MERAIH PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN


imagesPendidikan merupakan kebutuhan fundamental tidak hanya untuk individual namun juga untuk bangsa dan negara. Pendidikan sampai kapan pun masih relevan dan diperlukan untuk menuju kehidupan yang lebih manusiawi. Namun, sistem pendidikan di negeri ini masih kurang representatif untuk semua golongan. Hal itu dibuktikan dengan sistem UAN yang diberlakukan untuk murid Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas masih bersifat diskriminatif dan mentingkan aspek intelektual semata. Padahal kesuksesan siswa tidak hanya diukur dari nilai tinggi semata, namun juga memperhitungkan aspek mentalitas dan spiritualitas yang ada pada siswa tersebut. Justru aspek spiritualitas ini yang harus ditekankan terhadap siswa untuk menciptakan manusia yang mempunyai kecerdasan spiritual kuat. Di negeri ini tak kurang ilmuwan-ilmuawan yang ahli di bidangnya masing-masing, namun realitas membuktikan masih merajalela kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan dan budaya kita. Agar siswa terhindar dan menjauhi perbuatan amoral itu, perlu adanya perubahan yang mengarah kepada pendidikan yang seimbang antara intelektual dan spiritual.
Mengamati batas standar nilai minimal UAN kelulusan siswa 5,5, tentu mengesampingkan aspek lain dari sebuah keberhasilan dalam dunia pendidikan. Siswa dibebani dengan nilai minimal tentu mereka akan mengejarnya demi sebuah kelulusan. Bagi siswa yang mendapatkan salah satu mata pelajaran yang diujikan kurang dari nilai yang telah disepakati Departemen Pendidikan Nasional Dan Kebudayaan, maka harus rela duduk di kelas satu tahun lagi. Sedangkan kemampuan siswa yang berada di daerah pedesan belum tentu sama dengan siswa yang tinggal di perkotaan mengingat kesenjangan fasilitas pendidikan masih tajam. Di sisi lain, kemampuan siswa terhadap semua mata pelajaran yang diujikan tidak sama dalam menguasainya. Misalnya seorang siswa untuk mata pelajaran sejarah mendapatkan nilai 9.0 sedangkan untuk mata pelajaran ekonomi hanya mendapatkan 5,4 maka siswa tersebut dinyatakan tak lulus.

Fenomena di atas sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, malah memunculkan masalah baru. Tujuan menaikkan standar nilai kelulusan untuk mendorong siswa rajin belajar dan meningkatkan mutu pendidikan nasional namun usaha-usaha untuk meraih nilai yang distandarkan jauh dari tujuan pendidikan yang mengarah kejujuran. Ternyata semakin nilai standar minimal UAN dinaikkan maka semakin tinggi pula tingkat ketidakjujuran dalam UAN. Banyak guru yang mengorbankan nilai-nilai kejujuran hanya karena membantu siswa meraih nilai yang distandarkan. Tentu kita tidak hanya menuding tindakan seorang guru yang melakukan ketidakadilan namun hubungan emosional antara seorang guru dan siswa perlu dipertimbangkan mengingat jika di sekolah tempat mengajarnya banyak siswanya yang tidak lulus maka sekolah akan mendapat nama yang tak baik di mata masyarakat, bahkan tidak akan dipercaya lagi kualitas pendidikannya.
Di media televisi kita tak jarang mengekspos bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan oleh pelaku pendidikan. Dengan demikian, justru siswa kreatif dalam membuat kecurangan UAN dalam berbagai cara yang dilakukannya. Misalnya siswa dengan membuat catatan kecil, bekerja sama dengan teman lainnya atau memperoleh bocoran soal sebelum ujian diselenggarakan. Hal itu dilakukan untuk memperoleh sebuah kelulusan, padahal pertanggung jawaban setelah lulus lebih realistis, siswa akan dihadapkan dunia yang penuh dengan persaingan di luar yang lebih ketat. Jika siswa akan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi maka diperlukan kompetisi untuk meraihnya dan mampu bersaing dengan siswa-siswa dari sekolah lain, dan jika siswa memilih memasuki dunia pekerjaan, maka keahlian yang dimiliki harus bisa dipertanggung jawabkan secara realistis.
Tujuan dari pendidikan seharusnya bisa membebaskan dari bentuk-bentuk keterasingan justru dengan adanya standar nilai kelulusan menghapuskan nilai-nilai yang lebih esensial bahkan semakin memenjarakan siswa dari keterbelengguan. Tujuan siswa sekolah hanya untuk sebuah kelulusan belaka dan rela melakukan tindakan-tindakan yang tidak rasional sekalipun. Tidak hanya siswa namun guru juga ikut menanggung dosa-dosa pendidikan yang secara tidak sadar telah dilakukannya. Maka sudah saatnya sistem pendidikan kita dirubah yang lebih mencerahkan dan membebaskan baik untuk siswa maupun pelaku pendidikan.
Pendidikan Adalah Permainan
Guru harus bisa merubah dari pendidikan yang serius, menegangkan, menyeramkan menuju pendidikan yang membebaskan. Posisi guru sebisa mungkin ditempatkan sebagai seorang teman bagi siswa-siswanya supaya tidak ada batasan untuk berkreasi. Siswa diberikan kebebasan untuk mengungkapkan opininya tanpa didoktrin, dan menghadirkan feedback antara guru dan siswa. Siswa diajak diskusi dan diajarkan berpikir kritis terhadap segala permasalahan yang muncul tanpa mengguruinya.
pengajaran melalui permainan perlu dilakukan untuk mengajarkan kekompakan para siswa. Selain itu, siswa juga lebih menyenangkan dalam menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Hal itu sangat penting untuk mengarahkan siswa tidak individualistis dalam melakukan segala sesuatu.
Ternyata tugas guru tidak hanya memberikan pelajaran atau memahamkan murid saja, namun seorang guru juga mendidik dan mengarahkan siswanya kepada tindakan yang mengandung nilai moral dan spiritual. Siswa dididik untuk menghargai pendapat orang lain, menghormati teman-temannya, ramah tamah dan jujur. Penekanan nilai nilai tersebut harus juga ditanamkan terhadap siswa sejak dini sampai menempuh jenjang sekolah tinggi. Sehingga menghasilkan siswa yang tak hanya mempunyai kualitas intelektual semata namun juga siswa mempunyai kecerdasan spiritual dan emosional untuk menuju masa depan yang lebih cerah demi bangsa dan negara.

ROSIT

KARTINI


kartini_11Nama itu begitu sederhana serta akrab di telinga kita. Ia juga menyembunyikan sejuta makna dan harapan, bahkan sampai kini nama itu masih semerbak baunya mengharumi negeri ini sampai kapanpun.

Ia dilahirkan pada tanggal 1 April 1879 atau menurut versi tahun Hijriyah pada 28 Rabiul Akhir 1808, dari keluarga bangsawan. Ayahnya bernama R.M. Adipati Ario Sosroningrat menjabat posisi bupati di Jepara. Kartini hidup di tengah-tengah budaya feodal yang merajalela. Meskipun demikian, ia lebih beruntung dibandingkan orang pada umumnya. Ia mampu menempuh pendidikan di sekolah rendahan milik kolonial Belanda. Mengingat, masa itu pendidikan diberikan hanya kepada mereka dari keluarga terhormat sedangkan masyarakat pada umumnya sengaja dibiarkan di dalam penjara kebodohan.

Sebagai seorang wanita dari keluarga bangsawan, tentu Kartini tidak sebebas mereka (orang biasa). Ia tidak bisa keluar dari rumah seenaknya bahkan setiap tingkah lakunya mendapatkan pengawasan ketat dari pihak keluarganya, selain itu ia juga hidup dalam suasana budaya patriarki, kaum wanita diposisikan di bawah kaum pria dan tentu tak mendapatkan kesempatan seluas kaum pria termasuk pendidikan, bahkan Kartini sempat meminta-minta kepada ayahandanya untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi padahal pada zaman itu sudah pada kodratnya kaum wanita berpendidikan rendah, itu pun sudah beruntung bisa mengenyam bangku sekolah.

Kartini tidak membeda-bedakan kasta maupun kedudukan sosial di masyarakat, bahkan ia membenci sistem feodalisme. Karena sistem inilah yang menyebabkan negeri ini dalam penjajahan yang panjang oleh kolonial Belanda. Kartini tidak membanggakan diri bahwa ia adalah keturunan bangsawan terhormat. Ia menyadari akan kewajiban-kewajiban yang harus ia lakukan terhadap kemajuan bangsanya. Jiwa demokratis Kartini selalu mendasari segala konsep terhadap persoalan sosial, ekonomi dan politik. Ia mencoba memecahkan masalah yang menguntungkan untuk segenap lapisan rakyat di tengah-tengah feodalisme yang merajalela. Apalagi kedudukan kaum wanita pada zaman itu begitu jauh dengan kaum pria. Namun jiwa perjuangannya tak pernah padam oleh rintangan tembok-tembok tinggi yang menghadang.

Kartini ingin merubah suasana tak demokratis dan pergaulan penuh perbedaan antara bangsa sendiri menuju suasana yang egaliter tanpa membeda-bedakan status sosial maupun darah keturunannya. Padahal saat kartini menempuh pendidikan barat, ia melihat dan mengalami suasana yang demokratis dalam pergaulan yang tak memandang kedudukan di lingkungan anak-anak Eropa. Semenjak itu, ia menyadari budaya feodalisme harus dihapus karena menghambat kemajuan bangsanya. Selain itu ia juga memperjuangkan orang-orang miskin berhak mendapatkan pendidikan, dengan dibekali pendidikanlah bangsa ini akan menjadi bermartabat, itu berarti penjajahan tak akan terjadi di negeri ini.

Hadinya sosok Kartini perlu diapresiasi khususnya kaum wanita. Nilai-nilai perjuangannya harus berlanjut sampai bangsa ini lepas dari kungkungan budaya feodalisme dan kebodohan menuju bangsa yang bermartabat. Mengingat, ternyata kesempatan memperoleh pendidikan disetiap masyarakat sampai saat ini masih mengalami kesenjangan sosial. Hal itu disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan yang harus dibayar oleh masyarakat. Sehingga tidak hanya ketimpangan di sektor ekonomi saja namun juga ketimpangan di sektor pendidikan masih terjadi sampai kini. Padahal bangsa ini sudah merdeka sejak tahun 1945.

Kebesaran nama Kartini tidak hanya dijadikan simbolisasi semata, namun kita bisa merealisasikan ide-ide besarnya yang sampai sekarang masih menjadi tugas bangsa ini. minimal, keikutsertaan kaum wanita untuk bangkit dalam memperjuangkan negeri ini menjadi lebih baik. Simbolisasi kartini bisa mendobrak suasana yang tidak demokratis, kaum wanita juga bisa maju ke garda terdepan untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

ROSIT

English Village of Pare


English is one of the important languages among others. in globalization era, we have to communicate with world language. nobody doesn’t admit that English is our daily need to communicate each other. for job seekers, students and businessmen, English is one of absolute requirements to communicate and to get their goals.

Many people spend of time and money to study English. We can imagine to students from elementary school until university learning English but they didn’t get anything. we need to ask to Depdiknas. what happen with our education? what do we need to change educational mythology to learn English?

If we analyze English education in formal school, English is so difficult to understand it, not only does English lesson in formal school make students confused but also English teacher give too advance English lesson so students of formal school is so complicated to understand it.

Existence of pare has been giving contribution for people to learn English efficiently. the most famous name of Pare is English village located to Tulung Rejo, Pare, Kediri, East Java. the first story of English in Pare from Mr Kalend establishing BEC (Basic English course). Students come to Pare not only from Java Island but also from the other island in Indonesia. Many educated people coming from some of universities make pare famous in Indonesia.

Why do we study English in Pare?

It is very different to study English in Pare if we compare to the other city. We know, English is commercial language . Many people are waste of money to get English skill. many advantages study English in pare. The first course fee is cheaper than the other. so many people can study English not only rich men but also unrich men. second, we get good environment to support to study English. We can choose English boarding house, if we will speak English all day. Third, many programs are provided by every institution so we can study as we concentrate to the program. Fourth, we need short time to study English. sixth, we can choose programs provided like grammar, speaking, pronunciation, translation, writing, and Toefl.

According to passage above, studying English in Pare has many advantages absolutely, Pare become wonderful place to learn English in short time but of course Pare has weakness like lack of English reading etc. May English in pare become better than before.

ROSIT

Membangun Jati Diri Mahasiswa


 

Saat ini, para calon mahasiswa yang telah terseleksi SPMB baru menikmati kepuasan serta kebahagiaan yang selama ini mereka dengan usaha keras berusaha untuk lolos dari ujian masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang didambakan. Namun perlu diingat, bagi mahasiswa yang terseleksi SPMB hanyalah prestasi awal dan perlu usaha yang lebih keras lagi untuk mengikuti poses belajar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dipilihnya. Serta bagi mahasiswa yang gagal tidak serta merta merasa tersingkirkan dari dunia pendidikan. Bagaimanapun PTN bukanlah satu-satunya jalan untuk menjadikan kita lebih baik, tetapi masih banyak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tidak kalah saing dengan PTN, bahkan fasilitasnya lebih memadai.

Di sadari atau tidak, masyarakat kita masih terdoktrinasi oleh keunggulan dari PTN. Tetapi mereka tidak cermat dalam menganalisa dari PTS-PTS yang mempunyai kredibilitas yang tidak kalah dibandingkan dengan PTN. Masyarakat kita begitu percaya dengan PTN, padahal banyak yang lulusan dari PTN tidak sesuai dengan kredibilitas sesuai lembaganya. Yang perlu diingat adalah bagaimana seorang calon mahasiswa tidak hanya mengejar harga diri (prestise) dari lebelitas PTN semata, tetapi juga bagaimana kondisi kapasitas dan bakat yang dimilikinya mendukung sesuai yang di cita-citakan. Hal itu penting karena saya melihat banyak mahasiswa yang bangga dengan lebelitas PTN tetapi kemampuanya jauh dari apa yang diharapkan.

Faktor kesuksesan seseorang tidak ditentukan di mana mahasiswa di sekolahkan lewat PTN atau PTS, tetapi faktor yang lebih mendukung adalah kondisi kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan intelektual tidak satu-satunya faktor yang mendukung seseorang akan mendapatkan kesuksesan, karena kebanyakan orang tua saat ini begitu bangga dengan anaknya ketika mendapatkan nilai tinggi di sekolahnya, tetapi mereka tidak melihat bagaimana pergaulan atau sosialisasi dan ketaatan beragama yang terjadi pada anak tersebut. Sehingga mereka hanya memiliki sebatas intelektual tinggi semata. Memang kecerdasan intelektual tidak bisa dilepaskan dari serangkaian kesuksesan, tetapi ada hal yang lebih mendukung dalam mengantarkan seseorang dalam kesuksesan, yaitu kecerdasan emosional dan spiritual.

Kecerdasan emosional (EQ) bagaimana seseorang berempati dan bergaul dengan orang lain. Karena kita tahu bahwa manusia tidak lepas dari sesamanya. Sehingga faktor ini sangat berperan dalam mendukungnya. Tetapi yang tidak kalah lagi dari kedua kecerdasan itu (IQ dan EQ) adalah kecerdasan spiritual (SQ). Bagaimana kecerdasan ini membentuk jiwa atau spirit perjuangan untuk menggapai kesuksesan. Karena banyak mahasiswa-mahasiswa di negara maju khususnya, hanya memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tetapi mereka lemah dalam kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ).

Faktor kesuksesan atau kegagalan tidak ditentukan terseleksi atau tidaknya seorang calon mahasiswa dari PTN atau PTS. Tetapi bagaimana calon mahasiswa bisa menyeimbangkan antara ketiga kecerdasan tadi, sehingga tercipta keselarasan yang akan mendukung mahasiswa bisa beradaptasi dari jati diri mahasiswa dengan lingkungannya. Karena calon mahasiswa akan menempati tempat baru yang perlu beradaptasi dan bersosialisasi dengan suasana yang menjadi dunia barunya untuk mendesain masa depannya, karena jenjang perguruan tinggi faktor yang akan menentukan arah mahasiswa yang akan di jalaninya.

Kita sadar bahwa bangsa kita tidak sedikit memiliki ilmuwan-ilmuwan lulusan dalam negeri maupun luar negeri, tetapi sampai sekarang kondisi bangsa kita tidak mengalami perubahan, hal itu disebabkan para ilmuwan dan politisi yang memimpin negeri ini tidak banyak yang mempunyai keselarasan dari kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) maupun kecerdasan spiritual (SQ). Sehingga kita mengharapkan dari calon-caon mahasiwa baru yang terseleksi SPMB maupun kuliah dii PTS menjadikan perubahan yang lebih baik kepada bangsa tercinta ini, karena ditumpuan merekalah kita sandarkan demi tercipta kemakmuran dan kesejahteraan yang sesuai cita-cita dan amanat para pahlawan yang rela mati untuk bangsa ini.

 

ROSIT

 

Membangun Jati Diri Mahasiswa


Saat ini para calon mahasiswa yang telah terseleksi SPMB baru menikmati kepuasan serta kebahagiaan yang selama ini mereka dengan usaha keras berusaha untuk lolos dari ujian masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang didambakan. Namun perlu diingat, bagi mahasiswa yang terseleksi SPMB hanyalah prestasi awal dan perlu usaha yang lebih keras lagi untuk mengikuti poses belajar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dipilihnya. Serta bagi mahasiswa yang gagal tidak serta merta merasa tersingkirkan dari dunia pendidikan. Bagaimanapun PTN bukanlah satu-satunya jalan untuk menjadikan kita lebih baik, tetapi masih banyak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tidak kalah saing dengan PTN, bahkan fasilitasnya lebih memadai.

Di sadari atau tidak, masyarakat kita masih terdoktrinasi oleh keunggulan dari PTN. Tetapi mereka tidak cermat dalam menganalisa dari PTS-PTS yang mempunyai kredibilitas yang tidak kalah dibandingkan dengan PTN. Masyarakat kita begitu percaya dengan PTN, padahal banyak yang lulusan dari PTN tidak sesuai dengan kredibilitas sesuai lembaganya. Yang perlu di ingat adalah bagaimana seorang calon mahasiswa tidak hanya mengejar harga diri (prestise) dari lebelitas PTN semata, tetapi juga bagaimana kondisi kapasitas dan bakat yang dimilikinya mendukung sesuai yang di cita-citakan. Hal itu penting karena saya melihat banyak mahasiswa yang bangga dengan lebelitas PTN tetapi kemampuanya jauh dari apa yang diharapkan.

Faktor kesuksesan seseorang tidak ditentukan di mana mahasiswa di sekolahkan lewat PTN atau PTS, tetapi faktor yang lebih mendukung adalah kondisi kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan intelektual tidak satu-satunya faktor yang mendukung seseorang akan mendapatkan kesuksesan, karena kebanyakan orang tua saat ini begitu bangga dengan anaknya ketika mendapatkan nilai tinggi di sekolahnya, tetapi mereka tidak melihat bagaimana pergaulan atau sosialisasi dan ketaatan beragama yang terjadi pada anak tersebut. Sehingga mereka hanya memiliki sebatas intelektual tinggi semata. Memang kecerdasan intelektual tidak bisa dilepaskan dari serangkaian kesuksesan, tetapi ada hal yang lebih mendukung dalam mengantarkan seseorang dalam kesuksesan, yaitu kecerdasan emosional dan spiritual.

Kecerdasan emosional (EQ) bagaimana seseorang berempati dan bergaul dengan orang lain. Karena kita tahu bahwa manusia tidak lepas dari sesamanya. Sehingga faktor ini sangat berperan dalam mendukungnya. Tetapi yang tidak kalah lagi dari kedua kecerdasan itu (IQ dan EQ) adalah kecerdasan spiritual (SQ). Bagaimana kecerdasan ini membentuk jiwa atau spirit perjuangan untuk menggapai kesuksesan. Karena banyak mahasiswa-mahasiswa di negara maju khususnya, hanya memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tetapi mereka lemah dalam kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ).

Faktor kesuksesan atau kegagalan tidak ditentukan terseleksi atau tidaknya seorang calon mahasiswa dari PTN atau PTS. Tetapi bagaimana calon mahasiswa bisa menyeimbangkan antara ketiga kecerdasan tadi, sehingga tercipta keselarasan yang akan mendukung mahasiswa bisa beradaptasi dari jati diri mahasiswa dengan lingkungannya. Karena calon mahasiswa akan menempati tempat baru yang perlu beradaptasi dan bersosialisasi dengan suasana yang menjadi dunia barunya untuk mendesain masa depannya, karena jenjang perguruan tinggi faktor yang akan menentukan arah mahasiswa yang akan di jalaninya.

Kita sadar bahwa bangsa kita tidak sedikit memiliki ilmuwan-ilmuwan lulusan dalam negeri maupun luar negeri, tetapi sampai sekarang kondisi bangsa kita tidak mengalami perubahan, hal itu disebabkan para ilmuwan dan politisi yang memimpin negeri ini tidak banyak yang mempunyai keselarasan dari kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) maupun kecerdasan spiritual (SQ). Sehingga kita mengharapkan dari calon-caon mahasiwa baru yang terseleksi SPMB maupun kuliah dii PTS menjadikan perubahan yang lebih baik kepada bangsa tercinta ini, karena ditumpuan merekalah kita sandarkan demi tercipta kemakmuran dan kesejahteraan yang sesuai cita-cita dan amanat para pahlawan yang rela mati untuk bangsa ini.