Front Pembela Islam


Pada suatu malam, saya dan teman duduk di warung kecil ditemani secangkir kopi panas untuk menghangatkan badan. Saat menikmati kopi, kami sambil mendengarkan sebuah ceramah yang menggelora, membakar api massa dengan meneriakan jihad fisabililah, yang diputar melalui tape oleh mas pemilik warung, tak kalah dengan  pidato Bung Karno yang memompa nasionalisme kepada rakyat Indonesia pada masa kolonialisme dan awal kemerdekaan puluhan tahun yang lalu. perceramah  itu tak lain adalah Habib Riziq, ketua umum Front Pembela Islam (FPI) dan sekaligus pendirinya.

Seorang teman yang duduk di depan saya, mengatakan bahwa mas pemilik warung kecil ini adalah anggota FPI. Seketika itu, Saya sangat memahami, mengingat setiap anggota FPI begitu mengidolakan jagoannya itu, wajar saja ia dengan antusias mendengarkan ceramah sang Habib karena ia seorang tokoh yang paling disegani dan dihormati oleh anggota FPI karena tanggung jawab dan konsistensinya sebagai seorang pimpinan organisasi Islam yang tegas membrantas kemungkaran. Konsistensinya terbukti saat ada anggota FPI ditangkap aparat keamanan disebabkan aksi-aksi brutalnya dan dipenjara, Habib Riziq dengan penuh rasa tanggung jawab menjenguk dan membawa makanan untuk anggotanya itu.

Tak hanya itu saja, Habib Riziq juga memberikan suri tauladan hidup sederhana dan bersahaja, rumah dan penampilannya sederhana, tak menunjukkan hidup mewah sama sekali meskipun ia mampu melakukannya. Hidupnya digunakan untuk ibadah dan membela agama Islam, rumahnya sekaligus merangkap menjadi markas FPI serta tempat pengajian untuk menggembleng laskar pembela agama Allah SWT. Ia pun berunglangkali mengatakan bahwa “anggota FPI tidak menerima uang sepeserpun dalam menegakkan Agama Allah SWT, semua ikhlas tanpa ada udang dibalik sarung.”

Meskipun demikian, cara dakwah FPI yang dipimpin langsung oleh Habib Riziq menuai sikap pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Bagi mereka yang kontra FPI sengaja menebarkan bibit-bibit intoleransi, bahkan dianggap telah menodai citra Islam sebagai agama cinta kedamaian. Tak sedikit kalangan justru terganggu dengan cara dakwah anti maksiat yang diterapkan oleh FPI. Mereka (FPI) dalam berdakwah cenderung melakukan tindakan brutal membabi buta dan tak mau kompromi dengan siapapun terkait dengan kemaksiatan. Tak tanggung-tanggung lagi mereka pun langsung mengeksekusi lokasi-lokasi maksiat seperti perjudian, pelacuran, klup-klub malam dan yakin apa yang dilakukannya benar sesuai tuntunan Islam.

Radikalisme

FPI menurut berbagai kalangan dianggap sebagai kelompok Islam Radikal. Bahkan sikap radikal FPI sudah menjadi ciri khas organisasi. Sayangnya, Semangat radikalisme Islam sering ditafsirkan oleh kelompok di luar Islam terutama oleh Barat bahwa Islam merupakan agama ekslusif. Barat pun memukul rata bahwa Islam anti medernisme dan cenderung bertindak brutal dalam merespon segala permasalahan di sekelilingnya. Nah, FPI representasi salah satu kelompok Islam radikal yang ada di Indonesia.

Ada 2 aspek mengapa FPI cenderung menggunakan kekerasan dalam berdakwah, pertama, aspek internal; yaitu melihat kemaksiatan sudah sangat memprihatinkan khususnya di kota-kota besar, dan pemerintah yang mempunyai otoritas dalam menanggulanginya ternyata tidak melakukan reaksi apapun. Oleh karena itu FPI merasa bertanggung jawab untuk mencegah perbuatan munkar yang terjadi  sekitaranya. Selain itu, sejak jatuhnya era Soeharto organisasi-organisasi Islam mulai bermunculan seiring ruang yang begitu bebas dalam melakukan aktifitas sosial-keagamaan termasuk FPI. Kedua; aspek eksternal; yaitu adanya intervensi dari barat (Amerika) dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, budaya dll yang cenderung mendominasi dan mengekploitasi negara-negara berkembang. Selain itu Isra’il dengan dibantu oleh Amerika Serikat melakukan tindakan-tindakan tidak manusiawi terhadap negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (Palestina), menyebabkan mereka merasa juga disakiti dan menggalang rasa solidaritas sesama umat Islam.  Dengan alasan-alasan di atas maka memunculkan kelompok-kelompok Islam radikal yang cenderung bersikap keras terhadap kemaksiatan dan hal-hal yang berbau Amerika (barat). “oleh karena itu, hidup mulia atau mati syahid menjadi motto kehidupan setiap anggota FPI”, mereka tak akan membiarkan agama Allah dan Nabinya dihina, dilecehkan dan dinodai oleh orang-orang munafik.

FPI pun berulangkali berhadapan dengan aparat kepolisian dan masyarakat setempat dalam melakukan aksi-aksinya. Kita pun masih ingat betul kerusuhan di Monas 1 Juni 2008 yang lalu menambah panjang daftar keterlibatan FPI dalam kericuhan dan konflik. Ini tentu bukan keterlibatan pertama dan terakhir. Agresifitas dan kenekatan FPI sudah menjadi ciri khas organisasi sosial-keagamaan yang dipimpin oleh Habib Riziq. Adapun membubarkan FPI bukan menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah, karena mereka bisa mengganti nama baru dan tentu akan melakukan aksi-aksi yang seperti semula, sebagaimana yang diungkapkan oleh habib Riziq sendiri.

Terlepas dari persepsi posifif maupun negatif, FPI merupakan organisasi Islam yang ikut berpartisipasi dalam merespon segala permasalahan di negeri ini. FPI pun berfungsi sebagai kontrol sosial yang sangat kritis dan efektif, seiring sikap individualitas kota yang kurang resposif terhadap segala masalah moral masyarakat. Tentu semestinya FPI juga memperhatikan etika dakwah yang sesuai diajarkan Islam sebagai agama kedamaian, setidaknya budaya ketimuran.