CULTIVATION ANALYSIS AND MEDIA EFFECTS


PENDAHULUAN
Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner pada tahun 1960 ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah “Living with Television: The Violenceprofile”, Journal of Communication. Awalnya, ia melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”.

Menurut cultivation theory, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak kita tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak kita dengan televisi, kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya. Inti dari penelitian mengenai kultivasi adalah siapa yang menghabiskan waktu lebih banyak menonton televisi mempunyai kemungkinan untuk memandang realitas dunia dalam cara yang mencerminkan pesan yang secara umum disampaikan oleh televisi, dibandingkan dengan mereka yang lebih sedikit menonton televisi, namun sebanding dalam hal karakteristik demografis yang penting.

Analisa kultivasi sebenarnya merupakan salah satu bagian dari tiga strategi penelitian dari proyek Gerbner yang lebih besar lagi, yaitu penelitian mengenai Indikator Kultural. Tiga strategi penelitian yang dilakukan Gerbner adalah:

1. Institutional process analysis (analisa proses kelembagaan), yaitu strategi penelitian yang menyelidiki tentang tekanan dan keterbatasan yang mempengaruhi bagaimana pesan media dipilih, dihasilkan, dan disebarkan;
2. Message system analysis (analisa sistem pesan), yaitu strategi penelitian dengan mengukur dan memantau gambaran umum dalam acara televisi.
3. Cultivation analysis (Analisa kultivasi), yaitu strategi penelitian yang mempelajari apa dan bagaimana televisi membantu menghasilkan konsepsi penonton tentang kenyataan social (Bryant, J & D Zillmann. Media Effects: Advances in Theory and Research. 2002 : 45).
Prespektif kultivasi pada awal perkembangannya lebih memfokuskan kajian pada studi televisi dan khalayak. Fokus utamanya pada tema-tema kekerasan di televisi

CONCEPTUAL FRAMEWORK
Dari perspektif teori, Gerbner khususnya tertarik pada peran pesan, baik pada tataran interaksi sosial sehari-hari maupun pada level sosial kultural yang lebih luas, dimana pesan dihasilkan secara massal dan disebarluaskan. Gerbner mendefinisikan komunikasi sebagai “interaksi melalui pesan”, dan dia melihat kultur atau budaya sebagai “sebuah sistem pesan dan citra yang mengatur dan menghasilkan relasi sosial” (Gerbner, 1990, p. 250).

Dengan kata lain, kultur adalah sebuah sistem dari cerita yang diproduksi-massal “yang menjembatani antara eksistensi dan dan kesadaran akan eksistensi, dan untuk itu berkontribusi atas keduanya”. Sebagai hasilnya, pesan dan citra yang ada di sekeliling kita merefleksikan dan menghasilkan cara berpikir kita terhadap dunia. Namun pesan-pesan tersebut tidaklah “netral”, tapi lebih merefleksikan nilai dan prioritas dari institusi yang membuatnya. Pertanyaan kuncinya kemudian adalah: Asumsi, pandangan, cara mengamati, dan pandangan umum seperti apa yang dikultivasi oleh sistem dominan?

Namun pertanyaannya bukan hanya itu saja, Gerbner juga melihat paradigma Indikator Kultural sebagai maksud untuk menjawab persoalan yang lebih luas lagi, seperti:
• Perspektif dan hubungan seperti apa yang ditunjukkan dalam sistem pesan yang dihasilkan untuk komunitas yang luas dan beragam?
• Bagaimana sistem ini dapat berlaku pada rentang waktu, antarkultur/budaya, dan masyarakat yang berbeda?
• Bagaimana produksi massal dan distribusi pesan diorganisasikan, dikontrol, dan diatur?
• Apa asumsi umum bahwa sistem pesan benar-benar dikultivasikan melalui dan atas sebuah pesan tunggal atau beberapa pesan terpilih, atau atas respon individu dan beberapa orang?
• Bagaimana kultivasi dari asumsi kolektif ini membentuk terarahnya urusan publik (dan tentu saja, sebaliknya)?

Sebagai suatu pembanding atas cultivation theory, Miller (2005:282) menyatakan bahwa cultivation theory tidak dikembangkan untuk mempelajari efek khusus atau tertentu (misalnya dengan menonton tv akan membuat anak-anak mencoba untuk terbang dengan meloncat dari jendela), tapi lebih kepada dampak kumulatif dan menyeluruh (televisi) terhadap bagaimana kita memandang dunia yang kita diami ini. Pada dasarnya cultivation theory beranggapan bahwa ekspos pada televisi yang berlebihan, secara halus menanamkan persepsi pemirsa terhadap realitas.

Pada dasarnya, studi Indikator Kultural oleh Gerbner dilakukan karena ia konsern pada dampak program televisi (khususnya program kekerasan) terhadap tingkah dan perilaku masyarakat Amerika (Miller, 2005, p.281).

STORYTELLING
Konsep mengenai “storytelling” merupakan pusat dari kajian mengenai cultivation theory. Gerbner berpendapat bahwa perbedaan mendasar antara manusia dan mahluk hidup lainnya adalah bahwa kita hidup dalam dunia yang terbentuk oleh cerita-cerita yang kita ciptakan. Manusia secara unik hidup dalam dunia yang dialami dan dikonstruksi secara besar-besaran melalui berbagai macam bentuk dari “penceritaan” atau “storytelling”.

Pada awalnya, berbagai informasi kebudayaan disampaikan secara langsung oleh figur-figur yang dianggap berpengaruh dalam sebuah komunitas dalam masyarakat tertentu, seperti para orang tua, guru-guru, bahkan para alim ulama. Namun kini, peran tersebut telah tergantikan oleh keberadaan televisi. Televisi telah merubah proses budaya dari storytelling menjadi suatu sistem yang tersentralisasi, karena mengatasi halangan historis keberaksaraan dan mobilitas. Menurut kajian ini — televisi adalah sebuah alat untuk bercerita (storytelling) yang cenderung berfungsi sebagai sistem penyampai pesan sehingga bisa dijadikan sebagai alat pembelajaran yang sama terus menerus —- TV merefleksikan dan menciptakan opini, citra, dan kepercayaan (beliefs) yang dipengaruhi oleh budaya yang ada dalam masyarakat —- sehingga audience akan termotivasi untuk memberikan perhatian yang lebih pada isi, opini, citra atau pesan yang disampaikan oleh TV.

Seiring dengan hal-hal tersebut diatas, televisi telah mendorong sistem storytelling menjadi sebuah sistem yang berada dalam kendali kepentingan perdagangan global. Secara lugas dapat disebutkan bahwa bersamanya terdapat berbagai hal yang dijual kepada pasar. Dunia yang terbangun dari simbol-simbol komunikasi kini dibentuk sesuai dengan kepentingan komersil, dan pemasaran.

Kajian penelitian mengenai fenomena ini akan terfokus pada efek atau pengaruh televisi terhadap perilaku individu atau khalayak penonton televisi —- tapi bukan pada suatu tayangan yang khusus, episode atau genre. Cultivation theory and research lebih berfokus pada sebuah sistem penerimaan pesan, yang merupakan total dan pengulangan yang diterima secara terus menerus, baik berupa gambar, atau pesan lain pada televisi — jadi ada intensitas yang dilakukan menurut jangka waktu tertentu. Seperti dikatakan Signoreielli & Morgan (p.117) bahwa “cultivation is not unidirectional flow of influence from television to audience, but a part of a continual, dynamic, ongoing process of interaction among messages and contexts”. Karena kedinamisan dan terus menerus inilah, maka cultivation theory dibagi atas 2 (dua) bagian besar:
A. Dinamika dan kontinual —- ini yang biasa disebut sebagai intensitas menonton, yaitu :
1. Heavy Viewers —- penonton berat adalah penonton atau khalayak yang menonton lebih atau sama dengan 4 jam —- pada jenis penonton ini biasanya perilaku yang ditimbulkan atau efeknya akan terlihat sama dengan pesan yang ada di televisi;
2. Light Viewers —- penonton ringan adalah penonton atau khalayak yang menonton kurang dari 4 jam —- tidak terpengaruh secara langsung atau dampak yang ditimbulkan tidak signifikan.
B. Dampak pesan —- perilaku yang timbul.
Bentuk sederhana dari penelitian mengenai kajian kultivasi adalah :
1. Jika mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu menonton televisi, maka menerima realitas dunia sebagai refleksi dari pesan yang ada di televisi —- heavy viewers
2. Jika mereka sedikit menghabiskan waktu menonton televisi, maka mereka menerima realitas dunia tidak serupa dengan pesan yang ada di televisi —- light viewers

CULTIVATION ANALYSIS METHODS
Cultivation analysis methods dimulai dengan pola identifikasi yang paling umum dan stabil dalam konten televisi, menekankan gambar yang konsisten, penggambaran, dan nilai-nilai yang melintasi genre program dengan melakukan analisis sistem pesan atau dengan memeriksa studi konten yang ada dengan dimensi:

• Eksistensi, apa yang ada di dunia simbolik?
• Prioritas, apa yang penting?
• Nilai, apa yang benar atau salah, baik atau buruk, dll?
• Hubungan, apa yang berhubungan dengan hal tersebut dan bagaimana itu berhubungan?

Setelah dilakukan penetapan pola dimensi, maka cultivation analysis mengembangkan suatu hipotesis tentang apa yang diharapkan dari “heavy viewer” untuk berpikir tentang beberapa topik atau masalah. Cultivation analysis menggunakan prosedur survei untuk menguji hubungan antara jumlah waktu menonton televisi dengan konsepsi realitas sosial.

Cultivation analysis dimulai dengan analisis sistem pesan untuk mengidentifikasi pola-pola permanen, kontinyu, dan overarching dari konten televisi. Klasifikasi light viewer, medium viewer, dan heavy viewer diukur dengan jumlah waktu responden menonton televisi rata-rata setiap hari. Yang penting adalah adanya perbedaan tingkatan menonton, bukan pada jumlah akurat menonton.

Bukti kultivasi yang bisa diobservasi tergolong sederhana karena light viewer sekalipun dapat menonton televisi beberapa jam sehari dan hidup dalam kultur umum yang sama dengan heavy viewer. Karena itu, penemuan pola konsisten berbeda yang kecil tapi pervasif di antara light dan heavy viewer sangat mungkin. (Bryant, J & D Zillmann : 2002).

Secara umum, light viewer dan heavy viewer berbeda menurut umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, ras, waktu senggang, agama, isolasi sosial, orientasi politik, dan sejumlah variabel demografis, sosial, dan psikologis lainnya. Light viewer cenderung terkena sumber informasi yang lebih bervariasi dan beragam, sedangkan heavy viewer cenderung lebih mengandalkan televisi. Pergeseran kecil tapi pervasif dalam perspektif kultivasi dapat mengubah kondisi kultural dan membalik keseimbangan pembuatan keputusan politis dan sosial.

EARLY RESULTS
Garbner melakukan penelitian dampak televisi denganmenggunakan metode survey analisis dan menemukan bahwa heavy viewers akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, menanggapi perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat, para heavy viewers akan mengatakan bahwa sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang sering ia tonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena faktor cultural shock dari tradisional ke modern. Dengan kata lain, penilaian, persepsi,opini penonton televisi digiring sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi.

Bagi heavy viewers, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya. Televisi, sebagaimana diteliti oleh Garbner. Dianggap sebagai pendominasi “lingkungan simbolik” seseorang. Cultivation theory menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari disekitar kita, tetapi dunia itu sendiri (McQuail dan Windahl, 1993). Garbner juga berpendapat bahwa gambaran adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan. Dengan kata lain perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian disekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga begitu.

CRITIQUE AND REFINEMENTS
Terdapat beberapa kritik dari para ahli terhadap cultivation theory yang disampaikan oleh Gerbner, yaitu antara lain :
• Di dalam mempelajari thema kekerasan, kontrol lingkungan lebih cocok dibanding kontrol pendapatan seperti yang pernah dikemukakan oleh Gerbner (Doob dan McDonald)
• Sebuah hubungan nyata antara terpaan kekerasan televisi dan takut akan kejahatan dapat dijelaskan dengan lingkungan dimana penonton tinggal (Livingstone, 1990). Mereka yang tinggal di lingkungan yang tingkat kriminilitasnya tinggi lebih percaya bahwa kemungkinan untuk diserang atau diganggu daripada mereka yang tinggal di lingkungan yang tingkat kriminalitasnya rendah (Hirsch, 1980).
• “Orang yang merupakan pecandu berat televisi seringkali mempunyai sikap stereotipe tentang peran jenis kelamin, dokter, bandit atau tokoh-tokoh lain yang biasa muncul dalam serial televisi. Dalam dunia mereka ibu rumah tangga mungkin digambarkan sebagai orang yang paling concern terhadap urusan bersih-bersih rumah. Suami adalah orang yang selalu menjadi korban dalam kisah lucu. Perwira polisi menjalani hari-hari yang menyenangkan. Semua bandit berwajah seram”. (Frederick Wiliams 1989).

Beberapa kritikus juga mengatakan bahwa penonton sebenarnya juga aktif di dalam usaha menekan kekuatan pengaruh televisi seperti yang tidak diasumsikan dalam cultivation theory. Cultivation theory menganggap bahwa penonton itu pasif dan lebih memfokuskan pada kuantitas menonton televisi atau “terpaan” dan tidak menyediakan perbedaan yang mungkin muncul ketika penonton menginterpretasikan siaran-siaran televisi. Penonton mempunyai motivasi dan interpretasi yang berbeda satu sama lain.

Josep Dominick mengatakan bahwa ”Individu yang menonton televisi tanpa motivasi dan perencanaan sebelumnya lebih mudah untuk melupakan apa yang dilihatnya dari pada mereka yang menonton televisi dengan motivasi dan perencanaan sebelumnya (Dominic, 1990).
Perlu juga dilihat lingkungan/daerah penonton yang terkena dampak kultivasi, karena penelitian yang dilakukan Gerbner dan kawan-kawan dilakukan di Amerika Serikat. Hanya sedikit bukti bahwa efek kultivasi itu terjadi di luar AS. Weber (yang di kutip Condry, 1989) misalnya tidak menemukan bukti di Inggris bahwa ada hubungan antara kecanduan televisi dengan perasaan tidak aman. Itulah kenapa televisi di Inggris sedikit menampilkan adegan kekerasan dibanding televisi AS. Condry kemudian menyarankan seharusnya ada kritik yang dilakukan sebelum adegan televisi disiarkan. Atau bisa jadi karena di Inggris lebih banyak budaya media dibanding AS

CULTIVATION AND THE AUDIENCE
Cultivation banyak mendapat kritikan karena melihat penonton secara “passive” yang menganggap bahwa setiap penonton melihat semua pesan dengan cara yang sama. Sebenarnya, penonton mengintepretasikan perbedaan program dengan cara yang berbeda, perbedaan program yang ditonton dapat “mengikat” kita pada tingkat level yang berbeda, dan terkadang kita hanya menyaksiakan apa yang sedang popular saat ini, tetapi secara tidak sadar pikiran kita yang diubah oleh hal itu. Penonton yang menyaksikan bagian pesan tertentu akan menginterpretasikan pesan tersebut dengan berbagai macam cara.
Dari hal-hal tersebut maka banyak peneliti yang mempelajari/ memfokuskan diri pada “system” pesan agar tersampaikan secara efektif, dengan menilai seberapa efektif, mengganggu, atau menariknya suatu pesan.
Contoh: suatu pemberitaan tentang kekerasan, apabila disiarkan hanya beberapa kali dia akan menjadi berita penting, tetapi kalau terlalu sering dilihat kekerasan hanya akan menjadi hal yang umum di mata penonton.

Cultivation tidak mempelajari tentang aktivitas penonton, melainkan apakah penonton berat (heavy viewers) menunjukan bukti bahwa mereka telah menyerap pesan yang dominan dari televisi. Cultivition atas kesadaran yang kolektif, sekarang diinstusionalkan dan diatur secara “corporately” menjadi tingkatan yang tidak dapat diperkirakan.

CULTIVATION IN THE NEW MEDIA ENVIRONMENT
Cultivation theory dikembangkan ketika televisi di Amerika memiliki tiga jaringan siaran nasional, ditambah segelintir kecil dari pemancar independen dan pemancar publik/pendidikan. Tiga jaringan pemancar menjangkau lebih dari 90% pemirsa, malam demi malam. Berbagi program 50% tidak lazim. Sistem kabel pengganti sebagian besar memperluas jangkauan jaringan, menyediakan pemrograman yang lumayan kompetitif. Kebanyakan orang menonton acara yang sama, pada waktu yang sama pula.

Semakin lama, perkembangan teknologi seperti kabel digital, satelit, VCRs, DVDs, DVRs, dan internet telah secara drastis mengurangi pangsa pemirsa untuk tiga jaringan besar yang sudah ada. Saat ini, jaringan terbaik (top network) mencapai rating yang mencerminkan apa yang nyaris minimum yang diperlukan untuk tetap berada di udara di tahun 1970-an. Tingkat pemirsa televisi secara keseluruhan terus mencapai tingkat atas, namun sekarang, pemirsa dibelah ratusan kabel atau saluran satelit dan alternatif lainnya. Di sisi lain, ada sedikit bukti bahwa proliferasi saluran telah menyebabkan setiap keragaman konten secara substansial, karena jumlah saluran telah tumbuh, kepemilikan dan kontrol produksi telah benar-benar menjadi lebih terkonsentrasi.
Saluran akan terus berkembang maju melalui kabel, satelit, dan transmisi digital. Perkembangan baru seperti perekam video digital akan menyebar, memungkinkan pemirsa untuk lebih mudah memanjakan selera pemograman mereka secara pribadi (dan mungkin, untuk mengabaikan komersialisasi iklan, menyebabkan pengiklan untuk menanggapi dengan strategi seperti penempatan produk). Akan ada lebih banyak pilihan untuk langsung, pengiriman permintaan program melalui set-top box, DVRs, dan koneksi internet dengan kecepatan tinggi. Jaringan siaran pangsa pemirsa sehingga akan terus mengerut (meskipun seri blockbuster sesekali) dan dibagi antara suatu bilangan terus meningkat saluran yang bersaing. Namun, perubahan dalam modus distribusi mungkin memakan sedikit perbedaan jika pesan tidak berubah. Mengingat itu, ada sedikit bukti sampai saat ini bahwa pola budidaya yang menonjol gambar akan menunjukkan fragmentasi yang sesuai.

THE FUTURE OF CULTIVATION RESEARCH
Selama ini, di dalam cultivation theory yang dijadikan penelitian adalah dampak yang disebabkan oleh televisi terhadap penerimaan oleh masyarakat. Pengembangan siaran televisi yang mempengaruhi manusia untuk menjadikannya sebagai suatu kebutuhan dalam mendapatkan informasi terkadang juga telah mengakibatkan terpengaruhnya cara berfikir manusia sebagai penonton televisi mengenai sesuatu hal yang kemudian diterapkan dalam kehidupan kesehariannya. Ke masa mendatang satu pertanyaan penting yang kiranya dapat perlu diteliti lebih lanjut dalam cultivation research adalah eksplorasi terhadap “cognitive process” yang dapat menunjukkan bagaimana pengaruh cultivation theory terhadap permasalahan atau dampak psykologi di masyarakat.

Di sisi lain kemajuan dari dunia industri pertelevisian akan memberikan suatu tantangan baru dalam cultivation research, khususnya di era perubahan tekhnologi pertelevisian ke era digital yang memberikan banyak kesempatan berkembangnya industri pertelevisian dan penyampaian informasi. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam industri pertelevisian ini, telah menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan karena akan merubah teori-teori dasar maupun permisif mengenai cultivation. Penelusuran kembali, analisa lanjutan, dan memahami perubahan-perubahan yang terjadi, dan lebih memberikan perhatian pada dampak kebijakan yang diambil oleh regulator, akan menjadi tugas lanjutan dalam cultivation research di masa mendatang.

DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Terlepas dari pro-kontra masalah dampak media massa terhadap penonton, dalam konteks penerapan cultivation theory di Indonesia, kita seyogyanya lebih bijaksana dalam menyikapi. Memang diperlukan penelitian lebih banyak dalam konteks Indonesia, mengingat penelitian-penelitian yang selama ini dilakukan lebih banyak di Amerika Serikat dan Eropa.

Hal ini tidaklah menunjukkan bahwa kondisi di Indonesia berbeda, terlampau menyederhanakan permasalahan atau menafikkan faktor-faktor lain yang tidak kalah potensial dalam memicu perilaku agresif. Misalnya faktor depresi dan pengalaman traumatik. Kalaupun ditemukan adanya suatu proses peniruan modus operandi kriminalitas, hal ini dianggap berlebihan, namun efek kriminalitas di televisi tetap saja perlu diwaspadai ketika muncul dalam bentuk desensitisasi kekerasan.
Desensitisasi kekerasan, atau penumpulan kepekaan terhadap kekerasan merupakan gejala yang umum terjadi ketika kekerasan tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Tatkala masyarakat diterpa oleh informasi kekerasan, dan menganggap realitas media tak beda dengan realitas nyata (prespektif kultivasi), perilaku kekerasan pun disahkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti itulah kiranya yang terjadi akhir-akhir ini pada masyarakat Indonesia, yang dapat dilihat bagaimana pengadilan jalanan begitu merajalela dimana masyarakat ramai-ramai menghakimi pelaku kriminalitas, memukuli maling sampai mati, membakar hidup-hidup orang yang dicurigai sebagai perampas ojek (yang ternyata bukan pelaku sesungguhnya!), mengarak dan menggunduli (belum termasuk penyiksaan fisik) anggota masyarakat yang dicurigai melakukan perselingkuhan, dan sebagainya.
Tampaknya apa yang dikemukakan oleh Baran dan McQuail tentang teori masyarakat massa, tengah berlangsung di Indonesia. Dimana masyarakat mudah dipengaruhi, media mempunyai kekuatan yang besar, sedangkan media banyak berperan disfungsional. News judgement banyak ditinggalkan oleh media di Indonesia saat ini demi mengejar rating dan prestise yang bermuara pada satu tujuan “keuntungan”. Media tidak lagi bijaksana dan lupa bahwa mereka adalah institusi sosial yang punya tanggung jawab menjaga tatanan sosial, mendidik masyarakat, bukan sekadar memberikan informasi tetapi tidak mendidik.

Jika media berkilah bahwa mereka hanya menyampaikan realitas yang ada. Mereka juga lupa bahwa apa vang mereka lakukan dengan menayangkan beragam tindak kekerasan dengan frekuensi yang sering, mereka berinteraksi dengan khalayak, dan ini dapat mengkonstruksi realitas sosial yang baru, kekerasan-kekerasan yang baru. Media mengangkat realitas kekerasan tetapi juga menciptakan realitas kekerasan. Namun yang menyedihkan adalah terdapat kecenderungan bahwa media menciptakan kekerasan yang baru, dengan kekuatan mereka melalui isi dan kemasan pesan yang ditayangkan. Apakah hal ini disadari atau tidak, tapi terkadang ini juga menjadi sebuah dilema ketika media dihadapkan pada tujuan utamnya sebagai perusahaan yang bergerak di bidang bisnis, dengan salah satu tujuannya adalah memperoleh keuntungan.
—00—

Referensi Tambahan:
1. http://rizhacommunication.blogspot.com/2010/03/teori-media-dan-masyarakat-katherine.html
2. http://nurudin-umm.blogspot.com/2008/11/cultivation-theory-teori-kultivasi.html
3. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/iko/article/viewFile/16673/16665

Disusun Oleh 1. Eppstian Syah As’ari, Galih Noor Abdillah, Hasan Chabibie, Hendra Sukmana, Lury Alex, Nindyta Aisyah, Prani Pramudita Dan M. Rosit (Universitas Indonesia)

Agenda Setting SBY


Beberapa waktu lalu, Presiden SBY melempar bola panas kepada publik mengenai sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. SBY mempertanyakan kembali konsistensi demokrasi Yogyakarta sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia. Padahal, sistem pemerintahan yang digunakan Yogyakarta sudah berlangsung ratusan tahun lamanya, kalau benar ada perombakan atau pemilukada di Yogyakarta, sama saja merobohkan sendi-sendi sistem pemerintahan di Yogyakarta yang sudah terbentuk selama ratusan tahun. Gubernur DIY harus dari Kasultanan dan Wakil Gubernur dari Pakualaman.

Yang perlu dicurigai tentang pernyataan SBY ialah kenapa bola panas itu dilemparkan pada saat berbagai macam masalah bangsa selalu menghiasi media dan opini di masyarakat. Apakah benar SBY sengaja mengalihkan isu-isu yang selama ini mencoreng nama baik bangsa dan kinerja pemerintahannya, atau memang ia benar-benar menggugat konsistensi Yogyakarta sebagai bagian dari bangsa ini. Mengingat, berbagai masalah bangsa mulai dari bencana alam seperti banjir bandang mentawai, letusan gunung Merapi, gunung Bromo serta kasus Gayus yang mencoreng nama baik bangsa, dan masih banyak masalah-masalah lainnya.

Di dalam kajian media, ada sebuah agenda yang dimediasi oleh media massa sengaja menonjolkan berita tertentu untuk merubah atau menggiring opini publik, dengan maksud bisa menutupi berita-berita penting sebelumnya. Sebagaimana diperkerkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisan mereka yang berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” yang telah diterbitkan dalam Public Opinion Quarterly pada tahun 1972. Menurut kedua pakar ini jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pokok pemikiran teori ini berkaitan dengan fungsi belajar dari media massa. Diasumsikan bahwa publik tidak hanya mempelajari isu-isu pemberitaan, tapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberitakan pada suatu isu atau topik berdasarkan cara media massa memberikan penekanan isu atau topik tersebut. Yang mesti digaris bawahi ialah hal-hal yang dipandang penting oleh media, kemudian dipandang penting juga oleh khalayak/publik.

Hemat saya, pernyataan SBY mengenai Yogyakarta tidak menutup kemungkinan adalah sebuah agenda setting pemerintah yang sengaja dilontarkan ke publik agar menjadi fokus perhatian seluruh masyarakat di tengah keburaman masalah bangsa. Di sinilah kita perlu berbicara tentang agenda setting. Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinyu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan.

Di samping itu, media mampu mengemas sebuah isu yang tidak penting menjadi sangat penting, atau yang sangat penting menjadi tidak penting. Dan kini, isu Yogyakarta terus saja menggelinding menjadi sebuah tema yang sangat menarik dibicarakan, bahkan diperdebatkan oleh seluruh lapisan masyarakat negeri ini khususnya warga Yogyakarta. Tak heran para pakar komunikasi sampai menyatakan, “jika kita bisa menggenggam media, maka kita sudah bisa mengendalikan dunia.”