Krisis Spiritual


Zaman modern yang di tandai dengan perubahan yang begitu luar biasa, meliputi penemuan teknologi baru, informasi tanpa batas, gedung pencakar langit, indutrialisasi dll sehingga memudahkan manusia dalam beraktifitas. Coba anda lihat, dengan hadirnya internet seakan-akan dunia yang begitu luasnya menjadi sempit, berdesak-desakan sehingga segala sesuatu dengan mudah kita dapatkan, tidak hanya informasi dalam negeri saja tetapi juga informasi di luar negeri dengan mudah kita akses.
Tetapi tidak sedikit, manusia di zaman modern ini, mengalami krisis moral yang hampir merambah seluruh lini kehidupan kita. Menurut schhumacher, belakangan ini orang baru sadar bahwa, baik krisis ekonomi, bahan bakar, makanan, lingkungan justru berangkat dari krisis spiritual dan krisis pengenalan diri terhadap absolut Tuhan. Sedangkan menurut Carl Gustav Jung, menyebut krisis spiritual sebagai penyakit ektensial dimana ekstensi diri kita mengalami penyakit aleanasi, baik dari diri sendiri, lingkungan maupun dari tuhan.
Selama ini, manusia modern disandarkan pada ukuran tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi dalam meraih kesuksesan dan kebahagiaan, seolah-olah hal itulah yang berperan. Tetapi sebelum kita melangkah lebih jauh mari kita lihat kasus yang di alami oleh Jason yaitu seorang anak kelas dua di SMA Coral Springs, Florida yang telah berbuat kejam dengan menusuk gurunya, disebabkan ia memberi Jason nilai 80 pada sebuah tes, karena nilai itu yang hanya dapat B akan menghalang-halangi cita-citanya setelah lulus SMA ingin melanjutkan masuk ke fakultas kedokteran.
Dengan terjadinya kasus tersebut, ternyata memperluas pandangan kita, bahwa kecerdasan intelektual yang tinggi tidak menjamin akan meraih kesuksesan dan kebahagiaan, bahkan menurut riset Daniel goleman, setinggi-tingginya kecerdasan intelektual hanya menyumbangkan kira-kira 20 % dari faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup sementara dari 80 % di isi dari faktor-faktor kecerdasan lain.
Sedangkan mengapa orang-orang yang ber IQ tinggi mengalami kegagalan sedangkan orang yang ber IQ biasa-biasa saja justru menjadi sukses dan bahagia? menurut Goleman ternyata kecerdasan emosional juga mempunyai peran penting, karena berhubungan dengan emosi, konsep, cinta, privasi,pergaulan dll
Tetapi tidak hanya sampai di situ, ternyata wacana kita di perluas lagi dengan hadirnya kecerdasan spiritual yang mana manusia perlu bersikap cerdas dalam menghadapi dan memecahkan makna dan nilai, sebuah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Tentunya kita menyambut gembira dengan munculnya kecerdasan spriritual ini, yang dipopulerkan oleh Danah Zohar dan Iaan Marshal, seiring dengan perkembangan zaman tanpa batas sehingga menyebabkan masyarakat modern terjangkit krisis moral, ekonomi, politik, budaya dll.Tentunya kecerdasan spiritual berperan penting setelah sebelumnya muncul IQ dan EQ dalam mengarahkan manusia menjadi sukses dan bahagia.
Coba kita analisa di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis yang tergolong menjadi kiblat kemajuan peradapan dunia saat ini. tetapi dewasa ini menurut Francis Fukuyama dalam bukunya the great disruption menyatakan bahwa disebabkan dari perkembangan teknologi canggih masyarakat mengalami penemunan social capital sehingga membentuk masyarakat individualistis, amoral dan anarkhis.
Di Amerika misalnya pada tahun 1950 terjangkit kekacauan besar seperti tingginya kriminal, sex bebas, rendahnya kepercayaan kepada institusi serta menurunnya angka kelahiran. Gejala-gejala ini terjadi di negara-negara maju begitu juga yang terjadi di Perancis, Jerman, Swedia dan negara-negara maju lainnya.sedangkan untuk konteks di Indonesia, walaupun negara kita tidak masuk kelompok negara maju. Kita bisa analisa ternyata tidak jauh beda tingkat the great disruption dari negara-negara maju. Coba kita analisa, dibidang pemerintahan negara kita masuk urutan ke-5 negara terkorup di dunia sedangkan masalah seperti kriminal, pembunuhan, sex bebas, anarkis mencapai tingkatan yang tinggi akhir-akhir ini, sungguh paradoks Indonesia yang selama ini terkenal ramah tamah, sopan santun, bahkan mayoritas beragama Islam. Penomena ini mari kita refleksikan bersama. Tidak hanya sekedar kita bangga dengan budaya ketimuran tetapi mari kita lebih bijaksana dalam menyeimbangkan segala tindakan kita.

Leave a comment