MEDIA SEBAGAI SALURAN KOMUNIKASI POLITIK


Pendahuluan

Media dalam sebuah komunikasi politik mempunyai peranan yang sangat penting karena merupakan sebagai publisitas politik terhadap masyarakat luas. Tentunya dengan tujuan khalayak mengetahui agenda politik setelah itu simpati dan menjatuhkan pilihannya kepada partai tersebut. Siapapun komunikator atau aktivis politik akan berusaha untuk menguasai media. Tak heran, barang siapa yang telah menguasai media, maka dia hampir memenangi pertarungan politik. Semenjak kemajuan teknologi dan informasi yang revolusioner, media cetak maupun elektronik mengantarkan informasi kepada khalayak sangat efektif. Pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak dan bebas sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009. Segala kegiatan yang ada nuansa politik diangkat media bertujuan tak hanya sebagai sarana publisitas namun juga mempengaruhi khalayak untuk memilihnya.

Oleh sementara pihak media, media massa sering disebut sebagai the fouth estate dalam kehidupan sosial ekonomi. Hal ini terutama disebabkan oleh peran suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media massa dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial ekonomi dan poitik masyarakat. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Antara lain karena itu, media massa juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu idea atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam kontek kehidupan yang lebih empiris.

Saluran Komunikasi politik

Saluran komunikasi adalah alat serta sarana yang memudahkan penyampaian pesan. Pesan di sini bisa dalam bentuk lambang-lambang pembicaraan seperti kata, gambar, maupun tindakan. Atau bisa pula dengan melakukan kombinasi lambang hingga menghasilkan cerita, foto (still picture atau motion picture), juga pementasan drama. Alat yang dimaksud di sini tidak hanya berbicara sebatas pada media mekanis, teknik, dan sarana untuk saling bertukar lambang, namun manusia pun sesungguhnya bisa dijadikan sebagai saluran komunikasi. Jadi, lebih tepatnya saluran komunikasi itu adalah pengertian bersama tentang siapa dapat berbicara kepada siapa, mengenai apa, dalam keadaan bagaimana, sejauh mana dapat dipercaya. Komunikator politik, siapapun ia dan apapun jabatannya, menjalani proses komunikasinya dengan mengalirkan pesan dari struktur formal dan non-formal menuju sasaran (komunikan) yang berada dalam berbagai lapisan masyarakat.

Sedangkan, politik seperti komunikasi adalah proses dan seperti komunikasi politik melibatkan pembicaraan. Ini bukan pembicaraan dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar symbol, kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai dan pakaian. Ilmuwan politik Mark Roelofs menyatakan dengan cara sederhana, “ Politik adalah pembicaraan, atau lebih tepat kegiatan politik (berpolitik) adalah berbicara. “ ia menekankan bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi hakekat pengalaman politik dan bukan kondisi dasarnya, ialah bahwa kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.[1]

Maka dengan hadirnya media massa sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan terutama mengenai politik akan mempermudahkan kepada setiap komunikator politik dalam menyampaikan dan memperkenalkan siapa dirinya kepada  khalayak.

Begitu berkuasanya media dalam mempengaruhhi pikiran, peranan, dan perilaku penduduk, sehingga Kevin Philips dalam buku responsibility in mass Communication mengtakan, bahwa era sekarang lebih merupakan mediacracy, yakni peemerintahan media, daripada demokrasi pemerintahan rakyat.[2]

Kekuatan media massa (powerful media) sebagai saluran untuk mempengaruhi khalayak, telah banyak memberikan andil dalam pembentukan opini publik. Kemampuan melipatgandakan pesan-pesan politik di media massa mempunyai dampak terhadap berubahnya perilaku pemilih. Maka dari itu, bagi para elit politik yang ingin bertarung memperebutkan kursi kekuasaan, akan berusaha memanfaatkan media massa untuk tujuan publikasi dan pembentukan citra. Media dalam bentuk apapun adalah saluran komunikasi seorang kandidat kepada khalayak yang dikatakan efektif dan efisien pada masa kampanye modern saat ini. Ada beberapa media yang sangat penting dalam mempublikasikan agenda politik:

Media telepon; merupakan alat komunikasi lisan satu-kepada-satu yang memiliki beberapa kegunaan bagi kampanye kontemporer. Media ini kerap digunakan bagi hubungan pribadi jika organisasi kampanye ingin mengumpulkan dana, mengarahkan pemilih untuk datang ke tempat kampanye. Atau terkadang media telepon juga biasa digunakan untuk memperkenalkan kandidat melalui rekaman suara yang dapat diputar berulang kali. Telepon pun hingga saat ini masih digunakan sebagai media survey tentang opini para pemilih; polling telepon, dengan menggunakan sistem pemutaran nomor secara acak disertai kuesioner pendek yang mudah dipahami; prosedur utama survey.

Media radio, Menurut McLuhan, terdapat resonansi antara radio dan telinga serta pikiran manusia, resonansi yang menyajikan peluang besar bagi kampanye radio. Di samping itu, radio juga merupakan saluran massa bagi kaum minoritas walaupun dalam perkembangannya kaum mayoritas pun masih belum bisa meninggalkannya. Meskipun radio tidak menampilkan visual/gambar hidup, namun media satu ini bisa merambah ke lokasi di mana media lain susah bahkan tak bisa menjangkaunya.

Media Televisi, Di Amerika, penggunaan televisi sebagai media kampanye sudah sejak dasawarsa 1950-an dan 1960-an dimulai. Penekanan dalam kampanyenya pun beragam, mulai dari pembuatan citra; di mana penggunaan media ini untuk memproyeksikan atribut-atribut terpilih dari kandidat. Hingga penekanan berkembang pada tahun 1970-an menjadi pengaturan dan pembahasan pokok masalah kampanye. Teknik untuk membangun citra sang kandidat pun beragam dari melalui publisitas gratis hingga pada beriklan di televisi yang mesti bayar. Sebenarnya sudah ada pengaturan tentang tata cara beriklan di media massa, terutama di televisi. Namun tetap saja banyak terjadi kecurangan di sana-sini, hingga terjadi ketidakadilan dalam peliputan berita kampanye pada Pilpres 2009 yang lalu. Peliputan berita kampanye pasangan kandidat tertentu mendapat durasi yang relatif lebih panjang dibanding pasangan kandidat yang lainnya. Hal ini dikarenakan pemilik stasiun televisi tersebut adalah “orang dekat” dari pasangan tersebut. Atau bisa juga karena pasangan kandidat tersebut memiliki dana kampanye yang cukup banyak untuk dapat memasang iklan berlebih pada media tersebut.[3]

Media Cetak, Meskipun media elektronik ditambah dengan media inovasi sudah semakin maju, tetap saja media cetak belum akan ditinggalkan khalayak massa. Terdapat dua tipe media cetak yang kerap dijadikan sebagai media kampanye, yakni melalui surat langsung dan surat kabar atau majalah. Surat Langsung. Pada tahun 1974, Robin dan Miller memeriksa pengaruh pengiriman surat umum kepada 72.000 orang pada tahun 1974. Mereka menemukan bahwa, surat langsung tidak memiliki cukup pengaruh terhadap tingkat informasi pemilih, pandangan kandidat, tujuan memberikan suara dalam pemilihan, atau pemilihan kandidat.

Surat Kabar. Tiga tipe isi surat kabar yang bertindak sebagai sarana bagi komunikasi kampanye, yakni ihwal berita, editorial, dan iklan. Semuanya membantu pembinaan citra dan penyajian masalah. Namun, pembuatan citra adalah yang paling utama. Setelah dilakukan penelitian terhadap ketiga tipe isi surat kabar dalam hal kampanye politik, maka didapatkan sebuah kesimpulan bahwa materi yang disajikan lebih kepada citra sang kandidat ketimbang masalah yang dihadapi. Dalam pemilu 2009, media surat kabar menjadi ruang publisitas politik di antara partai-partai peserta pemilu, mengingat salah satu media yang cukup representatif untuk mensosialisaikan agenda-agenda partainya masing-masing.

Di tengah-tengah segitiga persaingan memperebutkan uang pengiklan dan perhatian publik, media telah mengembangkan dalam berbagai peran. Sebagai media informasi, radio dan televisi unggul dalam penyampaian berita yang dilengkapi dengan ulasan penjelas. Kalau media siaran memberi perhatian pada suatu peristiwa lain berkurang.  Celah inilah yang kemudian diisi dengan koran. Seringkali koran memberikan banyak hal sehingga kedalamannya pun terbatas. Celah ini lalu diisi oleh majalah. Majalah acapkali meliput suatu yang diberikan oleh media siaran secara lebih panjang dan lebar. Seseorang yang tertarik untuk mengetahui yang lebih banyak tentang suatu yang diberitakan di televisi akan mencarinya di majalah. Jika ia akan lebih mendalaminya, ia akan mencari buku atau film dokumenter. Hal ini juga menandakan bahwa peran media sebagai penafsir informasi serta pentingnya sebagai penyampai informasi.[4] Maka dari berbagai media di atas mempunyai peran yang saling melengkapi dan itu sangat efektif dalam menyampaikan pesan-pesan politik.

Pencitraan Media

Untuk pencitraan itu, media massa sering terlibat dengan pemberian julukan (label) kepada para aktor dan atau kekuatan politik. Dalam konteks ini, para komunikator massa dalam rutinitas serupa dengan lembaga stempel yang member persetujuan (pembenaran) dan ketidaksetujuan dalam tindakan-tindakan politik. Bagi suatu kekuatan politik, sikap sebuah media, entah neral partisan adalah menentukan terutama untuk pencitraan opini publik. Sebab, di satu pihak dari ujung komunikasi politik adalah mengenai citra ini, yang banyak bergantung pada cara mengkonstruksi pada kekuatan politik itu. Sedangkan media massa mempunyai kekuatan yang signifikan dalam komunikasi pollitik untuk mempengaruhi khalayak. Walhasil pencitraan yang dilakukan media akan memberikan dampak besar dalam menjangkau khalayak yang banyak.[5]

Media massa adalah faktor penting dalam mengkonstruksi publik. Figur politik mempengaruhi media dan media mempengaruhi representasi pemerintahan.[6] Hal itu bisa dilihat dari popularitas Susilo Bambang Yudoyono tak bisa dihindari karena keterlibatan media dalam mengemas citra sehingga menjadi seperti sekarang ini. Dengan frekuensi diangkat dan diperlihatkan ke publik, media bisa menyihir berjuta-juta manusia untuk mengaguminya. Di kasus lain, juga dialami oleh Prabowo Subiyanto dengan partai Gerindra nya, saat menjelang pemilu 2009 lalu, sosok Prabowo selalu tampil di media televisi kita bak seorang tokoh yang akan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi. Tak lama durasi yang dibutuhkan, Prabowo saat itu menjadi populis yang dikenal hampir seluruh bangsa Indonesia.

J. Baudrillard menjelaskan empat fase citra (1981: 17): pertama, representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun, ia hanya menjadi yang menyerupai dengan dirinya.[7]

Berbagai kepustakaan ilmun komunikasi massa menjelaskan bahwa pesan politik yang disampaikan oleh media massa bukanlah realitas yang sesungguhnya, melainkan adalah realitas media, yaitu realitas buatan atau realitas tangan kedua (second hand reality) yaitu realitas yang dibuat oleh wartawan dan redaktur yang mengolah peristiwa politik menjadi berita politik, melalui proses dan penyaringan seleksi.[8] Para pemberi suara tidak hanya menjadi sadar akan isu, merumuskan citra atribut politik dan gaya pribadi para kandidat, dan membentuk citra tentang partai politik dengan hidup sebagai pertapa yang terasing. Juga perspektif yang dibawa oleh mereka ke dalam kampanye tidak menetapkan lebih dulu persepsi mereka tentang isu, kandidat dan partai. Akan tetapi, dalam waktu di antara pemilihan dan selama kampanye tertentu mereka diterpa berbagai media politik internasional, organisasi dan massa.[9]

Penutup

Tak diragukan lagi, media menempati peran yang sangat strategis dalam menyampaikan pesan-pesan politik terhadap khalayak. Karena tak membutuhkan waktu yang panjang untuk sekedar memperkenalkan agenda-agendanya bahkan bisa merubah pilihan sebelumnya tentu dengan strategi yang dimiliki media secara terus-menerus mempengaruhi khalayak. Dari berbagai media yang digunakan, tentu ada kelebihan dan kelemahannya, begitu juga mengandung pengaruh positif dan negatif terhadap khalyak. Maka upaya penyaringan dan control terhadap segala berita yang dimuat di media perlu dilakukan agar tidak salah pilih.

Melalui media para komunikator maupun aktivis politik mudah menghipnotis khalayak dengan citra yang ditampilkan setiap saat melalui media. Berbagai isu dikemas dengan apik untuk mendapatkan tempat di ruang publik sehingga khalayak yang dijadikan sasaran oleh mereka bisa mengenal dan setelah itu memilihnya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Arifin, Anwar, Pencitraan Dalam Politik, Strategi Pemenangan Pemilu Dalam Perspektif Komunikasi Politik( Jakarta, Pustaka Indonesia, 2006)
  • Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media,( Jakarta, Granit, 2004).
  • Haryatmoko, Etika Komunikasi, manipulasi Media Kekerasan dan Pornografi. (Yogyakarta, Kanisius, 2007),
  • Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, komunikator, Pesan dan Media (Bandung, PT Rosda Karya, 1999)
  • Uchyana Efendi, Onong, Dinamika Komunikasi (Bandung, PT. Rosda Karya,1986)
  • W Jeffers, Leo, Mass Media Effects( United States of America, Waveland Press, 1997)
  • William L. Rivers-Jay W. Jensen Theodore Peterson, Komunikasi  massa, Jakarta, Prenada Media, 2004

 

 

 

 


[1] Dan Nimmo, Komunikasi Politik, komunikator, Pesan dan Media (Bandung, PT Rosda Karya, 1999) Cet ke-3 hal-8

[2] Onong Uchyana Efendi, Dinamika Komunikasi(Bandung, PT. Rosda Karya,1986) hal 206

[3] Iklan politik melalui televisi pada pemilu 2009 terjadi kesenjangan sosial, dalam iklan-iklan politik tersebut hanya ada beberapa partai yang selalu menampilkan agenda partainya kepada public seperti Partai Gerindra, PDI-P, Golkar, Partai Demokrat, PKS, PBB, PKB dan PAN. Tentu saja hanya partai yang paling kuat pendanaannya, sedangkan bagi partai kecil dan baru yang lemah pendanaan untuk beriklan tidak bisa mempublikasikan secara terus menerus di media ini, mengingat media televise adalah saluran komunikasi politik yang sangat efisien.

[4] William L. Rivers-Jay W. Jensen Theodore Peterson, Komunikasi  massa, Jakarta, Prenada Media, 2004) Cet ke-2

[5] Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media,( Jakarta, Granit, 2004) Cet ke-1 hal-29-30

[6] Leo W Jeffers, Mass Media Effects( United States of America, Waveland Press, 1997) Second Edition, h. 124

[7] Haryatmoko, Etika Komunikasi, manipulasi Media Kekerasan dan Pornografi. (Yogyakarta, Kanisius, 2007), cet ke-5, h. 32

[8] Anwar Arifin, Pencitraan Dalam Politik, Strategi Pemenangan Pemilu Dalam Perspektif Komunikasi Politik( Jakarta, Pustaka Indonesia, 2006) h. 5

[9] Dan Nimmo, Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek( Bandung, PT Remaja Rosda Karya2006) Cet ke-4 h.187

Leave a comment