapat chalenge dari murid laki-laki. Benar-benar kita tak bisa memahami komunikasi antar budaya tanpa mengamati dinamika power dalam interaksi. Sebuah perspektif dialektika menampakan cara dinamika dan saling berkaitan dimana budaya, komunikasi, kontek dan tumpang tindih kekuatan dalam interaksi komunikasi antar budaya.

Dari perspektif komunikasi, mungkin tidak sama sekali jelas bahwa sebuah perjuangn antarbudaya telah mengambil alih. Sinyal konflik tradisional yang ada: tak ada suara dinaikan, tak ada kata-kata kasar, tak ada kekerasan, tentu, akan berubah menjadi sopan santun.

Dari perpektif kultural, bagaimanapun melalui berbagai macam kontek dan perbedaan pandangan munculnya interaksi antar budaya. Misalnya Belgia adalah sebuah Negara yang besar dibagi dua budaya, Flemish dan Walloon meskipun ada sebuah kelompok minoritas Jerman di bagian timur. Secara resmi Belgium menggunakan tiga bahasa (Dutch, France, German) setiap bahasa memiliki wilayahnya masing-masing. Bahasa Belanda secara resmi digunakan di Flanders. Dan bahasa prancis digunakan di Wallonia, kecuali di bagian timur dimana bahasa resminya adalah Jerman. Hanya bagian Belgia yang secara resmi memiliki dua bahasa yakni Brusel dan Capital region.
Ada banyak kontek sejarah yang perlu dilihat, misalnya Brussel menurut historis adalah sebuah kota Flemish, yang terletak di Flanders (namun dekat dan lebih luas dengan Wallonia) dan juga bahasa Prancis didominasi di Belgia sejak hari kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1830 samapi awal abad 20. Ada kontek sosial dan ekonomi, sejak tahun 1960an Flander lebih kuat secara ekonomi daripada Wallonia. Di bagian ibukota Brussel

Oleh karena itu, kita harus memahami kontek dan tegangan dialektika yang muncul dalam pengalaman komunikasi antar budaya. Dengan cara ini, kita akan lebih memahami ketidakleluasaan dalam interaksi komunikasi. Kita juga akan lebih memahami budaya pada diri kita masing-masing. Meskipun perspektif dialektika membuat investigasi budaya dan komunikasi lebih komplek, dan juga membuat lebih menyenangkan dan menarik dan mendorong pemahaman yang lebih kaya.

Summary
 Ada empat aspek dalam memahami komunikasi antar budaya, yakni budaya, komunikasi, kontek dan power.
 Budaya bisa dilihat pada:
 belajar pola pada grup-related perceptions.
 pola makna simbol yang kontektual
 heterogen, dinamis, dan tempat kontestasi
 komunikasi adalah sebuah proses simbol yang mana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki dan ditransformasikan
 hubungan antara komunikasi dan budaya sangat komplek: budaya mempengaruhi komunikasi dan diperkuat melalui komunikasi.
 Komunikasi mungkin juga cara kontestasi dan melawan kultur dominan.
 Kontek juga mempengaruhi komunikasi: baik seting secara fisik maupun sosial yang mana terjadi komunikasi atau lingkungan politik, sosial dan sejarah.
 Power dapat menembus dan memainkan peranan sangat besar meskipun sering tak terlihat, peran dalam interaksi litas budaya.

Disusun oleh: Titin, Tony, Faiz, Yanyan dan Rosit Ska.